Kota Malang, Bhirawa
Wacana Relokasi 2 Juta warga Palestina, harus ditanggapi dengan hati-hati. Sebab wacana tersebut membawa konsekwensi baik politik maupun setrategis.
Menanggapi isu tersebut, Yusli Effendi, S.IP., M.A., dosen Hubungan Internasional Universitas Brawijaya (UB) dan pakar kajian Timur Tengah, menyampaikan pandangan kritis. Menurutnya, wacana ini perlu disikapi dengan hati-hati karena membawa konsekuensi besar, baik secara politik maupun sosial-ekonomi.”Testing the Water” oleh Amerika Serikat
Dalam pernyataannya, Yusli menyoroti bahwa wacana relokasi ini bukanlah pernyataan resmi yang keluar dari jalur diplomasi antarnegara. Ia menilai langkah ini lebih sebagai upaya “testing the water” oleh Amerika Serikat untuk mengukur respons internasional.
“Perlu dipahami bahwa ini bukan berasal dari saluran diplomatik resmi, meskipun dilontarkan oleh utusan Timur Tengah Trump. Dengan demikian, wajar jika Kementerian Luar Negeri Indonesia menyatakan tidak menerima informasi resmi dari pemerintah AS terkait hal ini,” tegas Yusli.
Lebih jauh, Yusli menjelaskan bahwa langkah ini tidak perlu ditanggapi dengan serius, terutama karena gagasan tersebut sangat tidak realistis. “Menurut saya, ini tidak lebih dari sekadar upaya untuk melihat reaksi publik internasional. Dalam istilah diplomasi, ini yang disebut ‘testing the water’. Amerika Serikat ingin melihat respons Indonesia dan negara-negara lain terhadap wacana ini,” jelasnya.
Yusli dengan tegas menyebut relokasi ini sebagai langkah yang dapat menghapus jejak sejarah Palestina. Menurutnya, ide ini dapat menjadi perangkap politik yang berbahaya. “Palestina memang membutuhkan bantuan, tetapi gagasan meninggalkan tanah air mereka sama saja dengan pengusiran terselubung. Jika relokasi terjadi, ini akan mengulang tragedi Nakbah 1948, ketika ratusan ribu warga Palestina diusir oleh Israel. Mereka kehilangan tanah, rumah, dan identitas sejarah mereka,” ujar Yusli.
Ia juga menambahkan bahwa relokasi sebesar ini hampir mustahil dilakukan. “Bayangkan saja, jarak antara Palestina dan Indonesia sangat jauh. Bagaimana caranya memindahkan dua juta orang? Ini bukan sekadar memindahkan individu, tetapi komunitas besar yang memiliki akar budaya, sejarah, dan identitas yang kuat. Relokasi ini jelas tidak realistis,” ungkapnya.
Yusli juga mengingatkan bahwa relokasi ini berpotensi menjadi celah bagi Israel untuk menghilangkan bukti sejarah Palestina. “Jika Gaza ditinggalkan, Israel dapat dengan mudah merekonstruksi wilayah itu sesuai kepentingannya. Artefak sejarah akan hilang, dan generasi mendatang Palestina tidak lagi memiliki memori kolektif tentang perjuangan mereka,” tambahnya.
Dampak Besar Bagi Indonesia
Relokasi besar-besaran warga Gaza ke Indonesia dinilai akan menimbulkan dampak serius, baik dari aspek sosial, ekonomi, maupun politik. Indonesia, yang bukan penandatangan Konvensi Pengungsi 1951, memiliki keterbatasan dalam memberikan status resmi kepada pencari suaka.
“Jika rencana ini benar-benar terjadi, status mereka di Indonesia hanya sebatas asylum seeker atau pencari suaka. Mereka tidak akan langsung diakui sebagai pengungsi, karena Indonesia bukan pihak yang meratifikasi Konvensi Pengungsi. Pemenuhan kebutuhan dasar mereka akan sangat bergantung pada lembaga internasional seperti UNHCR dan IOM,” papar Yusli.
Ia juga menyoroti potensi konflik sosial yang dapat terjadi. “Kita bisa belajar dari kasus pengungsi Rohingya yang pernah datang ke Aceh. Saat itu, meskipun masyarakat Aceh menyambut mereka dengan hangat, tetap saja muncul masalah sosial. Pengungsi membutuhkan tempat tinggal, makanan yang sesuai, pendidikan, hingga pekerjaan. Belum lagi kebutuhan biologis seperti pernikahan, yang seringkali menjadi masalah baru,” jelasnya.
Dari sisi ekonomi, Yusli mengingatkan bahwa Indonesia masih menghadapi banyak tantangan domestik. “Masyarakat kita saja masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Jika dua juta warga Gaza direlokasi ke sini, beban ekonomi negara akan semakin berat,” ujarnya.
Yusli juga mengkritik motif di balik wacana ini. Ia menyebut NBC News, media yang pertama kali memberitakan isu ini, sebagai perpanjangan dari kepentingan pemerintah AS. “Tidak ada media yang sepenuhnya independen. NBC News mungkin mengklaim dirinya sebagai media independen, tetapi pada kenyataannya, mereka memiliki kepentingan tertentu. Witkoff, yang mengeluarkan pernyataan ini, adalah teman dekat Trump dalam dunia real-estate. Kita harus jeli melihat siapa yang berada di balik berita ini dan apa tujuannya,” kata Yusli.
Menurutnya, penyebutan Indonesia sebagai tujuan relokasi tak lepas dari citra negara ini yang vokal dalam mendukung Palestina. “Indonesia dikenal sebagai negara yang paling keras menyuarakan kemerdekaan Palestina. Kita juga dikenal sebagai negara Muslim terbesar yang sering memprotes kebijakan Israel. Jadi, ketika nama kita disebut, ini seperti jebakan politik. Kalau menerima, kita akan kewalahan. Kalau menolak, kita bisa dicap tidak peduli,” jelasnya.
Sebagai solusi, Yusli menekankan pentingnya diplomasi melalui forum multilateral seperti PBB dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). “Masalah ini tidak bisa diselesaikan oleh satu negara saja. Negara-negara Arab, yang secara geografis lebih dekat dengan Palestina, seharusnya menjadi pihak utama yang bertanggung jawab. Namun, sayangnya, banyak negara Arab yang justru tidak bersatu,” ungkapnya.
Yusli juga menyoroti pentingnya peran Indonesia dalam mengingatkan negara-negara Arab untuk lebih proaktif. “Indonesia perlu mendorong negara-negara Arab untuk membuktikan solidaritas mereka. Jangan hanya berbicara, tetapi buktikan dengan tindakan konkret,” pungkasnya. [mut.wwn]