DPRD Jatim, Bhirawa
Ratusan petani tebu di Jawa Timur kini menghadapi masalah serius akibat 76 ribu ton gula hasil produksi lokal tidak terserap pasar. Kondisi ini semakin memperburuk keadaan karena harga gula di tingkat petani terus tertekan, sementara stok menumpuk di gudang.
Salah satu penyebab utama yang diduga memicu persoalan ini adalah bocornya gula rafinasi ke pasar konsumsi umum, padahal sesuai aturan, gula jenis tersebut hanya diperuntukkan bagi kebutuhan industri.
Menurut Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jatim, Wiwin Sumrambah, pemerintah harus segera bertindak tegas menertibkan distribusi gula rafinasi yang tidak sesuai peruntukan.
”Kami minta pemerintah segera menertibkan peredaran gula rafinasi yang bocor ke pasar. Ini jelas merugikan petani,” ujar Wiwin, Sabtu (30/8).
Wiwin mengingatkan, jika pembiaran terus terjadi, petani tebu Jatim akan menjadi korban utama karena tidak mampu bersaing dengan gula rafinasi yang harganya jauh lebih murah. Sesuai UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan dan kepastian pasar bagi petani rakyat.
”Kalau gula sebanyak itu tidak terserap, jelas masalahnya sangat serius. Pemerintah harus hadir memberi solusi,” tegasnya.
Selain menyoroti kebocoran gula rafinasi, Wiwin juga mendorong Pemprov Jatim bersama Bulog dan pabrik gula daerah menyiapkan skema penyerapan hasil produksi tebu lokal agar harga tetap stabil. ”Komisi B siap mengawal agar ada koordinasi nyata dengan Bulog dan pabrik gula. Petani harus mendapat kepastian pasar,” tambahnya.
Jawa Timur tercatat sebagai produsen gula kristal putih terbesar di Indonesia, dengan produksi mencapai 1,192 juta ton pada 2022 atau hampir setengah dari total nasional. Proyeksi terbaru menyebutkan produksi gula di Jatim meningkat menjadi 1,457 juta ton pada 2025 dengan rendemen tebu sekitar 7,76%.
Namun capaian ini berpotensi sia-sia jika persoalan distribusi dan penyerapan tidak segera diselesaikan. Saat ini harga gula di tingkat konsumsi berada di kisaran Rp18.000 per kilogram, jauh di atas Harga Pokok Penjualan (HPP) Rp14.500 per kilogram.
Meski rata-rata harga jual di tingkat petani Jatim tercatat Rp15.450 per kilogram-tertinggi secara nasional-petani tetap mengeluh karena gula mereka tidak terserap pasar.
Sekjen DPP APTRI, Sunardi Edi Sukamto, bahkan mengingatkan sebagian petani sudah tidak mampu melanjutkan operasional karena gula menumpuk di gudang. Mereka kini menagih janji pemerintah terkait dana Rp1,5 triliun dari Danantara yang dijanjikan untuk membeli gula rakyat. [geh.fen]


