Surabaya, Bhirawa
Majelis Diktilitbang Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof Dr H Khudzaifah Dimyati SH MHum resmi lantik Mundakir sebagai Rektor Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya periode 2024-2028. Mundakir menggantikan Sukadiono setelah menjabat selama dua periode. Prosesi pelantikan dan serah terima jabatan Rektor UM Surabaya periode 2024-2028 itu diselenggarakan di Gedung At Tauhid Tower, Senin, 9 Desember 2024.
Usai dilantik, Mundakir menyampaikan, visi utama yakni transformasi berkelanjutan yang terdiri dari tiga hal penting. Pertama, penguatan kapasitas Sumberdaya Insani (SDI). Sumber Daya Insani (manusia) merupakan denyut jantung kemajuan universitas. Secara kuantitas dan kualitas, SDI di kampus harus menjadi perhatian penting agar visi-misi universitas bisa tercapai. Keberadaan dosen dan tendik harus dipastikan efektif dan berkontribusi positif terhadap perkembangan universitas. Maka kapasitas SDI harus terus meningkat dan terukur. Budaya inovasi dan kolaborasi harus terus dipupuk supaya kampus ini terus bergerak, hidup, tumbuh dan berkembang.
“Kebijakan penguatan kapasitas SDI ini diharapkan dalam dua tahun ke depan, tidak ada lagi dosen yang statusnya Tenaga Pengajar. Jumlah LK (lektor kepala) dan Guru Besar kita harapkan meningkat hingga 7%. Budaya inovasi harus menjadi nafas dari aktifitas utama seluruh civitas akademika UM Surabaya,” ungkap Mundakir.
Kedua, penguatan implementasi AL-Islam Kemuhammadiyahan (AIK). Menurut Mundakir, nilai-nilai AIK adalah paru-paru PTMA. Pihaknya ingin, AIK benar-benar tumbuh subur dan bersemi di kampus UM Surabaya. Selain menjadi amanat persyarikatan, Mundakir juga berkeyakinan bahwa diferensiasi yang paling menarik dan efektif yang tidak dimiliki oleh perguruan tinggi yang lain adalah adanya implementasi nilai-nilai Islam bagi seluruh sivitas akademika termasuk mahasiswa.
Ketiga, penguatan program internasionalisasi dan digitalisasi kampus. Mundakir mengatakan, setelah UM Surabaya terakreditasi unggul, maka posisi kampus ini harus ditingkatkan dari tingkat nasional menuju ke internasional.
Mitra kerjasama internasional melalui riset collaboration, join publication, students exchange, program double degree dan international accreditation perlu dilakukan dan ditingkatkan. Terlebih dari itu semua dengan internasionalisasi kampus, maka peluang untuk dakwah global menyebarluaskan nilai-nilai Islam sebagai rahmatan lil alamin semakin terbuka.
Mundakir menjelaskan, program digitalisasi merupakan salah satu kebutuhan dan bentuk penyesuaian kampus terhadap perubahan teknologi informasi yang terus berkembang pesat. Digitalisasi adalah keniscayaan diera global. Terakhir ia mengucapakan terimakasih atas amanah yang diberikan. Mundakir menyadari tidak banyak orang atau kader yang diberikan kesempatan utk memimpin AUM termasuk UM surabaya.
“Ini adalah tantangan dan kesempatan untuk berkhitmad di Muhammadiyah lebih luas lagi. Semoga Allah SWT selalu memberikan kemudahan, kekuatan, menjaga dan membimbingnya,” tandasnya.
Pelantikan ini juga dihadiri sejumlah tokoh penting diantaranya, Prof Dr KH Haedar Nashir MSi (Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah), Dr H Agung Danarto MAg (Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah), Dr dr Sukadiono MM (Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur), Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah VII Jawa Timur adalah Prof Dr Dyah Sawitri SE MM, Ahmad Labib (Anggota Komisi VI DPR RI, Wakil Ketua Majelis Diktilitbang Pimpinan Pusat Muhammadiyah (Prof Dr Khudzaifah Dimyati SH MHum), dr Ibnu Nasir Arrokhimi SAg MMR (Dewan Pengawas BPJS) Pimpinan Perguruan Tinggi dan Ketua Badan Pembina Harian Universitas Muhammadiyah Surabaya dan jajaran.
Anak Buruh Serabutan yang Kini jadi Rektor UM Surabaya
Tidak ada yang mustahil, jika seseorang tekun dan serius berusaha dalam menggapai cita-cita. Hal ini yang dibuktikan Mundakir, Rektor UM Surabaya yang baru dilantik untuk periode 2024-2028.
Anak buruh serabutan asal Gendong Kulon Babat Lamongan, Mundakir bukan berasal dari keluarga mampu, kala itu, saat Mundakir kecil, Tardji adalah buruh serabutan di sawah orang. Sementara ibunya almarhum Mundari adalah pedagang kecil di pasar dengan upah pas pasan. Mundakir anak ke 3 dari 5 bersaudara. Meski ayahnya hanya seorang buruh yang hanya lulus SD, ayahnya sangat sadar akan pentingnya pendidikan.
Kesuksesan Mundakir hari ini merupakan proses panjang yang ia petik sekarang. Berdasarkan kesaksian kakak perempuannya Tarmining, Mundakir adalah sosok yang memiliki kecintaan terhadap pengetahuan. Dulu di tengah keterbatasan Mundakir suka membaca buku apa saja yang ia temui.
“Dari kecil memang saya suka belajar. Dulu kecil sekolah harus jalan kaki 2km karena tidak punya sepeda. Usai pulang sekolah ya bantu bapak-bapak di sawah,” kenang Mundakir.
Menurut Mundakir, saat ia kecil keluarganya pernah transmigrasi ke Sumatera, hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar ekonominya lebih baik. Namun hal tersebut hanya berlangsung 2 tahun lantaran keluarganya tidak betah, akhirnya keluarganya memutuskan kembali ke Jawa.
Saat Mundakir masuk MTSN 1 Lamongan, bersamaan dengan adik-adiknya yang juga harus masuk sekolah, ia mengingat ayahnya kala itu mencari pinjaman uang kepada orang lain, namun pinjaman itu selalu dibayarnya dengan tepat waktu.
Usai lulus dari Madrasah Tsanawiyah, Mundakir melanjutkan di SMA Muhammadiyah 1 Babat. Saat menjadi siswa SMA Mundakir sudah aktif di organisasi pelajar Muhammadiyah. Ia juga kerap kali menjadi perwakilan sekolahnya untuk mengikuti lomba cerdas cermat agama. Karena sering menang, ia memiliki cita-cita menjadi guru agama. Meski tidak menjadi peringkat pertama, Mundakir selalu masuk 5 besar di sekolahnya, bahkan ia pernah menjadi peringkat pertama.
“Setelah lulus dari SMA Muhammadiyah 1 Babat saya berhenti 2 tahun dan merantau ke Surabaya, saya bekerja di proyek rel kereta api. Pernah juga kerja di pabrik kayu, kemudian menjadi tukang potong rambut di salon,” kata Mundakir.
Sebagai seorang anak dengan ekonomi pas-pasan Mundakir tidak pernah menyangka bahwa dirinya bisa menempuh studi hingga perguruan tinggi. Usai dua tahun bekerja di Surabaya, Mundakir kembali ke desa dan membantu ayahnya menjadi tengkulak semangka. Dari situlah ekonominya mulai membaik, bahkan bisa membeli sapi. Untuk bisa masuk ke keperawatan Mundakir harus giat belajar karena ia tak ingin mengecewakan orang tuanya.
“Jadi dulu belajarnya angon sapi sambil bawa buku di pekarangan,” katanya lagi.
Sapi yang besar itu akhirnya dibuat modal agar Mundakir bisa berkuliah. Pada tahun 1998 Mundakir mengambil Diploma III Keperawatan Universitas Muhamamdiyah Surabaya. saat menjadi mahasiswa Mundakir aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) bahkan ia menjadi Wakil Ketua.
Kemudian pada tahun 2003, Mundakir mengambil studi sarjana di Universitas Airlangga (Unair) jurusan keperawatan. Pada tahun 2004 ia mengambil Profesi Ners Unair. Sembari bekerja di UM Surabaya sebagai dosen, kemudian pada tahun 2009 Mundakir melanjutkan studi magister di Universitas Indonesia dan pada tahun 2017 ia berhasil menyelesaikan studi Doktor di Universitas Airlangga.
Mundakir menikah dengan dengan Nuzul Qur’aniati yang kini menjadi Dosen di Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga. Mundakir dikaruniai dua putra bernama Zafran dan Abyan.
Dalam sesi wawancara dengan Nuzul, Mundakir adalah suami yang baik, laki-laki yang selalu memberikan kesempatan kepada perempuan untuk terus belajar, bahkan keduanya LDR ketika istrinya mendapatkan beasiswa S2 di Flinders University dan S3 Flinders University South Australia.
Saat bekerja di UM Surabaya, Mundakir pernah menjabat dalam beberapa pengelolaan institusi diantaranya; menjadi Sekretaris Program Studi (Sekprodi) S1 Keperawatan, Kaprodi S1 Keperawatan, Wakil Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan UM Surabaya, Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan dan Wakil Rektor IV UM Surabaya.
Kapasitasnya tak perlu diragukan, Mundakir memiliki segudang prestasi. Secara internasioal Mundakir tergabung dalam CASE (Council of Asian Science Editors) dan ISQua (International Society of the Quality in Health Care) hingga sekarang dan buku-buku kesehatan dan jurnal yang telah diterbitkan. [ina.fen]