Oleh :
Prima Trisna Aji
Dosen prodi Spesialis Medikal Bedah Universitas Muhammadiyah Semarang
Tak terasa sudah Delapan puluh tahun sudah bangsa Indonesia berdiri tegak sebagai negara merdeka. Setiap tanggal 17 Agustus, bendera merah putih selalu berkibar, lagu kebangsaan dikumandangkan, dan semangat nasionalisme menggema di seluruh penjuru negeri. Namun di balik euforia perayaan tersebut, timbul pertanyaan besar muncul: apakah bangsa ini benar-benar telah Merdeka seutuhnya? Bukan hanya dari penjajahan politik, melainkan dari penjajahan penyakit yang terus membelenggu rakyatnya sendiri.
Kemerdekaan yang Belum Tuntas
Pada tahun 2023, di video viral di media sosial bahwa seorang Ibu yang habis melahirkan harus kehilangan nyawa setelah mengikuti Lomba Balap Karung ketika merayakan lomba perayaan kemerdekaan Republik Indonesia. Ibu tersebut disinyalir meninggal karena pecah pembuluh darah setelah beberapa hari melahirkan mengikuti Lomba Balap Karung.
Selanjutnya suatu pagi di sebuah desa di Jawa Tengah, seorang ibu muda bernama Rani terpaksa membatalkan keinginannya ikut lomba 17-an. Ia kelelahan setelah beberapa hari merawat anaknya yang masih berusia dua tahun dan mengalami masalah Kesehatan stunting. “Saya iri melihat anak-anak lain lincah dan sehat,” ujarnya lirih. Kisah Rani adalah potret nyata masih banyaknya keluarga Indonesia yang bergulat dengan masalah kesehatan dasar.
Data Kementerian Kesehatan tahun 2024 mencatat bahwa prevalensi stunting memang menurun menjadi 21,6%, tetapi angka ini masih jauh dari target WHO yaitu di bawah 14%. Di sisi lain, hipertensi dan diabetes mellitus terus meningkat dan kini menjadi penyebab utama kematian. Bahkan, studi penelitian dari WHO pada tahun 2023 menyebutkan bahwa negara Indonesia masuk ke dalam 10 besar negara dengan beban penyakit tidak menular tertinggi di Asia Tenggara.
Ironisnya, di saat bangsa Indonesia merayakan kemerdekaan ke-80, jutaan rakyat masih belum “merdeka” dari ancaman penyakit yang sejatinya bisa dicegah.
Penjajah Baru: Rokok, Gaya Hidup, dan Pola Makan
Jika dulu musuh bangsa Indonesia adalah penjajah bersenjata, kini musuh kita jauh lebih halus yakni: rokok, junk food, kurang aktivitas fisik, serta rendahnya kesadaran preventif. Rokok, misalnya masih menjerat lebih dari 60 juta penduduk Indonesia. Menurut data dari Global Adult Tobacco Survey tahun 2023, prevalensi perokok laki – laki di Indonesia sudah mencapai 62%, dimana angka ini menjadi salah satu yang tertinggi di dunia.
Selanjutnya pola makan serba instan, minuman manis berlebih, dan minim olahraga mempercepat lonjakan obesitas dan diabetes mellitus. Generasi muda yang seharusnya menjadi harapan Indonesia Emas 2045 justru menghadapi ancaman kesehatan serius. Jika kondisi ini dibiarkan, maka bonus demografi bisa berubah menjadi “bencana demografi” karena mayoritas usia produktif justru malah sakit-sakitan.
Merdeka Itu Sehat
Maka, kemerdekaan sejati sendiri seharusnya tidak hanya berarti bebas dari penjajahan politik, tetapi juga bebas dari beban penyakit. Merdeka itu sehat. Tanpa kesehatan, sulit membayangkan bangsa ini mampu bersaing di tingkat global.
Seorang mahasiswa di Yogyakarta pernah bercerita bahwa ia hampir putus kuliah karena menderita gagal ginjal dan harus rutin cuci darah sejak usia 21 tahun akibat hipertensi yang tidak terdeteksi. Kisah ini menjadi pengingat bahwa penyakit tidak menular tidak lagi hanya menyerang orang tua, melainkan juga generasi muda pada sekarang ini.
Bagaimana mungkin kita menuju Indonesia Emas 2045 bila generasi mudanya masih dibelenggu anemia, obesitas, hipertensi, dan stunting?
Saatnya Revolusi Kesehatan
Hari Kemerdekaan negara Indonesia merupakan momentum tepat untuk menyalakan “revolusi kesehatan bangsa”. Semangat gotong royong yang dulu membebaskan Indonesia dari penjajah harus kembali dihidupkan untuk membebaskan rakyat Indonesia dari penyakit. Revolusi kesehatan ini harus dimulai dari langkah-langkah nyata, misalnya dengan menguatkan gerakan merdeka dari rokok melalui pengetatan regulasi iklan, penyediaan zona bebas asap rokok, hingga kampanye edukasi yang lebih masif kepada anak muda pada khususnya.
Selain itu, upaya merdeka dari stunting tidak kalah penting. Hal ini dapat dilakukan dengan memastikan gizi ibu hamil terpenuhi, pemberian ASI eksklusif berjalan baik, serta menyediakan akses makanan sehat bagi setiap keluarga. Upaya ini harus menjadi agenda nasional secara masif, bukan hanya sekadar kampanye musiman.
Kita juga harus menggerakkan masyarakat untuk merdeka dari penyakit tidak menular. Hal ini bisa diwujudkan lewat budaya olahraga murah meriah, kebiasaan jalan kaki atau bersepeda, serta pembatasan konsumsi gula, garam, dan lemak. Budaya preventif perlu ditanamkan sejak dini, bukan hanya ketika sakit sudah datang baru kita baru sadar untuk melakukan hidup sehat.
Tak kalah penting, bangsa ini juga perlu berjuang agar remaja putri merdeka dari anemia. Ketersediaan dan kebiasaan konsumsi Tablet Penambah Darah di sekolah harus diperkuat, karena generasi yang sehat hanya bisa lahir dari calon ibu yang sehat pula. Selanjutnya pelatihan dan pembentukan kader Kesehatan siswa pencegah anemia juga perlu digalakkan.
Penutup
Kemerdekaan sejati bukanlah hanya tentang mengibarkan bendera snag saka merah putih saja, melainkan memastikan merah darah rakyat tetap sehat dan putih jiwa tetap bersih. Delapan puluh tahun Indonesia merdeka, mari kita tegakkan kemerdekaan baru: kemerdekaan dari penyakit akut dan kronis. Karena bangsa yang sehat adalah fondasi utama bagi Indonesia yang kuat, tangguh, dan bermartabat di mata dunia. Serta mewujudkan cita – cita Indonesia menjadi negara yang adil dan Makmur.
———– *** ————–


