Nganjuk, Bhirawa
Keputusan DPR RI menghentikan tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta per bulan mulai 31 Agustus 2025 menjadi gelombang yang menjalar hingga ke pemerintah daerah. Di Kabupaten Nganjuk, sorotan publik langsung tertuju pada besaran tunjangan perumahan dan transportasi yang diterima pimpinan serta anggota DPRD, yang dianggap jauh dari prinsip efisiensi fiskal.
Berdasarkan Keputusan Bupati (Kepbup) Nganjuk Nomor 188/2/K/411.013/2023 tentang Penetapan Besaran Tunjangan Perumahan Pimpinan dan Anggota DPRD serta Tunjangan Transportasi DPRD Tahun Anggaran 2023 silam, dan di perbarui oleh Keputusan Bupati No: 188/1/K/411.013/2024 yang di tanda tangani oleh Pj Bupati Nganjuk, Sri Handoko Taruna, tercatat:
Ketua DPRD: Rp 26.911.000 per bulan, Wakil Ketua DPRD: Rp 18.910.000 per bulan
Anggota DPRD: Rp 12.758.000 per bulan, Tunjangan transportasi: Rp 10.000.000 per bulan untuk setiap anggota
Besaran tunjangan ini, meski legal secara administratif dan sudah di kaji appraisalnya, mulai dipertanyakan publik karena dinilai tidak mencerminkan kondisi fiskal daerah dan tingkat kebutuhan riil.
Pemangkasan tunjangan di DPR RI dianggap publik sebagai bentuk penataan ulang etika anggaran. Langkah ini memicu harapan bahwa DPRD di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota ikut melakukan penyesuaian serupa.
Menurut Pujiono, Direktur Edu Politik yang pernah menjabat sebagai ketua KPU dua periode, mengatakan bahwa:
“Di Nganjuk, harapan itu semakin kuat mengingat kondisi anggaran daerah yang rentan. Belanja pegawai telah mencapai sekitar 45% dari total APBD, melampaui batas ideal yang direkomendasikan para pengamat keuangan daerah. Pada saat yang sama, belanja sosial dan program pro-rakyat tidak mengalami penguatan signifikan”, ungkapnya.
Kondisi tersebut membuat angka tunjangan perumahan DPRD tampak tidak relevan dengan kemampuan keuangan daerah.
Kemudian Pujiono menjelaskan hasil dari tim riset edu politik, bahwa ” Pengelolaan tunjangan perumahan dan transportasi DPRD selalu membutuhkan pijakan hukum dan administrasi yang akurat. Pada tahun anggaran 2023, Sekretariat DPRD menggunakan hasil appraisal yang dilaksanakan melalui paket pengadaan tahun 2022 sebagai dasar penyesuaian besaran tunjangan. Proses tersebut dilakukan sesuai kebutuhan saat itu, terutama untuk memastikan bahwa nilai tunjangan memiliki rujukan profesional dari pihak independen,”jelasnya.
Namun memasuki tahun 2024 dan 2025, Sekretariat DPRD tidak lagi melakukan appraisal baru, mengingat tidak adanya perubahan signifikan dalam standar harga dan mempertimbangkan efisiensi anggaran.
“Alhasil, besaran tunjangan tetap mengacu pada keputusan tahun 2023. Keputusan ini tentu membawa konsekuensi, termasuk perlunya evaluasi berkala agar kesesuaian dengan regulasi dan standar pembanding tetap terjaga terlebih di jika dibandingkan dengan daerah kabupaten lain, seperti Kabupaten Jombang yang membuat apraisal di tahun 2024 dan menaikkan tunjangan Ketua DPRD menjadi hampir Rp 50 juta perbulan.”, tambahnya.
Dalam semangat penyelarasan kebijakan keuangan daerah dan meningkatnya perhatian publik terhadap efektivitas anggaran, Sekretariat DPRD membuka ruang evaluasi yang lebih sistematis. Tujuannya memastikan bahwa besaran tunjangan tidak hanya patuh regulasi, tetapi juga memegang prinsip kewajaran, transparansi, dan akuntabilitas.
Gelombang penghematan dari Senayan telah mengubah peta ekspektasi publik. Masyarakat kini menunggu apakah DPRD Nganjuk akan mengikuti jejak DPR RI dengan melakukan penyesuaian tunjangan, atau tetap mempertahankan kebijakan lama di tengah tekanan fiskal.
“Ya kita tunduk dan taat dengan kebijakan pemerintah pusat, tinggal menunggu payung hukum dan arahan dari Kementerian Dalam Negeri,” ungkap Tatit Heru Tjahyono, Ketua DPRD Kabupaten Nganjuk saat di temui lepas acara di Gedung DPRD Minggu (23/11/2025).
Dalam konteks APBD yang kian ketat, langkah efisiensi bukan hanya sekadar kewajiban administratif, tetapi juga komitmen moral untuk memastikan anggaran daerah berpihak pada kebutuhan rakyat. [dro.gat]


