31 C
Sidoarjo
Wednesday, March 12, 2025
spot_img

Mempertanyakan Kembali Urgensi Kogabwilhan

Oleh :
Probo Darono Yakti
Pengamat Militer dan Direktur Center for National Defense and Security Studies (CNDSS) ; Dosen HI dan Periset CSGS FISIP UNAIR

Pada Rapat Pimpinan TNI 2025 lalu, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto kembali membuka “tabir lama” kebijakan yang diambil pada masa kepemimpinan sebelumnya. Yakni Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan). Satuan komando ini dibentuk pada era Panglima TNI Marsekal (Purn.) Hadi Tjahjanto yang sempat menjabat sebagai Menkopolhukam di masa Presiden Joko Widodo. Pernyataan ini tentu menuai polemik di kalangan pengamat militer karena Panglima TNI terkesan seperti mengadu serta falsifikasi gagasan dengan sang pendahulu.

Pemerintahan saat ini di bawah Presiden Prabowo Subianto yang juga mantan perwira Kopassus yang memiliki banyak pengalaman termasuk menjadi Menteri Pertahanan tahun 2019-2024. Mengingat pemerintah pusat memerlukan dana yang cukup untuk refocusing pada program Makan Bergizi Gratis (MBG), maka efektivitas perlu dipertanyakan. Termasuk efisiensi anggaran yang semestinya dapat dilakukan bila satuan TNI baru ini dapat dievaluasi efektivitasnya. Pelaksanaan Kogabwilhan di lapangan pun tidak diiringi dengan implementasi rantai komando yang efektif dan efisien.

Urgensi Pendirian Kogabwilhan
Kogabwilhan berfungsi dan berperan untuk mengintegrasikan berbagai pangkalan TNI seperti yang ada di seluruh Indonesia dalam rangka penindak awal bila terjadi konflik diwilayahnya baik untuk OMP maupaun OMSP dan sebagai kekuatan penangkal bila terjadi ancaman dari luar, serta memulihkan kondisi keamanan. Tentu komando ini berdasarkan kebijakan dari Panglima TNI, yang terbagi ke dalam beberapa lingkup wilayah yakni I meliputi kawasan Indonesia bagian barat, II di bagian tengah, dan III pada daerah paling timur Indonesia. Kogabwilhan dipimpin oleh Panglima berpangkat bintang tiga dibantu oleh seorang Kepala Staf berpangkat bintang dua. Pada konfigurasi awal, Kogabwilhan I dipimpin oleh Panglima dari TNI AL dan Kepala Staf dari TNI AD, dan berturut-turut II AU-AL, dan III AD-AU.

Berita Terkait :  Dandim Bojonegoro Buka LKBB Tingkat SMA Sederajat se- Pulau Jawa dan Bali

Pada praktiknya, Kogabwilhan selalu terlibat langsung dalam operasi-operasi penting yang memerlukan penanganan khusus. Misalkan pada saat Laut Natuna Utara terbelenggu dengan kehadiran kapal-kapal asing seperti Penjaga Pantai dan nelayan, maka Kogabwilhan I memiliki tanggung jawab penting untuk merangkap kewenangan tiga matra yang bertugas sesuai dengan pembagian wilayah masing-masing. Kemudian operasi Madago Raya yang dikoordinasikan oleh Kogabwilhan II, adapun Kogabwilhan III mengoordinasikan operasi melawan gerakan klandestin dari Kelompok Separatis Teroris Operasi Papua Merdeka. Mereka menjadi pihak yang terdepan dalam menyampaikan kepada media terkait situasi keamanan terkini di wilayah masing-masing.

Namun, pelaksanaan dari Kogabwilhan tidak dijalankan secara konsekuen. Rantai komando yang kurang jelas, dan kesan yang disampaikan sendiri oleh Jenderal Agus bahwa hanya merupakan tempat untuk “memarkir” perwira tinggi agar mendapat tambahan job mengindikasikan suatu ironi besar. Selain itu, terdapat kesan bahwa Kogabwilhan adalah pos untuk menempatkan “orang-orang kepercayaan” yang suatu saat sedang dipersiapkan sebagai calon Kepala Staf Angkatan atau Panglima TNI.

Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan) dibentuk pada 1969-1970 dan dilikuidasi pada Juli 1985 karena koordinasi yang tidak efektif. Awalnya ada enam Kowilhan, lalu dikerucutkan menjadi empat. Fungsi utamanya adalah pembinaan dan operasional pertahanan-keamanan, membawahi Kodam (TNI AD), Kodaeral (TNI AL, kini Lantamal), Kodau (TNI AU), serta Komdak/Kodak (kini Polda di bawah POLRI saat masih di bawah ABRI). Dibandingkan Kogabwilhan, komposisinya timpang antara lain tidak ada Panglima dari AU, hanya empat dari AD dan dua dari AL, termasuk yang berasal dari Korps Marinir.

Berita Terkait :  Sapa Pedagang Pasar Ngasem, Cabup Bojonegoro Setyo Wahono Sampaikan Program Bantuan IKM Rp1 Miliar Per Desa

Atas Nama Efisiensi?
Di awal masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, banyak terjadi pemangkasan di berbagai sektor untuk memberikan ruang fiskal dalam mendukung program MBG. Termasuk di antaranya sektor-sektor yang berkaitan dengan hajat hidup dasar masyarakat seperti pendidikan dan kesehatan. Namun, uniknya tidak ada sedikit pun pemangkasan anggaran terjadi pada pos-pos yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan. Pada awal Januari 2025, POLRI melalui asisten logistik menyatakan bahwa terjadi penambahan anggaran untuk pengadaan peralatan pun juga dengan Kementerian Pertahanan yang berencana mengegolkan pengadaan alutsista seperti Rafale dan F15 yang ia klaim pada Sabtu (8/2) sebagai elemen penting untuk mempertahankan ancaman yang datangnya dari eksternal.

Atas keseimbangan antara mempertahankan negara dan di saat yang bersamaan mengedepankan efisiensi, semestinya rantai komando di dalam TNI semakin disederhanakan. Termasuk rantai komando dengan keberadaan Kogabwilhan terhadap satuan-satuan yang ada di bawah koordinasinya, mengingat matra AL dan AU sendiri telah memiliki Komando Armada RI dan Komando Operasi Udara Nasional. Selain itu, pembagian berdasarkan wilayah kantong pertahanan sendiri sudah tidak lagi relevan di tengah situasi dinamika ancaman eksternal yang semakin dinamis. Alih-alih pemekaran Kodam dan penaikan status Korem menjadi Kodam, atau lebih-lebih wacana likuidasi Korem, TNI justru membutuhkan revolusi doktrin untuk melangkah pada pembentukan satuan-satuan yang jauh lebih taktis dan dinamis menyesuaikan “lawan” yang ada di setiap lingkup pertahanan.

Berita Terkait :  Polres Situbondo Amankan Pemuda Tersangka Pembacokan di Bungatan

Reorientasi Strategi
Pada era reformasi dan demokratisasi Indonesia, selalu terdapat urgensi untuk menegakkan supremasi sipil. Namun fenomena yang terjadi belakangan ini menunjukkan situasi sebaliknya. Aparat TNI maupun POLRI aktif menempati pos-pos yang semestinya diduduki pejabat sipil seperti di Kementerian-kementerian atau BUMN yang seyogianya jauh dari campur tangan militer kecuali apabila yang bersangkutan telah berstatus purnawirawan atau telah pensiun. Fenomena ini kembali mengarahkan pada kondisi yang terjadi pada era Orde Baru yang telah berlangsung selama 32 tahun.

Maka kita dapat kembali pada pernyataan Panglima TNI Jenderal Agus pada saat Rapim TNI. Bahwa kebutuhan negara ini lebih daripada itu, yakni rekonstruksi dan rasionalisasi seperti yang dilakukan oleh proklamator Hatta saat menjadi Perdana Menteri. Karena terlalu banyak serdadu, maka dalam rangka efisiensi semestinya perlu dievaluasi ulang mulai dari rekrutmen Taruna sehingga tidak terjadi surplus perwira yang bersifat non-job berkaca pada kasus Kogabwilhan dan penempatan perwira aktif di pos sipil. Semoga segera ada solusi.

————– *** —————

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru