26 C
Sidoarjo
Sunday, February 2, 2025
spot_img

Tukin: Titik Kritis Dosen untuk Memperoleh Keadilan

Oleh :
S. Aminah
Direktur Center for Security and Welfare Studies (CSWS), FISIP, Universitas Airlangga.

Lembaga pendidikan tinggi adalah jangkar bagi demokrasi dan dalam lembaga itu ada misi universitas telah berkembang selama beberapa dekade terakhir, mengikuti fokus berkelanjutan pada otonomi dan akuntabilitas dalam masyarakat kita yang terus berubah. Di masa militerisasi, neoliberalisasi, dan munculnya otoritarianisme, pentingnya peran universitas tidak pernah berhenti. Apabila sebuah universitas mengalami kekurangan pemimpin, institusi tersebut akan menghadapi kekacauan, ketidakberlanjutan, dan mungkin berada dalam kondisi yang lebih buruk, namun tetap akan eksis. Di sisi lain, jika universitas kekurangan mahasiswa, akan tetap ada menara gading dan lembaga penelitian, serta pengetahuan yang dihasilkan, meskipun tidak selalu dalam bentuk pengajaran dan pembelajaran yang terstruktur, sehingga universitas tetap akan ada.

Jika universitas kekurangan akademisi, operasional universitas tersebut akan terhenti. Hanya kondisi ketenagakerjaan yang stabil, hak pekerja dan akademis yang dilindungi serta lingkungan kerja yang mendukung – termasuk kebijakan khusus yang menargetkan integrasi yang lebih baik dari para sarjana yang akan membangun karier dan bergabung ke dalam komunitas akademis di tingkat lokal-nasional-global – supaya dapat memberikan masa depan yang lebih aman bagi sains dan pengetahuan. Itu skenario ideal dari gambaran perguruan tinggi dan insan akademis. Artinya, demokrasi dan keberlanjutan negara membutuhkan peran perguruan tinggi dan dosen.

Negara abai kesejahteraan Dosen?
Di Indonesia, gambaran ideal perguruan tinggi/universitas jauh dari gambaran ideal, terutama untuk kesejahteraan dosen-dosennya. Kondisi dosen di Indonesia kini tengah berjuang untuk memperoleh kedailan, unguk memperoleh kesejahteraan melalui tunjangan kinerja. Ketentuan mengenai tunjangan ini diatur secara mendetail dalam Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 20 Tahun 2011, yang memberikan pedoman untuk perhitungan tunjangan kinerja bagi pegawai negeri sipil (PNS) di berbagai instansi. Tunjangan kinerja ini sering dikenal dengan istilah “tukin,” dan diberikan sebagai bentuk penghargaan atas kontribusi, tanggung jawab, serta kinerja yang telah ditunjukkan oleh seorang pegawai. Besaran tunjangan ini bersifat variabel, disesuaikan dengan hasil evaluasi jabatan dan pencapaian kinerja individu. Tetapi ini tidak berlaku bagi dosen pegawai negeri. Bahkan belum lama ini, Kemendiktisaintek Mengaku Tak Bisa Beri Tukin Dosen ASN pada 2020-2025, Ini Alasannya menurut Undang-Undang ASN Nomor 20 Tahun 2023, tunjangan kinerja (tukin) bersifat opsional.

Berita Terkait :  Guru Mencubit (Haruskah) Siswa Menjerit ?

Menurut Undang-Undang ASN Nomor 20 Tahun 2023, tukin bersifat opsional. Oleh karena itu, pemerintah harus mengambil keputusan dengan prinsip kehati-hatian yang salah satu aspek pertimbangannya adalah berbasis kinerja. Bahkan pemerintah berdalih pengukuran kinerja dosen ASN di bawah Kemendiktisaintek tidak dapat dilakukan. Bagaimana dengan beban kinerja dosen setiap semester (BKD) yang harus dipenuhi, jika dosen gagal memenuhi BKD otomatis dosen gagal memperoleh tunjangnan sertifikasi ini adalah harapan satu-satunya bagi dosen. Dan tunjangan ini merupakan tunjangan profesi yang diberikan kepada dosen yang memiliki sertifikat pendidik di perguruan tinggi. Lalu kemana dosen memperoleh kesejahteraan?

Secara riil, tidak setiap dosen menduduki jabatan struktural dan tidak setiap dosen terpilih masuk dalam kepanitiaan, tidak semua dosen memiliki kapasitas untuk menjadi konsultan, tidak semua dosen bisa berjejaring dengan lembaga-lembaga, tidak semua dosen memiliki kecerdasan untuk mencari uang di luar.

Kemampuan Riil Dosen
Tukin adalah hak dosen, namun kita juga berjuang untuk keadilan dalam posisi dosen sebagai pegawai negeri. Dosen adalah manusia biasa yang tersingkir dalam menunut tukin sebagai tunjangan dalam posisi sebagai ASN (Aparatur Sipil Negara). Dosen bukan makhluk super yang seakan-akan tidak membutyuhakn kesejahteraan dengan asumsi umum bahwa dosen bisa memperoleh uang dari mana saja dan bisa bekerja apa saja. Tetapi kembali ke problem awal, skill, jejeraing, kecerdasan dosen berbeda satu sama lain. Ada dosen yang sangat laku sebagai nara sumber karena memiliki skill public speaking, pengetahuan luas, pengalaman luas, dan kehandalan serta popularitas. Gambaran umum dosen sebagian ada dosen yang benar-benar ada dan hadir di kampus, membangun skill mengajar mahasiswa, memproduksi pengetahuan, berkarya di laboratorium. Gambaran lain ada dosen yang mengajar mahasiswa setiap hari dan tidak setiap hari. Ada pula dosen yang jarang mengajar karena beban mengajar ada batas minimal, yaitu 7 sks, ada dosen yang mengajar sampai 20 sks per semester. Sumber rejeki dosen sangat terbuka luas dan seolah-olah dosen memiliki skill, kompetensi, kecerdasan, popularitas dan jejaring yang bagus. Itu problemnya. Ada dosen yang benar-benar tidak dikenal publik kecuali hanya di lingkungan kampusnya. Minat dosen pun bereda-beda dan yang penting idealisme dosen juga berbeda-beda.

Berita Terkait :  Berdayakan Petani Lokal Melalui Program Asuransi Pertanian

Bagi dosen yang beruntung adalah dosen yang memiliki dan memenuhi persyaratan sebagai dosen ideal. Memiliki semua skill sebagai intelektual, selebritasm pejabat. Artinya dosen bisa menjadi konsultan, tim ahli, menjadi pejabat di pemerintahan. Ini karena dosen itu memiliki popularitas, memilliki jaringan luas, memiliki kompetensi, kecerdasan. Artinya, dosen memiliki social capital yang sesuai dengan semangat jamannya. Namun bagaimana dengan dosen yang skill, popyularutasnya adalah rata-rata saja, biasa saja. Tidak memililki jabatan karena jabatan dalam struktur manajemen kampus ada persyaratannya (kemampuan komunikasi yang baik, jejaring yang luas, kemamopuan berbahasa asing, prestasi di dalam dan di luar kampus, memiiki capaian pubikasi pada jurnal terakreditasi, dll). tidak banyak dosen yang bisa lolos dan terpilih menjadi pejabat struktural di fakultas dan di tingkat universitas.

Penutup
Dosen bisa berkarya di mana-mana dan peluang dosen untuk memproduksi kapital untuk merawat kehidupannya secara mandiri tanpa berharap pada tunjangan kesejahteraan negara sangat bersifat individual. Insentif setiap kampus pun juga berbeda-beda dalam memberikan apresiasi ataupun insentif kepada dosen. Ini tergantung pada kemampuan dan kondisi keuangan universitas atau perguruan tinggi. Ada doisen yang minat menjadi pejabat di tingjkat fakuyltas, departemen, di kantor manajemen pusat dan ada yang tertarik bekerja di pemerintahan. Banyak sekali pilihan, namun tidak semua dosen memiliki kapasitas dan kemampuan untuk memilih karena keterbatasan yang dimiliki oleh dosen. Karena itu, tukin tetap menjadi harapan bagi dosen untuk lebih sejahtera dan dosen membutuhkan keadilan sebagai ASN.

Berita Terkait :  Cegah Ancaman Siber yang Semakin Masif

Dengan demikian, di dalam universitas dan dunia kebijakan pendidikan tinggi, kita perlu menyediakan akses yang sama kepada para akademisi terhadap sarana produksi pengetahuan. Banyak pembicara meminta universitas untuk berhenti terlibat dalam reproduksi ketimpangan dan menuntut pengenalan gagasan keadilan sosial ke dalam proyek pengetahuan universitas. Namun sangat disayangkan, kesejahteraan dosen menjadi piranti terwujudnya kampus yang merdeka dan demokrasi untuk kemajuan bangsa belum menjadi fokus kebijakan negara.

———— *** ————–

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_img

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru