33 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Urgensi Kewenangan Rehabilitasi Sosial ODHA di Daerah

Oleh :
Robi Setyanegara
Penata Kelola Hukum dan Perundang-undangan Dinas Sosial (Dinsos) Provinsi Jawa Timur

Penderita HIV/AIDS atau biasa disebut dengan Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) tidak hanya mengalami masalah medis, tetapi juga masalah sosial. Banyak ODHA yang mendapatkan stigma negatif, bahkan perlakuan diskriminatif, dari masyarakat sekitarnya. Hal ini membuat proses pemulihan bagi ODHA tidak cukup hanya dengan rehabilitasi medis melalui fasilitas pelayanan kesehatan. Dibutuhkan juga pendekatan lain yang disebut dengan rehabilitasi sosial untuk memulihkan kembali fungsi sosial ODHA di tengah masyarakat.

Berdasarkan ketentuan umum yang terdapat pada Peraturan Menteri Sosial (Permensos) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Asistensi Rehabilitasi Sosial, rehabilitasi sosial diartikan sebagai proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat. Yang perlu digarisbawahi adalah frasa “secara wajar dalam kehidupan masyarakat”, karena ODHA yang mengalami pengucilan dan diskriminasi dari masyarakat akan sulit untuk menjalani kehidupan sosialnya “secara wajar”. Sehingga, diperlukan proses rehabilitasi sosial agar ODHA mampu hidup selaras dan diterima oleh masyarakat layaknya orang pada umumnya.

Sentralisasi Rehabilitasi Sosial ODHA
Jumlah ODHA di tiap provinsi di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan, termasuk di Jawa Timur. Pada tahun 2023, misalnya, ODHA di Jawa Timur berjumlah 65.238 orang. Lalu pada semester I tahun 2024, dihitung pada bulan Januari hingga Juni, jumlah ODHA di Jawa Timur bertambah sebanyak 4.867 orang. Kemungkinan besar pada tahun 2025 ini datanya terus bertambah, meskipun belum ada angka pasti yang dapat dijadikan acuan. Ini masih Jawa Timur, belum lagi provinsi lainnya yang pasti juga menyumbang penambahan jumlah ODHA di Indonesia.

Berita Terkait :  Hari Pertama Bertugas, Pjs. Bupati Tuban Minta ASN Jadi Teladan Dalam Menyalurkan Hak Suaranya Secara Bertanggungjawab

Meskipun jumlah ODHA meningkat setiap tahun di hampir semua daerah, namun ternyata fasilitas pelayanan rehabilitasi sosial bagi ODHA jumlahnya sangat terbatas. Ini dipicu oleh sentralisasi kewenangan penyelenggaraan rehabilitasi sosial bagi ODHA yang hanya ada di tangan pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Sosial. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 90 Tahun 2019 tentang Klasifikasi, Kodefikasi, dan Nomenklatur Perencanaan dan Keuangan Daerah disebutkan bahwa daerah provinsi dan kabupaten/kota memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan rehabilitasi sosial bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), selain penderita HIV/AIDS dan NAPZA.

Sentralisasi kewenangan rehabilitasi sosial bagi ODHA inilah yang menjadi hambatan tersendiri bagi pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, untuk membantu ODHA di daerahnya kembali berfungsi sosial secara wajar. Pemerintah daerah hanya berperan merujuk ODHA ke Unit Pelaksana Teknis (UPT) milik Kementerian Sosial yang jumlahnya hanya 32 titik dan tidak berada di setiap provinsi. Tentu saja kapasitas penampungannya juga sangat terbatas dibandingkan dengan jumlah ODHA yang tiap tahun meningkat.

Tiadanya Peraturan Spesifik Mengenai Rehabilitasi Sosial bagi ODHA

Rehabilitasi sosial bagi ODHA pernah secara spesifik diatur dalam Peraturan Menteri Sosial (Permensos) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Standar Nasional Rehabilitasi Sosial Orang Dengan Human Immunodeficiency Virus Acquired Immunodeficiency Syndrome. Di dalam beleid tersebut diatur secara detail standar pelayanan rehabilitasi sosial bagi ODHA yang berlaku secara nasional, baik di dalam maupun di luar panti. Peraturan ini sempat menjadi pedoman yang cukup komprehensif bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat dalam rangka peningkatan kualitas dan kuantitas pelaksanaan rehabilitasi sosial bagi ODHA.

Berita Terkait :  Inovasi Plafon PVC Premium Lokal, JAVAFON Jawab Kebutuhan Estetika Hunian Modern Masa Kini

Namun, sayangnya, tidak lama berselang, Permensos Nomor 6 Tahun 2018 dinyatakan dicabut dan diganti dengan Permensos Nomor 16 Tahun 2020 tentang Asistensi Rehabilitasi Sosial. Selanjutnya, diganti lagi dengan Permensos Nomor 7 Tahun 2021 tentang Asistensi Rehabilitasi Sosial dengan perubahan beberapa kali terakhir dengan Permensos Nomor 2 Tahun 2024. Implikasi dari perubahan regulasi tersebut adalah tiada lagi peraturan spesifik mengenai rehabilitasi sosial bagi ODHA. Peraturan terbaru memberikan pedoman asistensi rehabilitasi sosial secara umum, itu pun hanya menyasar anak, lanjut usia, penyandang disabilitas, serta korban bencana alam dan kedaruratan.

Sampai saat ini, belum ada lagi peraturan yang khusus mengatur tentang rehabilitasi sosial bagi ODHA. Padahal, jika dipertimbangkan berdasarkan peningkatan jumlah ODHA serta risiko masalah sosial yang menimpa mereka, peraturan yang spesifik mengenai rehabilitasi sosial bagi ODHA sangat diperlukan. Ketiadaan peraturan spesifik inilah yang bisa memunculkan keraguan dari masyarakat tentang seberapa serius pemerintah hadir dalam membantu ODHA, terutama untuk memulihkan fungsi sosialnya di tengah masyarakat.

Serius dalam Rehabilitasi Sosial ODHA
Permasalahan yang dihadapi ODHA terasa sangat kompleks, baik secara medis maupun sosial. Perlu dicatat bahwa tidak semua ODHA berawal dari “orang nakal” yang terlibat seks bebas atau penyalahgunaan narkoba. Bisa jadi, mereka adalah korban yang terpaksa mengidap HIV/AIDS bukan karena kesalahan mereka sendiri. Pemerintah perlu hadir untuk memastikan agar ODHA tidak kehilangan fungsi sosialnya dan bisa diterima oleh masyarakat seperti orang sehat pada umumnya. Oleh karena itu, diperlukan beberapa hal yang bisa dilakukan sebagai bentuk perbaikan dalam melaksanakan rehabilitasi sosial bagi ODHA.

Berita Terkait :  UU Kepariwisataan Baru, Anggota Komisi VII DPR: Instrumen Dongkrak PAD Daerah dan Ekonomi Nasional

Pertama, pemerintah pusat dapat memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota untuk melaksanakan rehabilitasi sosial bagi ODHA, baik dalam maupun luar panti, sebagaimana rehabilitasi sosial untuk PMKS lainnya. Beri kesempatan kepada pemerintah daerah untuk membangun sendiri fasilitas dan program yang menunjang rehabilitasi sosial bagi ODHA. Langkah ini penting dilakukan agar ODHA yang berasal dari daerah tidak selalu dirujuk jauh-jauh ke fasilitas milik Kementerian Sosial.

Kedua, andaikan tidak memungkinkan bagi pemerintah pusat untuk memberi kewenangan kepada pemerintah daerah melaksanakan rehabilitasi sosial bagi ODHA, Kementerian Sosial dapat menambah UPT yang memberikan asistensi rehabilitasi sosial, khususnya bagi ODHA. Dengan meratanya fasilitas rehabilitasi sosial, setidaknya di tiap provinsi, penanganan ODHA semakin lebih mudah dijangkau. Tentu saja, hal ini harus disertai juga dengan peraturan yang spesifik memberikan pedoman rehabilitasi sosial bagi ODHA. Dan itu semua akan menjadi bukti bahwa pemerintah serius dalam memberikan rehabiliitasi sosial bagi ODHA.

———– *** ————–

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru