Surabaya, Bhirawa
Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) ditetapkan masuk dalam Klaster Mandiri bidang Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Tahun 2025 yang digelar di Auditorium Mini Kampus C, Unusa, Surabaya.
Penetepan tersebut menjadikan Unusa memiliki beberapa keunggulan, salah satunya memiliki kebebasan mereview usulan penelitian, termasuk siapa yang akan menjadi reviewer dan bagaimana proses review akan dilakukan, namun tetap dalam syarat dan kebijakan yang berlaku. Selasa, (15/4)
Ketua LPPM Unusa, Achmad Syafiuddin, S Si, MPhil, Ph D, mengatakan Keuntungan jadi klaster mandiri, Unusa bisa mereview sendiri dengan reviewer yang dimiliki internal kampus, dan sudah punya tujuh dosen yang memenuhi syarat dalam menjadi reviewer.
“Bersama tim peneliti terdiri dari dosen-dosen Unusa akan terus mengembangkan roadmap riset yang telah dirancang, sekaligus memetakan luaran yang dapat diimplementasikan di masyarakat dan dunia industri sebagai bentuk nyata pengabdian masyarakat,” ungkapnya.
Lanjut Syafiuddin menyampaikan bahwa Unusa akan membentuk berbagai pusat riset seperti CEHP dan TB Center serta membangun kelompok-kelompok riset yang melibatkan kolaborasi antardosen, baik dari Unusa maupun dari perguruan tinggi lain di dalam dan luar negeri.
“Kita akan terus bersinergi untuk mempertahankan capaian ini, penting adalah bekerja produktif sehingga tidak terlena dengan klasterisasi ini, dan berharap tetap survive dan bertahan dengan bekerja sebaik-baiknya,” ujar Syafiuddin.
Narasumber Dosen Universitas Gunadarma, Prof. Dr. Ir. Hotniar Siringoringo, mengukapkan akan ada beberapa indikator yang perlu diperhatikan dalam klaster mandiri, sehingga bisa tetap mempertahankannya, Mulai dari penelitian para dosen, publikasi para dosen, jabatan fungsional para dosen, hingga akreditasi program studi maupun perguruan tinggi.
“Jika berbicara mengenai hak yang didapatkan perguruan tinggi pada klaster mandiri, berkaitan dengan anggaran penelitian dan pengabdian, dimana besarannya lebih tinggi daripada klaster yang dibawahnya. Pengelolaan penelitiannya, perguruan tinggi yang berada pada klaster mandiri bisa menentukan atau menunjuk reviewer satu dari perguruan tinggi,” jelasnya.
Prof. Hotniar menambahkan bahwa dalam hal ini Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (DPPM) Direktorar Jenderal Riset dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi, dan perguruan tinggi perlu mengikuti standar yang telah dibuat dalam menilai sebuah proposal penelitian.
“Harus bersikap objektif, tidak bisa dengan sembarangan memberikan nilai baik agar semua proposal penelitian bisa lolo, Pasalnya tindakan yang demikian bahkan dapat mencoreng nama baik perguruan tinggi tesebut. Serta dapat merugikan pihak lain yang seharusnya bisa melakukan penelitian, namun kalah dengan tindakan yang telah dilakukan oleh reviewer semacam,” imbuh Prof. Hotniar.
Prof. Hotniar menegaskan bahwa untuk menjadi reviewer ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, salah satunya bergelar minimum doktor, jabatan fungsional minimun Lektor, pernah menjadi ketua penelitian di penelitian yang multi tahun, hingga memiliki publikasi di jurnal yang bereputasi internasional dan serta telah mengikuti bimbingan teknis dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. [ren.wwn]