25 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Tuntutan Ganda, Beban Finansial, dan Ironi Mengejar Cita-Cita


Quarter Life Crisis Mahasiswa Setengah Pekerja:
Oleh:
Farida Anggraini
Penulis adalah mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya

Mahasiswa yang menjalankan peran ganda sebagai pekerja bukanlah sekadar kisah inspiratif tentang kemandirian ini adalah potret nyata tekanan struktural dan kelemahan adaptasi sistemik yang perlu direspons secara kelembagaan.

Di balik label “tangguh,” mereka adalah kelompok yang paling rentan mengalami Quarter Life Crisis (QLC) yang dipercepat. Krisis ini lahir dari tuntutan tugas akademik yang kaku, desakan tagihan, dan kelelahan mental yang kronis. Realitas ini terjadi di tengah sistem pendidikan yang gagal sepenuhnya mengakui dan mengakomodasi realitas hidup mahasiswa modern yang harus menopang diri sendiri.

Dilema Eksistensial Hidup dalam Dua Zona Waktu bagi sebagian besar mahasiswa pekerja, menempuh pendidikan sambil mencari nafkah bukanlah pilihan yang romantis, melainkan keharusan mutlak demi kelangsungan hidup dan impian masa depan. Pagi adalah arena kerja yang menuntut profesionalitas dan hasil; malam adalah kelas yang menuntut kehadiran dan nilai.

Hidup di tengah dua zona waktu yang berbeda ini menuntut manajemen energi dan waktu yang ekstrem, seringkali menyentuh batas kemampuan fisik dan psikis. Penghasilan, yang acap kali belum mencapai standar kelayakan UMR, menjadi penopang utama untuk biaya kuliah dan kebutuhan harian. Ironi muncul ketika mahasiswa terpaksa memilih antara hadir di kelas yang menentukan kelulusan atau mempertahankan pekerjaan yang menentukan pembayaran semester berikutnya.

Dilema eksistensial ini adalah produk dari sistem yang tidak sensitif, yang secara tidak langsung memaksa individu untuk bertanggung jawab penuh atas kegagalan sistem pendidikan dalam menjaga keterjangkauan dan fleksibilitas. Ini adalah perjuangan yang mendesak adanya peninjauan ulang kebijakan, bukan sekadar menuntut ketangguhan pribadi yang tak terbatas dari mahasiswanya. Tiga Pilar Kritik Sistemik yang Mendesak Adaptasi.

Pertama, Beban Finansial yang Tidak Proporsional: Mempertanyakan Kebijakan Biaya Inklusif. Adanya selisih meskipun kecil pada biaya kuliah (SPP) antara kelas reguler dan kelas karyawan adalah hal yang perlu dikritisi secara mendalam. Kelompok yang secara finansial terdorong untuk bekerja demi membiayai kuliah, justru dibebankan biaya yang berbeda.

Berita Terkait :  Sikat Semeru 2025, Polres Madiun Sukses Ungkap 11 Perkara, Didominasi Kasus Curat

Secara operasional, penyesuaian biaya ini mungkin dikaitkan dengan overhead penggunaan fasilitas di luar jam reguler. Namun, secara prinsipil, kebijakan ini menciptakan beban yang terasa tidak proporsional bagi mahasiswa yang mengandalkan penghasilan harian. Selisih biaya ini mengirimkan sinyal bahwa akses fleksibel terhadap pendidikan adalah fitur premium, alih- alih menjadi kebutuhan yang setara bagi semua lapisan masyarakat. Institusi pendidikan tinggi harus secara etis dan pragmatis meninjau kembali kebijakan penetapan biaya ini untuk mewujudkan akses yang benar-benar setara bagi semua mahasiswa, tanpa memandang waktu belajar atau status pekerjaan.

Kedua, Rigiditas Kurikulum : Krisis Akibat Ketidakaktifan Akademik. Mahasiswa pekerja seringkali terperangkap dalam tuntutan ganda yang tidak dapat disatukan. Di lingkungan akademik, kurikulum dan penjadwalan dirancang dengan asumsi tradisional bahwa mahasiswa memiliki waktu luang penuh untuk fokus pada pembelajaran.

Sistem yang kurang fleksibel-termasuk jadwal kuliah yang sulit disesuaikan, tuntutan kehadiran yang ketat, dan banyaknya tugas kelompok di jam kerja reguler-menjadi hambatan besar. Meskipun dimaksudkan untuk menjaga kualitas, kurikulum menjadi kurang peka terhadap realitas work-study conflict. Institusi perlu didorong untuk merumuskan kebijakan yang mendorong pendekatan pengajaran yang lebih adaptif, misalnya melalui sistem blended learning yang lebih terstruktur atau pengakuan atas pengalaman profesional sebagai bagian dari capaian pembelajaran, agar pengalaman kerja tidak dianggap sebagai hambatan akademik. Pengakuan ini tidak hanya meringankan beban, tetapi juga memperkaya wawasan akademik dengan perspektif praktis.

Ketiga, Krisis Mental yang Diabaikan: Hilangnya Jaring Pengaman Institusional. Dampak paling signifikan dari tuntutan ganda ini adalah ancaman serius terhadap kesehatan mental. Kelelahan dan burnout adalah konsekuensi logis dari jam kerja dan belajar yang hampir tidak terputus. QLC yang dipercepat dialami bukan karena kebingungan, melainkan karena keharusan menyeimbangkan beban berat di tengah tekanan waktu yang kejam.

Dalam kondisi ini, kampus diharapkan berfungsi sebagai jaring pengaman psikologis yang proaktif. Namun, ketiadaan atau keterbatasan layanan dukungan mental yang spesifik bagi mahasiswa pekerja yang rentan terhadap stres finansial dan waktu, menunjukkan adanya celah dalam layanan institusional. Kampus memiliki tanggung jawab etis untuk memastikan bahwa proses mengejar cita-cita tidak dibayar dengan pengorbanan kesehatan mental mahasiswanya. Ini membutuhkan investasi nyata dalam layanan konseling yang sensitif dan mudah diakses di luar jam kuliah reguler. Mendesak Adaptasi Menuju Pendidikan yang Inklusif sudah saatnya perguruan tinggi mengubah narasi tentang mahasiswa pekerja. Mereka adalah cerminan ketangguhan yang luar biasa, dan sistem harus mendukung, bukan memberatkan.

Berita Terkait :  Potongan TKD Hingga 40% Berpotensi Ganggu Program Prioritas Kota Malang

Tiga langkah utama yang mendesak adalah : (1). Kesetaraan Biaya Akses: Kebijakan biaya kuliah perlu ditinjau ulang demi mewujudkan kesetaraan penuh dan menghapus selisih yang terasa membebani mahasiswa pekerja. (2). Mendorong Fleksibilitas Sistem: Institusi perlu mengeluarkan kebijakan yang secara eksplisit mendorong dosen untuk mengimplementasikan metode pengajaran dan penilaian yang lebih adaptif, mengakui realitas jadwal ganda mahasiswa. (3). Memperkuat Dukungan Mental: Kampus wajib memperkuat layanan konseling yang sensitif terhadap isu work-study conflict dan QLC, menjadikan kesehatan mental sebagai prioritas akademik yang tak terpisahkan dari kualitas pendidikan.

Di tengah tugas, tagihan, dan harapan akan cita-cita, mahasiswa setengah pekerja berhak atas sistem yang suportif, bukan yang menghakimi. Institusi pendidikan harus berdiri sebagai fasilitator kesuksesan, memastikan bahwa gelar sarjana yang mereka raih benar-benar menjadi buah dari ilmu dan kebijakan yang berkeadilan. Reformasi kebijakan pendidikan tinggi tidak hanya berhenti pada penambahan fasilitas fisik, tetapi harus menjangkau ranah non-fisik: memanusiakan proses belajar dan mengutamakan keseimbangan hidup mahasiswa. Hanya dengan adaptasi sistemik yang berpihak, impian ribuan mahasiswa pekerja ini dapat terwujud tanpa harus mengorbankan masa muda dan kesehatan mereka secara keseluruhan.

Mahasiswa setengah pekerja adalah cerminan bagaimana etika pendidikan tinggi kita. Perjuangan mereka adalah panggilan darurat buat kampus untuk berubah dari sekadar tempat belajar yang tinggi menjadi institusi yang peduli dan mau menyesuaikan diri dengan masalah sosial. Kehadiran mereka menuntut pengakuan bahwa kuliah itu nggak cuma buat orang yang banyak uang. Ini adalah perjuangan untuk inklusivitas yang sesungguhnya.

Berita Terkait :  Kawal Pilkada Kota Probolinggo 2024, Ribuan Anggota Gabungan Diterjunkan

Kemandirian finansial yang sering dipuji-puji itu seringkali cuma cerita luar. Di dalamnya ada risiko besar: bahwa biaya buat dapat gelar itu terlalu mahal, bukan cuma uang, tapi juga kesehatan mental dan waktu pribadi yang hilang. Kampus nggak bisa terus-terusan mengandalkan “ketangguhan” mahasiswa tanpa menyediakan dukungan yang benar-benar ada. Gedung mewah dan perpustakaan lengkap itu nggak akan ada gunanya kalau mahasiswa terlalu lelah buat memakainya karena harus segera berangkat kerja.

Dukungan nyata dari institusi harus diwujudkan dalam program yang jelas. Contohnya, bikin program beasiswa kerja yang memungkinkan mahasiswa kerja di lingkungan kampus dengan jam yang lebih fleksibel dan dihitung sebagai SKS. Ini akan mengurangi bentrok jadwal dan memberikan pengalaman kerja yang nyambung. Selain itu, layanan akademik dan konseling harus diperpanjang sampai malam atau akhir pekan, karena mahasiswa pekerja baru punya waktu luang di jam-jam itu.

Menggabungkan pengalaman kerja ke dalam kurikulum juga harus lebih dari sekadar omongan. Kampus perlu bikin kerjasama resmi dengan perusahaan untuk membuat jadwal kerja yang lebih mendukung, atau setidaknya, menghargai keahlian teknis (hard skills) dan keahlian sosial (soft skills) yang didapat mahasiswa di tempat kerja sebagai pengganti beberapa mata kuliah praktik. Pengakuan ini bukan cuma menghargai mahasiswa, tapi juga bikin lulusan jadi lebih siap menghadapi dunia kerja. Dengan begitu, pengalaman kerja nggak lagi jadi beban, tapi jadi aset akademik yang bernilai. Perubahan ini akan mengubah QLC yang menekan menjadi Quarter Life Clarity (Kejelasan Hidup), di mana mahasiswa pekerja punya jalur yang jelas menuju kesuksesan akademik dan karir.

Ini adalah pertaruhan institusi untuk membuktikan bahwa pendidikan tinggi benar-benar inklusif. Memanfaatkan aset praktis yang dibawa mahasiswa pekerja ke dalam kelas akan menciptakan lingkungan belajar yang lebih kaya dan relevan. Kampus punya tugas moral untuk memfasilitasi mimpi tanpa membebankan korban, memastikan setiap perjuangan mahasiswa dihargai bukan hanya dengan ijazah, tapi juga dengan keseimbangan hidup yang utuh. [*]

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru