Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya
Kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan penetapan status tersangka pada Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer alias Noel bersama 10 tersangka lainnya tengah menjadi atensi masyarakat. KPK dalam rilis resmi menerangkan bahwa dugaan pemerasan pengurusan sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Kementerian Tenaga Kerja. Tindakan koruptif tersebut mungkin terlihat bersifat administratif namun jika ditelusuri lebih kanjut dugaan pemerasan itu berdampak dan mengancam serta membahayakan nyawa pekerja. Atas biaya illegal tersebut menjadi beban yang harus ditanggung oleh pengusaha dan berpotensi mematikan usaha kecil. Ironisnya disinyalir terjadi praktik-praktik kompromi terhadap standar keselamatan melalui sertifikasi yang dapat membahayakan nyawa pekerja. Selain itu juga efek lanjutannya dapat merusak iklim usaha dan membebani dunia industri. Memang permasalahan ketenagakerjaan acapkali menimbulkan fraud atau tindakan yang melanggar hukum dengan tujuan memperoleh keuntungan pribadi atau merugikan orang lain.
Modus yang dilakukan adalah upaya memperlambat, mempersulit atau bahkan tidak memproses dokumen sertifikasi yang menjadi kewenangan institusi Kementeria Tenaga Kerja tersebut. Sebenarnya kasus tersebut bukan pertama kali terjadi. KPK sebelumnya juga membongkar kasus dugaan pemerasan terhadap Tenaga Kerja Asing (TKA) dan atau penerimaan gratifikasi. Modusnya sering kali berkedok “biaya percepatan” atau “biaya konsultasi” yang dipaksakan sehingga posisi perusahaan tidak memiliki pilihan lain jika ingin urusannya lancar. Dapat dibayangkan bahwa para pekerja atau buruh harus mengeluarkan biaya atas tarif sertifikasi K3 hingga 6 juta rupiah, padahal biaya resmi hanya sebesar 275 ribu rupiah. Biaya sebesar 6 juta tersebut lebih dari rata-rata pendapatan atau upah (UMR) yang diterima para pekerja dan buruh dalam sebulan. Saat ini Indonesia saat ini sedang berada pada periode bonus demografi dimana menunjukkan tingginya jumlah sumber daya manusia (SDM) yang berada pada usia kerja. Berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan rata-rata jumlah pekerja atau buruh dalam 5 tahun terakhir (2021-2025) sejumlah 137,39 juta orang per tahun. Khusus untuk tahun 2025 yakni sejumlah 145,77 juta orang atau 54 persen dari total seluruh penduduk Indonesia. Dengan kondisi inilah maka tenaga kerja atau buruh pada bidang dan spesifikasi pekerjaan tertentu diwajibkan memiliki sertifikasi K3 dalam rangka menciptakan lingkungan kerja yang aman, sehat, dan nyaman sehingga dapat meningkatkan produktivitas pekerja.
Sertifikasi K3
Bagi sebagian masyarakat umum sertifikasi K3 serasa asing apalagi yang tidak terkait langsung dengan dunia kerja. Sertifikasi K3 merupakan proses penilaian dan pengakuan resmi atas kompetensi di bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang diterbitkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan. Sertifikasi ini bertujuan memastikan bahwa tenaga kerja atau perusahaan memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menerapkan K3 sesuai peraturan yang berlaku, sehingga tercipta lingkungan kerja yang aman, sehat, dan produktif. Sebagai bagian dari penerapan Sistem Manajemen K3 (SMK3), sertifikasi ini tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga menjadi bukti komitmen perusahaan dan tenaga kerja dalam mencegah kecelakaan serta penyakit akibat kerja. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, yang dimaksud Keselamatan dan Kesehatan Kerja atau K3 adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan tenaga kerja melalui upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Secara esensi K3 merupakan hak dasar esensial bagi para pekerja dan buruh, disisi lain menguntungkan pengusaha minimal agar mengurangi risiko pengeluaran biaya jika terjadi kecelakaan kerja.
Mengacu pada regulasi tersebut, Sertifikasi K3 Kemnaker diberikan kepada tenaga kerja atau perusahaan yang telah mengikuti pelatihan resmi dan lulus uji kompetensi K3. Sertifikasi ini diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan teknis Kemnaker, misalnya terkait Ahli K3 Umum, Operator K3, dan Petugas K3, yang masing-masing memiliki kualifikasi dan standar berbeda sesuai jenis industri serta tingkat risikonya. Secara umum ruang lingkup sertifikasi K3 meliputi : pertama, tenaga kerja yang menangani langsung kegiatan berisiko tinggi, seperti pengoperasian pesawat angkat dan angkut, boiler, atau peralatan bertekanan tinggi, kedua perusahaan dengan jumlah tenaga kerja dan tingkat risiko tertentu yang diwajibkan menerapkan Sistem Manajemen K3 (SMK3). Selain itu setiap perusahaan dengan potensi bahaya tinggi atau mempekerjakan tenaga kerja dalam jumlah besar wajib melaksanakan SMK3 dan menugaskan tenaga kerja bersertifikasi K3. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenai sanksi administratif hingga penghentian sementara kegiatan kerja sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
———— *** ————–


