25 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Tarif CHT Mahal, Permintaan Tembakau Menurun Drastis

“Dari 20 ribu ton pertahun, kini permintaan turun drastis menjadi 800 ton sejak harga cukai naik terus menerus. Bahkan harga tembakau juga ikut turun yang tahun 2023 bisa mencapai Rp200 ribu perkilo kini menjadi Rp90 ribu untuk yang top grade,” terang Suwarno (60), petani Tembakau di Jember, Jawa Timur.

Oleh:
Achmad Tauriq Imani – Harian Bhirawa

Cukai rokok memang semakin mahal karena kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) atau cukai rokok. Adapun Pemerintah menaikkan tarif CHT dengan tujuan untuk menurunkan prevalensi merokok, menyejahterakan petani tembakau, dan meningkatkan penerimaan negara.

Kenaikan ini membuat harga rokok di pasaran menjadi lebih mahal. Tujuan kenaikan tersebut untuk mengurangi jumlah perokok, melindungi industri rokok, dan meningkatkan pendapatan negara.

Namun, kenaikan CHT menyebabkan harga rokok naik, yang dapat memengaruhi daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah. Tak terkecuali adalah para petani tembakau yang merasakan dampaknya.

Menurut Suwarno, yang juga menjadi Ketua DPD Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jember yang mengelola sekitar 22 ribu hektare lahan yang ditanami jenis tembakau Na Oogst, Kasturi dan rajang ini sangat merasakan dampak kenaikkan tarif CHT.

“Terutama pada petani lokal bukan mitra, harga tembakaunya bisa tembus sampai Rp30-10 ribu perkilonya. Untuk top gradenya bisa mencapai harga Rp90 ribu, padahal dengan kualitas tembakau yang sama,” ujar Suwarno yang sejak remaja sudah bergelut menjadi petani tembakau.

Untuk itu Suwarno berharap sebagai petani jangan cukai rokoknya yang tiap tahun naik, namun daya serap perusahaan menurun sehingga membuat harga tembakau ikut menurun. “Lebih baik tata kelola pelaku-pelaku tembakau saling menguntungkan akhirnya tembakau tetap lestari dan menghidupi petani tembakau,” jelasnya Suwarno yang vokal mengkritik PP Nomor 28 Tahun 2024.

APTI Soroti Kebijakan (PP) 28 Tahun 2024 dan (RPMK)
Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) APTI, Agus Parmuji, mengatakan industri hasil tembakau nasional saat ini menghadapi lebih dari 480 regulasi ketat, mulai dari peraturan fiskal hingga nonfiskal, yang mencakup kebijakan dari tingkat daerah hingga pemerintah pusat.

Untuk itu, APTI menyoroti kebijakan terbaru, seperti Peraturan Pemerintah (PP) 28 Tahun 2024 dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik, yang menurut Agus, mendapat penolakan dari ekosistem pertembakauan. “Padatnya regulasi ini akan mempengaruhi kelangsungan hidup jutaan petani yang bergantung pada industri rokok,” tandasnya.

DPN APTI meminta agar Pemerintah Indonesia tidak mengaksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), sebuah kerangka kerja yang berisiko mematikan banyak sektor tenaga kerja terkait, seperti petani, buruh, dan pelaku industri tembakau lainnya. Menurut Agus, penerapan FCTC bertolak belakang dengan visi ekonomi nasional yang bertujuan menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Berita Terkait :  Tingkatkan Tata Kelola Koperasi, Pengurus KMP Kota Mojokerto Ditatar SOP dan SOM

APTI juga berharap tidak ada perubahan Harga Jual Eceran (HJE) rokok dan menolak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun 2025, mengingat daya beli masyarakat yang sedang turun. Langkah ini, menurut Agus, sejalan dengan program 100 hari Menko Perekonomian Airlangga Hartarto yang menargetkan peningkatan daya beli masyarakat.

Selain itu, APTI meminta agar tarif cukai hasil tembakau (CHT) tidak dinaikkan selama tiga tahun ke depan demi menjaga pemulihan industri tembakau legal. APTI juga menolak penyederhanaan tarif cukai yang dinilai dapat mengancam harga rokok legal, sehingga perokok beralih ke produk ilegal.

“Dengan simplifikasi ini, perusahaan rokok internasional yang sedikit menggunakan tembakau lokal akan lebih diuntungkan, yang pada akhirnya dapat menjadi ‘kiamat ekonomi’ bagi petani tembakau,” katanya

Dinkes Jatim Sosialisasikan KTR
Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Jawa Timur beberapa waktu lalu juga menggelar rapat kerja untuk mensosialisasikan program pencegahan dan pengendalian penyakit tidak menular serta sosialisasi Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR).

Menurut survei kesehatan Indonesia tahun 2023 di Jawa Timur, tercatat bahwa usia pertama kali merokok berada pada rentang 15-19 tahun, menunjukkan perlunya pengetatan kawasan tanpa rokok (KTR) demi perlindungan kesehatan masyarakat.

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, Erwin Astha Triyono, mengungkapkan Indonesia sedang menghadapi darurat konsumsi rokok. “Negara ini memiliki prevalensi perokok yang tinggi, baik di kalangan ekonomi rendah (27,3%) maupun menengah ke atas (19,5%). Selain itu, konsumsi rokok menjadi penyumbang terbesar dalam pengeluaran rumah tangga golongan miskin dan juga dikaitkan dengan tingginya angka stunting pada anak-anak keluarga perokok,” terangnya.

Adapun industri tembakau memberikan pemasukan sekitar Rp103 triliun, biaya yang dikeluarkan untuk menangani dampak kesehatan rokok mencapai Rp378,75 triliun. “Perda KTR bertujuan untuk mencegah perokok pemula, menurunkan angka penyakit, serta meningkatkan produktivitas kerja melalui penciptaan lingkungan hidup sehat,” ujarnya.

Menurut anggota DPRD Provinsi Jawa Timur, H.M. Hasan Irsyad, menyampaikan terkait pembentukan Perda KTR yang merupakan inisiatif Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) dan telah menjadi bagian dari Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda) 2024.

“Draft rancangan peraturan ini telah disempurnakan dengan masukan dari berbagai pihak, termasuk Dinkes dan OPD terkait di lingkungan Pemprov Jatim,” katanya.

Tenaga Ahli Bapemperda DPRD Jatim, Moh Saleh, menegaskan, bahwa Perda KTR bukan untuk melarang merokok, melainkan membatasi area merokok pada lokasi yang telah disediakan.

“KTR akan diterapkan pada fasilitas kesehatan, tempat belajar, tempat ibadah, tempat bermain anak, dan kantor pemerintah, dengan pembangunan area khusus merokok yang harus dipisahkan dari gedung utama paling lambat dua tahun setelah Perda diresmikan” ujar Saleh.

Berita Terkait :  Gerak Cepat Penuhi Kebutuhan Musim Tanam Harga Pupuk Subsidi Turun

Dengan disahkannya Perda KTR pada 9 September 2024, diharapkan masyarakat Jawa Timur dapat hidup dalam lingkungan yang lebih sehat, sekaligus menciptakan budaya hidup tanpa rokok.

Kadin Jatim Tolak PP 28/2024 dan Draft Permenkes
Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Jawa Timur tegas menolak beberapa pasal terkait zat adiktif dalam Peraturan Pemerintah (PP) 28/2024 yang baru disahkan tanggal 26 Juli 2024 lalu.

Beberapa pasal dalam peraturan tersebut, dipastikan akan mematikan ekosistem pertembakauan nasional sehingga berdampak signifikan terhadap penurunan kontribusi industri hasil tembakau (IHT) dalam pembangunan nasional.

Ketua Umum Kadin Jatim, Adik Dwi Putranto, mengatakan polemik seputar tembakau di negeri ini seakan tak berkesudahan. Baru saja reda gejolak tentang tembakau yang disetarakan sebagai zat psikotropika dalam draf Rancangan Undang-undang Kesehatan.

Para pelaku Industri Hasil Tembakau (IHT) kembali dibuat pusing dengan adanya PP 28/2024, serta aturan turunannya yang tengah disusun oleh Kementerian Kesehatan, yaitu Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPermenkes) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik.

“Dalam PP 28/2024 tentang Kesehatan, terdapat beberapa pasal yang akan berdampak langsung pada IHT dan mengancam keberlangsungan industri. Padahal saat ini IHT memberi kontribusi terhadap 10% penerimaan negara serta menjadi sumber penghidupan jutaan masyarakat. Namun, seperti diketahui, berbagai tekanan yang sangat luar biasa baik dari sisi kebijakan fiskal dan non-fiskal, telah berakibat tidak tercapainya target penerimaan cukai pada tahun 2023 lalu, dan kini ditambah lagi dengan peraturan yang lebih eksesif,” ucap Andik.

Diantara pasal yang mendapat perhatian dan ditolak adalah pasal 435 mengenai standarisasi kemasan, yang kemudian diperjelas kembali dalam RPermenkes pasal 4 ayat 2a, 5 hingga 7, karena kedua aturan ini mengarahkan pada implementasi kemasan polos. Artinya, dalam waktu dekat seluruh produk IHT, baik rokok konvensional maupun elektrik tidak diperbolehkan memiliki desain ataupun merek di kemasan.

Sebelumnya, Pemerintah Indonesia menjadi salah satu negara yang tidak merafitifikasi konvensi pengendalian tembakau melalui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), dimana kemasan polos menjadi salah satu mandat pengendalian didasari pada prinsip kesehatan. Pemerintah pada masa itu memahami betul bahwa intervensi ketika menyangkut IHT banyak aspek lain, seperti ekonomi dan sosial yang perlu dipertimbangkan, selain hanya terpaku pada aspek kesehatan.

Dampak lebih destruktif dari implementasi kemasan polos adalah berkembangnya rokok illegal. “Ketika daya saing produk tembakau dilemahkan dengan berbagai aturan restriktif, para pelaku usaha tembakau illegal akan menggunakan kesempatan ini untuk menjual produk yang tidak patuh aturan ini dengan lebih luas,” tambah Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Jatim Sulami Bahar.

Berita Terkait :  BPJS Ketenagakerjaan Berikan Perlindungan Asuransi Bagi 1,1 Juta Pekerja di Surabaya

Dan tidak mungkin, lanjutnya, konsumen akan beralih kepada produk illegal tersebut karena kemasannya yang lebih menarik, serta harga yang lebih murah. Hal ini akan menjadi kontraproduktif terhadap upaya pemerintah menurunkan prevalensi perokok anak.

“Sepertinya Indonesia ingin meniru Australia. Sebagai negara pertama yang menerapkan kemasan polos (plain packaging), peredaran barang kena cukai (BKC) ilegal di Australia per 2023 mendekati 30%. Salah satu penyebab meningkatnya konsumsi BKC Ilegal adalah diberlakukannya pengaturan plain packaging tersebut, dimana konsumen di australia sulit membedakan antara produk legal dan ilegal,” kata Adik.

Aturan lain dalam PP 28/2024 yang juga menjadi perhatian Kadin terdapat dalam pasal 431 tentang pembatasan tar dan nikotin pada rokok konvensional. Aturan ini diyakini akan menghilangkan karakter produk tembakau khas Indonesia, yaitu kretek, dan berpengaruh pada serapan tembakau lokal yang menjadi sumber mata pencaharian jutaan petani di Indonesia.

“Produksi tembakau di Indonesia itu hampir semua ya memiliki kandungan nikotin tinggi. Jika aturan ini diberlakukan, maka bisa dipastikan petani yang akan mati, tembakau mereka tidak akan terserap,” katanya.

Selain itu, pasal 432 terkait larangan bahan tambahan, Kadin merasa pasal ini menimbulkan potensi implementasi yang tidak tepat di lapangan mengingat belum adanya aturan jelas terkait apa saja bahan-bahan apa yang masuk di dalam larangan.

Pemerintah juga memberlakukan pelarangan penjualan dalam radius 200 meter dan iklan dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan. Hal ini tentunya sangat diskriminatif bagi pelaku usaha dan pedagang kecil yang juga menopang ekonomi kerakyatan. “Padahal sebenarnya sudah ada aturan larangan menjual rokok kepada anak usia dibawah 21 tahun, ini sudah cukup,” kata Adik

Di sisi lain, efek domino yang ditimbulkan akan berimbas pada pendapatan daerah, juga mengancam keberadaan industri kreatif yang selama ini banyak ditopang oleh iklan produk tembakau.

Senada dengan KADIN, Wakil Ketua Perkumpulan Pengusaha E-Liquid Indonesia (PPEI), Agung Subroto mengatakan bahwa PP 28/2024 & rancangan Permenkes ini sangat eksesif. “Pelaku industri rokok elektronik mayoritas adalah UMKM dan bagian dari industri kreatif, tentu aturan ini akan menyebabkan banyak usaha gulung tikar,” tungkasnya.

Sebelum adanya PP 28/2024 tentang Kesehatan, IHT telah menghadapi banyak tekanan regulasi. Dari 446 regulasi yang mengatur IHT, sebanyak 400 (89,68 persen) berbentuk kontrol, 41 (9,19 persen) lainnya mengatur soal cukai hasil tembakau, dan hanya 5 (1,12 persen) regulasi yang mengatur isu ekonomi/kesejahteraan. [*]

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru