26 C
Sidoarjo
Sunday, November 24, 2024
spot_img

Tolak PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes tentang Pengaturan IHT, Paguyuban Warkop Surabaya Sampaikan Petisi

Surabaya, Bhirawa.
Menolak penerapan Peraturan Pemerintah (PP) No.28/2024 dan rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) tentang Pengaturan Industri Hasil Tembakau (IHT), Paguyuban Pemilik Warung Kopi Surabaya mengajukan petis. Mereka menilai aturan-aturan tersebut justru meresahkan para pengusaha kecil.

“Kami resah karena aturan ini secara perlahan membunuh kami. Larangan penjualan rokok eceran saja sudah sangat memberatkan, ditambah lagi aturan jarak minimal dengan institusi pendidikan. Ini tidak relevan. Lagipula, kami tidak mungkin menjual rokok kepada anak-anak di bawah umur,” ungkap Ketua Paguyuban Pemilik Warung Kopi Surabaya, Hussein Gozali, dalam diskusi mengenai IHT di Surabaya, Jumat (27/9).

Adapun petisi tersebut berisi beberapa tuntutan, termasuk penghapusan pasal tentang larangan penjualan rokok secara eceran, larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari tempat pendidikan dan tempat bermain anak, serta pengaturan mengenai kemasan polos rokok.

Hussein, yang akrab disapa Cak Chong, menjelaskan sekitar 50% dari omzet warkop berasal dari penjualan kopi dan rokok. “Jika menjual rokok dalam kemasan, keuntungannya hanya Rp1.000-Rp2.000 per bungkus. Namun, kalau kami menjual eceran, keuntungan dari satu bungkus bisa mencapai Rp5.000. Sekitar 80% pembeli di warkop lebih memilih membeli rokok secara eceran. Jadi, larangan penjualan eceran ini juga akan memberatkan pembeli,” jelasnya.

Untuk itu, Cak Chong mendesak pemerintah untuk lebih memahami kondisi di lapangan, mengingat pendapatan negara terbesar berasal dari cukai rokok. “Kami berharap ada advokasi dari penggiat UMKM atau pakar untuk membantu para pengusaha kecil dalam menghadapi aturan ini,” tegasnya.

Berita Terkait :  2.000 ASN Pemkab Gresik Ikuti Pembekalan Penilaian Kompetensi Tahun 2024

Selain larangan penjualan eceran dan aturan jarak dengan institusi pendidikan, Cak Chong juga menyoroti pengaturan kemasan polos rokok, yang menurutnya akan menyulitkan pedagang dalam membedakan legalitas produk rokok.

Ia khawatir, apabila tidak sengaja menjual rokok ilegal, barang dagangannya akan disita oleh aparat.

Menurutnya, kebijakan ini tidak mempertimbangkan kesejahteraan rakyat kecil dan mengabaikan asas keadilan bagi pedagang kecil. Ia pun meminta pemerintah untuk merevisi aturan tersebut dan lebih memperhatikan kesejahteraan masyarakat bawah.

“Jika petisi penolakan ini tidak direspons oleh pemerintah, kami siap menggelar aksi massal bersama para pedagang kecil di seluruh Indonesia, terutama di Jawa Timur, yang terdampak oleh aturan ini,” ujarnya.

Menurut aggota DPRD Kota Surabaya, Imam Syafi’i, dalam proses pembuatan aturan, pemerintah seharusnya melibatkan kelompok usaha yang terdampak. “Tidak hanya pengusaha rokok, ada juga usaha lain seperti warung kopi atau toko kelontong yang tidak dilibatkan. Untuk itu perlu diadakan public hearing sebelum suatu aturan diberlakukan,” paparnya.

Imam khawatirkan potensi kehilangan pendapatan negara yang signifikan jika aturan ini diterapkan, yang akan berdampak pada daerah. Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBHCT), yang selama ini diserahkan kepada daerah, akan menurun dan bisa menyebabkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) ikut berkurang.

Sementara itu,mengutip data dari Indef, penerapan PP 28/2024 berpotensi mengakibatkan hilangnya pendapatan negara hingga Rp308 triliun atau sekitar 1,5% dari PDB. Dampaknya terhadap penerimaan perpajakan diperkirakan mencapai Rp160,6 triliun, setara dengan 7% dari total penerimaan perpajakan nasional. Kebijakan ini juga dapat memengaruhi sekitar 2,3 juta tenaga kerja di sektor IHT dan produk turunannya, atau 1,6% dari total tenaga kerja di Indonesia.

Berita Terkait :  Generasi Muda Diajak Bijak Berinvestasi dan Cerdas di Tengah Deflasi

Pakar Komunikasi Universitas Airlangga, Suko Widodo, mengatakan bahwa industri rokok adalah industri yang rumit. Ia juga mempertanyakan larangan penjualan rokok eceran serta aturan jarak dan lainnya. “Harusnya gula juga dilarang. Kenapa rokok terus yang dipersoalkan?” katanya.

Menurut Suko, aturan ini perlu dipertimbangkan lebih serius karena menyangkut kepentingan banyak orang, terutama bagi daerah seperti Jawa Timur yang merupakan penghasil tembakau dan memiliki pendapatan daerah yang bergantung pada rokok.

Hal senada juga disampaikan para pengusaha warkop, mereka khawatir bahwa larangan penjualan eceran rokok akan mengurangi minat masyarakat untuk nongkrong di warkop. “Padahal, cangkrukan adalah tradisi Jawa Timur,” pungkasnya. [riq,dre.ca]

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru

spot_imgspot_imgspot_img