26 C
Sidoarjo
Sunday, January 12, 2025
spot_img

Wacana Aneksasi Kanada dan Greenland oleh Trump, Imperialisme Gaya Baru AS

Oleh :
Probo Darono Yakti
Dosen Hubungan Internasional FISIP UNAIR ; Pengajar Strategi dan Tata Kelola Strategis; Periset CSGS dan Direktur CNDSS

Dilantiknya Trump pada Senin (20/01) pekan depan menandai suatu era AS yang kembali pada imperialisme. Pada era yang semakin mengglobal, gagasan untuk melakukan aneksasi teritorial oleh dari suatu negara besar kepada negara lain tampaknya telah usang. Namun Presiden AS terpilih Donald Trump telah memaparkan bahwa Kanada dan Greenland akan masuk dalam cakupan wilayah pemerintahan Washington. Pada pembahasan HI, corak realpolitik tampak menyeruak di mana persoalan AS ini sama halnya seperti perang di Rusia-Ukraina. Washington di bawah kepemimpinannya hendak memasang “barikade es” besar sebelum Rusia dan kekuatan besar lain menyentuh wilayah utama AS. Ambisi kekuasaan Trump diindikasikan dengan Pax Americana dengan corak hegemonik yang kental.

Histori Ekspansi Wilayah AS
Jika ide “gila” dari Trump terealisasi, bukan kali pertama AS melakukan ekspansi wilayah. Setidaknya tercatat dalam sejarah berbagai akuisisi teritorial yang strategis. Beberapa yang terbesar adalah pembelian Louisiana pada tahun 1803 dari Prancis dan Alaska dari Rusia pada tahun 1867 terlebih ada peristiwa-peristiwa militer seperti perang dan pendudukan atas suku Indian. Sejarah ini menandai pola kolonialisme AS yang berbasis pada motif ekonomi dan geopolitik untuk meneguhkan eksistensi Washington pada era-era krusialnya dalam mendirikan negara-bangsa.

Namun, perbedaan signifikan yang perlu diidentifikasi adalah perluasan wilayah tidak semata-mata memenuhi hasrat ambisi untuk penguasaan secara geopolitik namun mengandung misi moral untuk membentuk identitas nasional AS sebagai kekuatan besar. Presiden Terpilih AS Trump mencoba untuk merekonstruksi ulang ide lama tersebut dalam rangka menganeksasi Kanada dan Greenland. Pembacaan Trump dan jajarannya yang akan segera memerintah ini memang tidak semata-mata sedang dalam persiapan menghadapi perang dalam wilayah-wilayah tersebut. Melainkan pandangan bahwa kedua wilayah baik Kanada dan Greenland dapat diposisikan sebagai aset strategis yang dapat memperkuat posisi AS dalam persaingan global.

Berita Terkait :  Generasi Lemas Indonesia Cemas

Kanada Masih Terikat dengan Inggris, Greenland Naungan Denmark

Resistensi domestik dan internasional pastinya akan bermunculan kepada AS tidak terkecuali dari Kanada sendiri yang memiliki hubungan historis dan kultural yang erat dengan Inggris melalui ikatan persemakmuran. Kanada memiliki latar belakang historis dan identitas yang jauh berbeda dari AS, sehingga memiliki alasan kuat untuk menolak ide ini terlebih posisi ekonomi Kanada yang telah mapan mencerminkan bagaimana negara ini tetap mempertahankan kemerdekaan politik dan budaya di bawah naungan Ratu Inggris.

Dari sisi politik, aneksasi akan menempatkan Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau, dalam posisi yang cukup sulit. Dengan proposal potensi keuntungan ekonomi berupa penurunan tarif dan pajak alih-alih juga menawarkan keamanan dari kapal perang Rusia dan Tiongkok yang hilir mudik di sekitar perairannya, kehilangan kedaulatan nasional akan menjadi harga yang terlalu mahal. Bagi Kanada, masuk sebagai negara bagian AS berarti meleburkan identitas nasional yang telah lama dibangun sebagai negara yang menjunjung tinggi asas multikultur sehingga berpotensi menimbulkan benturan keras dari masyarakat Kanada sendiri.

Sementara itu, Greenland sebagai negara teritorial berotonomi dari Denmark menawarkan daya tarik yang berbeda dengan posisi strategis di kawasan Arktik yang kaya akan sumber daya alam dan jalur perdagangan potensial. Bagi Trump, menguasai Greenland dapat memberikan keuntungan strategis bagi AS dalam “perang” perebutan pengaruh di Arktik. Denmark sendiri menolak secara keras negosiasi atas wilayah tersebut melalui Perdana Menteri, pimpinan oposisi, dan Menteri Luar Negerinya. Belum lagi, Rusia baru-baru ini mengeluarkan peringatan ke AS tentang Greenland terutama menanggapi pernyataan Trump yang menolak tidak menggunakan militer untuk menduduki wilayah laut lepas dari Denmark tersebut. Risiko di depan mata adalah terlibatnya Tiongkok sebagai mitra Rusia di BRICS dan SCO melihat ancaman dari AS menjadi semakin di depan mata.

Berita Terkait :  Waspada Fenomena Resistensi Obat

Trump dan Pax Americana: Sebuah Imperial Overstretch?

Aneksasi kembali mengindikasikan lahirnya kembali Pax Americana atau dominasi AS di dunia pada era kepemimpinan Trump. Namun perlu dicatat bahwa cara Trump yang cenderung agresif justru bertentangan dengan prinsip-prinsip internasional kontemporer, seperti kedaulatan negara dan dekolonisasi. Pasalnya, ide Trump justru lebih terlihat mengarah pada nostalgia imperialisme ketimbang strategi realistis. Lebih jauh lagi, gagasan ini mengundang risiko imperial overstretch, yakni ketika ambisi kekuasaan melebihi kapasitas negara untuk mendukungnya. Sejarah menunjukkan bahwa kekuatan besar yang mencoba memperluas kekuasaannya secara berlebihan sering kali mengalami keruntuhan, baik secara ekonomi maupun militer seperti halnya Kekaisaran Romawi yang gagal mempertahankan dominasi dan hegemoninya di bawah Alexander Agung.

Selain imperial overstretch, ide Trump juga dapat membuat AS memunculkan imperialisme gaya baru. Meskipun dunia telah menyaksikan dekolonisasi besar-besaran setelah Perang Dunia II, gagasan seperti ini menunjukkan bahwa pola pikir kolonialisme masih ada terlepas dari sikap politik dari setiap pemimpin dari Partai Republikan adalah hawkish. Pada konteks global, imperialisme modern sering kali tidak berwujud invasi militer, namun melalui kontrol dalam aspek ekonomi, politik, dan budaya secara soft power. Ide Trump tentang aneksasi membawa kembali pada pola lama, ketika kontrol langsung atas wilayah dengan hard power tetap menjadi tujuan.

Adakah Cara Hentikan Trump?
Wacana global Trump tentu perlu diperhatikan secara serius oleh khalayak. Meski ide ini tampak hanya sebatas provokasi politik, impak besar pada hubungan internasional tidak dapat diabaikan lagi. Gagasan Trump bila dibiarkan hanya akan merudapaksa prinsip-prinsip dasar kedaulatan negara dan perdamaian dunia sebagaimana yang tertera dalam piagam PBB yang ditandatangani di New York. Artinya, ide “gila” Trump terkait ini perlu untuk diimbangi oleh pemikiran kritis para akademisi dan pengamat hubungan internasional yang berperan penting dalam menyuarakan urgensi ini. Pola-pola imperialisme dalam bentuk apa pun perlu dipahami mengingat dunia terus hadir dengan siklus Kondratieff dan kekuasaan suatu negara akan berjalan bak filosofi Cakra Manggilingan.

Berita Terkait :  Cegah Eksploitasi Seksual Anak Melalui Layanan Keuangan

Akhir kata, ambisi AS untuk memperluas pengaruhnya di dunia memang mengembalikan teori geopolitik klasik seperti Mackinder, Spykman, atau Mahan. Namun, risiko imperial overstretch AS justru akan berpotensi membuat gagasan ini lebih banyak membawa kerugian daripada keuntungan. Sebagai masyarakat sipil global yang peka terhadap perdamaian dunia, wacana semacam ini perlu dikritisi untuk merefleksikan kehadiran kembali kolonialisme dan imperialisme. Caranya adalah dengan terus menjaga prinsip kedaulatan negara dan perdamaian dunia.

—————- *** ——————

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru

spot_imgspot_imgspot_img