Surabaya, Bhirawa
Kasus keracunan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang terjadi di Bogor menuai perhatian masyarakat luas. Sebab dari hasil uji sampel Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Kota Bogor menunjukkan adanya kandungan bakteri E.coli dan bakteri Salmonella di paket menu MBG yang disediakan oleh dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPT) Bosowa Bina insani. Sebanyak 233 murid dari TK hingga SMA yang menjadi korban keracunan makanan.
Terkait ini, Pakar Mikrobiologi Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), Vella Rohmayani menjelaskan indikasi terjadinya kontaminasi dan bahaya cemaran bakteri E. coli dan Salmonella sp bagi kesehatan.
Menurutnya , bakteri E. coli merupakan jenis bakteri fekal yang dijadikan sebagai indikator penilaian kelayakan makanan dan minuman. Sehingga keberadaan bakteri Escherichia coli dalam sampel amami (air, makanan dan minuman) seringkali menjadi indikasi adanya kontaminasi tinja atau feses dari hewan atau manusia.
“Ditemukannya bakteri E. coli menunjukkan kurangnya hygiene dan sanitasi. Hal ini mengindikasi terjadinya praktik higiene dan sanitasi yang kurang baik selama proses produksi, pengolahan, penyimpanan, atau penyajian produk,”ujar Vella Kamis (15/5).
Ditambahkan Vella, kontaminasi bisa terjadi melalui air yang tidak bersih, kontak dengan permukaan atau peralatan yang terkontaminasi, atau penanganan makanan yang tidak higienis oleh individu.
Lebih lanjut, Vella memaparkan potensi bahaya yang ditimbulkan oleh kedua jenis bakteriin. Untuk infeksi E. coli dapat menyebabkan gangguan pencernaan ringan hingga parah, bahkan berpotensi menimbulkan komplikasi pencernaan yang serius terutama pada kelompok rentan, salah satunya adalah anak-anak. “Sementara itu, infeksi Salmonella sp. umumnya ditandai dengan gejala demam tinggi, diare, muntah, dan sakit perut,” imbuh Vella lagi.
Tingkat keparahan gejala sangat bergantung pada jenis bakteri, jumlah yang tertelan, dan kondisi kesehatan korban. Vella memaparkan, pentingnya penelusuran sumber kontaminasi secara menyeluruh.
“Tim investigasi harus melakukan penelusuran alur produksi dan distribusi program MBG sehingga dapat diketahui sumber masalahnya, apakah kontaminasi terjadi pada bahan baku, proses pengolahan, penyimpanan, atau bahkan saat penyajian.”tegasnya.
Ditemukannya hasil laboratorium kedua jenis bakteri ini, mengindikasikan adanya potensi masalah dalam proses pengolahan makanan program MBG. Ini menjadi lampu merah bagi produsen makanan dan pihak berwenang untuk mengevaluasi kembali standar keamanan pangan yang diterapkan.
Kasus keracunan massal ini juga berkaitan dengan kurangnya tanggung jawab produsen makanan dalam menjamin keamanan produknya. “Pengawasan yang efektif dari pihak berwenang juga sangat krusial untuk melindungi konsumen dari risiko keracunan makanan,”tegasnya.
Insiden ini menjadi pelajaran berharga akan pentingnya pengawasan rutin terhadap pelanggaran standar keamanan pangan, khususnya program MBG. “Harapannya terdapat implementasi langkah-langkah pencegahan dan pengawasan yang efektif agar kejadian serupa tidak terulang kembali,”pungkasnya. [ina.wwn]


