25 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Universitas Muhammadiyah Surabaya Minta Pemkot Kaji Ulang SE Pelarangan Bendera One Piece


Surabaya, Bhirawa
Fenomema pengibaran bendera One Piece dengan karakter bajak laut menjadi viral di media sosial beberapa waktu lalu. Bahkan Pemerintah Kota Surabaya hingga menerbitkan Surat Edaran (SE) larangan pengibaran bendera lain satu tiang dengan Bendera Merah Putih.

Terkait ini, Pakar Kajian Budaya dan Media Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Radius Setiyawan, mengkritisi langkah Pemkot itu. Radius menilai penerbitan SE tersebut perlu dikaji ulang karena berpotensi mengekang ekspresi publik, terutama generasi muda.

Ia menyebut bahwa dalam konteks ini, bendera One Piece hanyalah simbol ekspresi yang tidak serta merta mengancam nilai-nilai kebangsaan. “SE yang memang harus dipertimbangkan lagi, karena kemunculannya ini di tengah ramainya bendera One Piece. Jadi saya kira ini satu hal yang perlu dipertimbangkan lagi, bahwa hanya untuk persandingan saja dilahirkan, saya kira itu persoalan,” ujar Radius, Kamis (7/8).

Pria yang juga menjabat sebagai Wakil Rektor UM Surabaya ini menilai pemerintah kota seharusnya lebih fokus pada kebijakan yang menyentuh kebutuhan riil masyarakat seperti jaminan kesehatan, pekerjaan, dan kesejahteraan, bukan justru membatasi simbol-simbol budaya pop.

“Saya kira ini era di mana masyarakat kita yang dibutuhkan adalah jaminan kesehatan, jaminan pekerjaan, atau kesejahteraan. Kalau bendera One Piece memang bentuk ekspresi ya kalau dilihat secara umum,” jelasnya.

Lebih lanjut Radius menegaskan bahwa sejak awal kemunculannya, penggunaan bendera One Piece lebih banyak dimaknai sebagai ekspresi budaya atau perlawanan simbolik, bukan bentuk ancaman terhadap negara.

Berita Terkait :  Kekeringan, 98 Hektar Lahan Sawah di Kabupaten Bojonegoro Puso

“Awal kemunculannya memang bagian dari ekspresi. Bahwa dalam perjalanannya itu digunakan sebagai bagian dari-apa namanya-yang dianggap mengancam pemerintah, itu soal lain. Tapi saya kira ekspresi itu juga perlu ditanggapi secara tepat dan benar,” katanya.

Ia juga mengingatkan bahwa penekanan atau pembatasan terhadap ekspresi publik justru berpotensi menimbulkan reaksi yang lebih besar, terlebih di era digital seperti sekarang ini. “Semakin dibatasi, semakin ditekan, itu akan ada reaksi balik yang mungkin akan lebih besar. Ini era sosial media, era di mana konektivitas tidak hanya soal pertemuan fisik. Sosial media mampu menghubungkan banyak orang dalam satu jaringan. Ketika keinginannya sudah sama, merasa direpresi, maka reaksinya pun akan lebih besar. Bukan hanya di ruang nyata, tapi juga ruang digital,” tandasnya.

Radius menyarankan agar pemerintah daerah lebih bijak dalam merespons fenomena sosial semacam ini agar tidak menimbulkan ketegangan yang tidak perlu di masyarakat. [ina.wwn]

Berita Terkait

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru