Pemerintah patut waspada terjadinya deflasi tahunan pertama, sejak seperempat abad silam (tahun 2000). Sebelumnya secara nasional, berturut-turut selama empat bulan, sejak April 2024. Menjadi pertanda “paceklik” rumah tangga kalangan ekonomi menengah. Jumlah kalangan menengah menyusut hampir 10 juta orang, sejak pandemi. Antara lain disebabkan nilai tukar rupiah yang tidak bisa terangkat pada level Rp 14 ribu-an per-dolar Amerika Serikat (US$). Pada sisi lain harga bahan pangan utama masih bergantung impor. Terutama susu, daging, dan kedelai. Serta beras.
Deflasi, menandai daya beli masyarakat makin menurun. Terutama kalangan menengah (karyawan pabrik swasta nasional) yang selama ini pada zona nyaman, semakin terancam. Lepas pandemi, diharapkan bisa memulihkan perekonomian. Tetapi malah terjebak resesi global. Selain deflasi tahunan, BPS (Badan Pusat Statistik) juga mengumumkan deflasi bulanan pada Pebruari 2025. Diharapkan bulan Ramadhan, sebagai periode sebulan berbelanja secara kolosal, akan mengatrol perekonomian.
Bulan Ramadhan diharapkan benar-benar menjadi pengharapan satu-satunya menyelamatkan perekonomian nasional. Karena pengeluaran konsumsi rumah tangga bagai “meroket.” Menurut penjejakan Direktur Program INDEF, nilai ke-ekonomi-an mudik lebaran saja (tahun 2024), ditaksir mencapai Rp 320 trilyun. Belum termasuk belanja bahan pangan, dan belanja aneka sandang (pakaian) saat Ramadhan. Bisa mencapai Rp 500-an trilyun.
Nilai ke-ekonomi-an, juga rutin muncul dari manfaat zakat. Minimal zakat fitrah (beras sebesar 2,5 kilogram per-jiwa). Ke-ekonomi-an Ramadhan didukung pemberian THR segenap PNS serta TNI dan Polri, nilainya (tahun 2025) mencapai Rp 50 trilyun. Serta seluruh karyawan swasta juga berhak menerima THR (Tunjangan Hari Raya) minimal sebesar sebulan gaji. Tetapi saat ini kalangan menengah menghadapi ancaman PHK. Antara lain pada sektor komunikasi (kalangan wartawan), sektor perhotelan, dan produk tekstil (antara lain tragedi Sritex grup).
Jumlah kalangan menengah menurun. Memasuki tahun 2024 lalu, jumlahnya diperkirakan 47,85 juta orang. Setara 17,13% dari total jumlah penduduk nasional. Dibanding sebelum pandemi (2019) jumlahnya menurun sebanyak 9,48 juta orang. Karena jumlah kalangan menengah menurun, niscaya akan menambah jumlah rumah tangga yang rentan miskin. Saat ini jumlah penduduk miskin sebanyak 25,22 juta jiwa (setara 9,03% jumlah penduduk). Kriteria rentan miskin, dihitung berdasar pengeluaran per-bulan per-orang sebesar Rp 582.932,- sampai Rp874.398,-.
Sedangkan kelompok kelas menengah (middle class), dihitung berdasar pengeluaran sebesar 3,5-17 kali garis kemiskinan. Yakni sekitar Rp2.040.262,- hingga -Rp9.909.844,- per- kapita per-bulan. Kelas menengah juga identik dengan kalangan berpendidikan memadai. Selain bekerja pada Perusahaan skala besar (nasional), kalangan menengah juga membuka usaha mandiri. Namun karena suku Bunga BI (Bank Indonesia) bertahan tinggi, menyebabkan UMKM tidak mampu membayar bunga kredit.
BPS mengumumkan deflasi tahunan pada Februari 2025 tercatat sebesar 0,09% dibandingkan tahun sebelumnya. Deflasi saat ini bagai mengulang kemerosotan ekonomi tahun 2000. Walau sebenarnya deflasi mengindikasikan turunnya harga-harga barang dan jasa. Tetaoi saat ini sebaliknya, harga barang dan jasa sedang tren naik. Sehingga para ekonom mengingatkan deflasi tahunan ini “semu,” di-ikuti menurunnya daya beli masyarakat. Pemerintah patut mempedulikan nasib kalangan menengah.
Sesuai arahan konstitusi. Bahwa seluruh rakyat Indonesia, adalah keluarga. Sehingga UUD pada pasal 33 ayat (1), menyatakan, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” Bahkan yang lemah harus ditopang negara. Konstitusi pada pasal 34 ayat (2), meng-amanat-kan, “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.”
——— 000 ———