28 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Wujudkan Pertanian Jaya Lewat Program Petani Milenial

Oleh :
Aulentia Abiyavata
Mahasiswi Program Studi Agribisnis Universitas Isalam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Mendengar kata “pertanian”, yang terlintas di benak banyak orang sering kali masih sebatas pemandangan sawah hijau terbentang luas, cangkul di tangan petani, dan wajah-wajah sepuh yang penuh ketekunan. Citra ini tak sepenuhnya salah, namun di era digital seperti saat ini, sektor pertanian tidak bisa lagi hanya diidentikkan dengan masa lalu atau pekerjaan tradisional yang terkesan ketinggalan zaman. Justru, pertanian adalah sektor yang sangat strategis dan menjanjikan, terutama dalam menjawab tantangan ketahanan pangan di tengah krisis global seperti perubahan iklim, urbanisasi, dan gejolak ekonomi dunia. Kejayaan pertanian Indonesia harus terus diupayakan dan dibarengi dengan regenerasi pelaku sektor ini. Di sinilah peran generasi muda, khususnya petani milenial, menjadi sangat penting. Tanpa keterlibatan anak muda, pertanian akan kehilangan masa depannya.

Menurut data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia pada Desember 2023, jumlah petani milenial yang berusia antara 19 hingga 39 tahun mencapai sekitar 6.183.009 jiwa atau setara dengan 21,93% dari total petani nasional. Angka ini patut disyukuri sekaligus menjadi pengingat bahwa masih ada secercah harapan regenerasi dalam sektor pertanian dan menunjukkan bahwa sebagian besar petani kita masih didominasi oleh usia tua.

Harapan terhadap regenerasi petani milenial ini sejalan dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 04 Tahun 2019, yang mendefinisikan “Petani Milenial adalah Petani berusia 19 (sembilan belas) tahun sampai 39 (tiga puluh sembilan) tahun, dan/atau petani yang adaptif dengan teknolog digital”. Tanpa adanya peremajaan atau regenerasi yang signifikan, bukan tidak mungkin suatu saat nanti Indonesia akan kekurangan tenaga kerja di sektor pertanian. Padahal, sektor ini merupakan tulang punggung penyediaan bahan pangan bagi seluruh masyarakat.

Berita Terkait :  Rebut 13 Medali, Unesa Juara Umum LPTK Cup XXII 2025 Medan

Sayangnya, hingga kini masih banyak anak muda yang memandang pertanian dengan sebelah mata. Tak sedikit yang menganggap bahwa menjadi petani bukanlah pilihan karier yang menjanjikan. Mereka cenderung memilih pekerjaan di sektor industri, teknologi, atau keuangan karena dinilai lebih modern dan menguntungkan. Pandangan semacam ini tentu harus diluruskan. Jika tidak, kita akan kehilangan generasi penerus yang mampu menjaga ketahanan pangan nasional.

Salah satu hambatan utama dalam menarik minat anak muda ke sektor pertanian adalah stigma bahwa menjadi petani berarti hidup pas-pasan, bekerja berat di bawah terik matahari, dan tidak memiliki masa depan cerah. Padahal, dengan pendekatan yang tepat dan pemanfaatan teknologi, pertanian bisa menjadi profesi yang modern, efisien, dan sangat menguntungkan. Misalnya, teknologi pertanian presisi (precision agriculture), penggunaan drone untuk pemetaan lahan, aplikasi pengairan otomatis berbasis sensor, serta e-commerce untuk memasarkan hasil tani secara langsung ke konsumen, telah membuka banyak peluang baru bagi generasi muda untuk mengembangkan usaha tani mereka secara profesional dan berkelanjutan.

Program seperti “Petani Milenial” yang diinisiasi oleh beberapa pemerintah daerah adalah langkah awal yang sangat positif dalam menumbuhkan semangat baru di kalangan anak muda. Program ini memberikan pelatihan, akses modal, pendampingan, hingga jaringan pemasaran bagi generasi muda yang ingin terjun ke dunia pertanian. Namun, agar program ini benar-benar efektif, pemerintah tidak bisa berjalan sendiri. Sinergi antara pemerintah pusat, daerah, institusi pendidikan, sektor swasta, dan masyarakat turut diperlukan. Dunia pendidikan, misalnya, harus mulai menanamkan nilai-nilai cinta tanah dan pangan sejak dini. Kurikulum sekolah harus mengintegrasikan wawasan pertanian modern agar anak-anak sejak kecil memahami pentingnya sektor ini. Perguruan tinggi juga perlu memperkuat riset dan pengembangan dalam bidang pertanian berkelanjutan serta memperbanyak program inkubasi usaha tani bagi mahasiswa.

Berita Terkait :  ASG Beri Layanan Antar-Jemput Siswa Sampai ke Depan Rumah

Tantangan lain yang cukup besar adalah keterbatasan akses terhadap lahan. Banyak anak muda yang tertarik ke dunia pertanian namun kesulitan memulai karena tidak memiliki lahan. Saat ini, banyak lahan pertanian justru dikuasai oleh korporasi besar atau tidak produktif karena tidak terkelola dengan baik. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah bisa menyediakan program land banking bagi petani muda atau skema sewa lahan jangka panjang yang terjangkau. Hal ini akan mempermudah mereka untuk memulai usaha tanpa harus membeli tanah yang harganya sangat tinggi.

Untuk benar-benar menciptakan perubahan, kita perlu menyentuh sisi paling manusiawi dari pertanian itu sendiri. Di balik setiap butir padi yang kita konsumsi, ada kisah perjuangan seorang petani. Di balik harga cabai yang naik turun, ada kelelahan tangan-tangan yang setiap hari menyentuh tanah, berharap panen cukup untuk menyambung hidup. Bayangkan jika lebih banyak anak muda bisa melihat pertanian bukan sebagai pekerjaan kelas dua, tapi sebagai ladang kreativitas dan inovasi. Anak-anak muda dengan semangat baru bisa membuat konten edukatif soal bertani di sosial media, membangun aplikasi untuk menjual hasil panen langsung ke konsumen, hingga menciptakan sistem pertanian urban di tengah kota padat. Kita butuh narasi baru, yang membangkitkan kebanggaan dan menjadikan petani sebagai profesi masa depan. Harus diakui, perubahan memang tidak mudah. Tapi perubahan besar selalu dimulai dari langkah-langkah kecil. Dari keberanian seorang anak muda untuk kembali ke desa dan menggarap lahan warisan orang tuanya. Dari komunitas kecil yang mulai menanam cabai organik di pekarangan rumah. Dari sekolah-sekolah yang mengenalkan anak-anak pada hidroponik dan pentingnya pangan lokal.

Berita Terkait :  Juara Grup, Sepak Bola Putri Kota Batu Lolos ke Semifinal

Selain itu, sektor pembiayaan juga harus diperhatikan. Akses permodalan yang ramah terhadap petani muda, seperti kredit pertanian berbunga rendah atau hibah usaha tani, dapat menjadi solusi konkret. Banyak petani muda yang memiliki semangat dan ide segar, namun terbentur pada masalah permodalan dan kurangnya literasi keuangan. Oleh karena itu, pelatihan manajemen usaha, literasi keuangan, dan pendampingan dalam penyusunan proposal bisnis juga harus menjadi bagian integral dari program Petani Milenial.

Peningkatkan citra pertanian di mata masyarakat luas juga menjadi hal yang krusial. Media memiliki peran besar dalam membentuk persepsi. Kampanye kreatif tentang kisah sukses petani muda, dokumentasi pertanian modern, dan edukasi publik yang konsisten dapat membangun kebanggaan menjadi bagian dari sektor ini. Tapi pada akhirnya, bukan alat atau aplikasi canggih yang paling menentukan, melainkan semangat, ketekunan, dan visi dari orang-orang muda yang memilih untuk tetap mencintai tanahnya dan membangun hidup dari sana.

Sudah saatnya kita membuka mata bahwa pertanian bukanlah sektor yang ketinggalan zaman, melainkan sektor strategis yang sangat relevan dengan masa depan bangsa. Dalam dunia yang terus berubah dan penuh tantangan, sektor pertanian harus menjadi prioritas utama, terutama karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Keberadaan petani milenial bukan lagi sekadar harapan, melainkan kebutuhan nyata yang harus segera diwujudkan. Mewujudkan pertanian jaya bukan sekadar mimpi. Sinergi yang kuat antara komitmen, kolaborasi, dan keberanian untuk berubah inilah yang jadi penentu anak muda Indonesia bisa menjadi ujung tombak kebangkitan pertanian nasional. Mari ubah cara pandang kita, mari kuatkan tekad untuk terus mendorong pertanian Indonesia menuju kejayaan yang sesungguhnya.

———– *** ————–

Berita Terkait

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru