Oleh :
Athoillah
Mahasiswa Sains Hukum Pembangunan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Airlangga
Senin, 21 Oktober 2024, Presiden Prabowo melantik 48 Menteri yang bertugas dalam Kabinet Merah Putih. Dibanding jumlah Menteri pada masa pemerintahan Presiden sebelumnya, jumlah Menteri era Presiden Prabowo memang lebih banyak. Jumlah Menteri pada era SBY dan era Jokowi berjumlah 34 orang.
Bertambahnya jumlah Menteri ini tak terlepas dari perubahan Undang-Undang Kementrian Negara dari Undang-Undang nomor 39 tahun 2008 menjadi Undang-Undang nomor 61 tahun 2024.
Dalam pasal 15 Undang-Undang nomor 39 tahun 2008, jumlah keseluruhan Kementrian telah ditentukan yakni paling banyak 34 Kementrian. Pasal ini merupakan salah satu ketentuan dalam Undang-Undang nomor 39 tahun 2008 yang diubah dalam Undang-Undang nomor 61 tahun 2024 yang mengatur jumlah keseluruhan Kementrian ditetapkan sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan oleh Presiden. Melalui perubahan pasal ini, Presiden memiliki wewenang penuh untuk menentukan jumlah Kementrian.
Jika ditelusuri dari naskah akademik kedua Undang-Undang tersebut, nampak ada pandangan dan latar belakang yang berbeda antara Undang-Undang yang lama dan yang baru yang menjadi latar belakang pengaturan jumlah kementrian.
Dalam naskah akademik RUU Kementrian Negara yang lama, disebutkan pemikiran mengenai jumlah kementrian “Semakin besar jumlah kementerian dan urusannya, akan semakin besar beban keuangan negara sementara pada saat yang sama sejumlah urusan tertentu telah dilimpahkan ke daerah melalui instrumen otonomi daerah. Dengan demikian, sejalan dengan satu argumen bahwa money follows function maka desain kementerian negara diarahkan pada upaya efisiensi dan efektifitas urusan pemerintahan. Undang-undang kementerian negara nantinya diharapkan dapat memperkuat bagi terciptanya paradigma tata urusan pemerintahan yang “miskin struktur kaya fungsi”. Dengan kata lain, desain undang-undang tersebut didasarkan pada visi dan misi menciptakan minimal state sehingga UU ini dapat menjadi salah satu pilar reformasi kelembagaan negara. Sejalan dengan pemikiran di atas jumlah dan jenis kementerian akan dibatasi sehingga pelaksanaan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, bersih dan bertanggung jawab serta efektif dan efisien sesuai dengan paradigma managemen publik baru (new public management) dapat tercapai”. Bandingkan dengan naskah akademik perubahan UU Kementrian Negara yang merumuskan “Kebutuhan Presiden atas menteri-menteri negara tersebut, pada sistem pemerintahan presidensil, menjadi hak prerogatif Presiden. Artinya, Presidenlah yang berwenang menetapkan jumlah menteri yang akan menjadi pembantunya untuk menjalankan urusan pemerintahan tertentu dalam rangka mencapai tujuan negara. Adanya pembatasan jumlah menteri negara dalam Pasal 15 UU Kementerian Negara meskipun dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum pada awalnya namun dalam pelaksanaannya justru hal itu membatasi hak Presiden dalam menambah jumlah kementerian sesuai dengan kebutuhan pemerintahan”.
Dari kedua naskah akademik tersebut, jelas nampak adanya perbedaan mencolok: yang pertama memberi titik tekan pada beban keuangan negara dan terciptanya paradigma tata urusan pemerintahan yang “miskin struktur kaya fungsi”, namun pada naskah akademik kedua, titik tekan pertimbangannya adalah pada kebutuhan Presiden dalam kerangka system pemerintahan presidensiil. Dari latar yang berbeda tersebut, maka membandingkan keduanya nampaknya memang tidak tepat, lha wong memang latar belakangnya berbeda, sama seperti membandingkan soto ayam dan soto daging. Sama-sama soto tapi berbeda. Mana yang lebih enak? Ya tergantung selera.
Tantangan Program 100 Hari
Salah satu hal unik dalam pergantian kepemimpinan Indonesia -setidaknya pasca Orde Baru- adalah program 100 hari. Setiap Presiden baru, selalu menjanjikan program andalan dalam 100 hari pertama pemerintahannya. Kebiasaan ini lalu ditiru oleh para kepala daerah: Gubernur, Bupati dan Walikota.
Demikian pula pemerintahan Prabowo-Gibran, program 100 hari dicanangkan, mulai dari makan siang bergizi gratis yang menjangkau 82,9 juta penerima, renovasi ribuan sekolah, hingga beasiswa untuk puluhan ribu pelajar untuk lanjut studi di luar negeri.
Tentu, berhasil tidaknya program 100 hari itu tidak bisa diramal saat ini. Perlu waktu dan setidaknya pada hari ke-101 pemerintahan, baru dapat diberikan penilaian apakah program itu bisa dijalankan. Namun demikian, saat ini dapat terlihat sejumlah kondisi yang menjadi tantangan mulus tidaknya program 100 hari itu. Sayangnya, tantangan itu justru bersumber dari UU Kementrian Negara baru dan keputusan Presiden yang mengangkat Menteri dalam jumlah yang besar, lebih besar dari sebelumnya.
Tantangan yang dimaksud adalah setidaknya yang pertama, kelembagaan kementrian. Banyak kementrian periode sebelumnya yang dipecah menjadi kementrian baru. Ada pula yang sepenuhnya baru: seperti Kementrian Imigrasi dan Pemasyarakatan yang di era pemerintahan sebelumnya berada dibawah Kementrian Hukum dan HAM.
Munculnya kementrian baru ini, mau tidak mau, musti diikuti dengan perubahan kelembagaan: memecah organisasi di kementerian sebelumnya, menentukan pejabat dari eselon 1 kebawah, distribusi pegawai, bahkan menentukan dimana kantor kementrian. Urusan penataan organisasi kementrian ini tentu butuh waktu yg tak singkat, dan melalui Perpres 139 tahun 2024, penataan organisasi ini harus selesai paling lambat 31 Desember 2024. Dengan demikian, jika Kabinet ini dilantik pada 21 Oktober, maka ada waktu setidaknya 70 hari yang harus digunakan dengan baik untuk menyelesaikan urusan internal ini. Tentu saja, mungkin ada yg bisa selesai lebih cepat, mungkin pula ada yg lambat. Namun jika 31 Desember 2024 atau 70 hari setelah pelantikan dijadikan patokan selesainya urusan penataan ini, maka hanya tersisa 30 hari bagi Kabinet ini untuk mengeksekusi program 100 hari. Cukupkah waktunya? Hanya waktu yang bisa menjawab.
Selain masalah penataan kelembagaan, tantangan kedua yang dihadapi adalah anggaran. Ketika Kabinet ini dibentuk, anggaran yang berjalan adalah APBNP 2024, sementara APBN 2025 telah ditetapkan. Baik dalam APBNP 2024 maupun APBN 2025, nomenklatur dan alokasi anggaran yang tersedia dan dianggarkan masih mengacu pada nomenklatur kementrian pada pada Kabinet sebelumnya. Nomenklatur kementerian saat ini tidak dikenal dalam APBN. Menyelesaikannya tentu tidak mudah dan tidak cepat. Misalnya adalah Menteri HAM Natalius Pigai yang meminta anggaran 20 trilyun, jikapun benar kebutuhan itu telah dihitung dengan baik, eksekusinya tentu tidak mudah dan tidak cepat. APBN Perubahan 2024 masih berjalan (tak mungkin diubah lagi) dan APBN 2025 yang sudah ditetapkan juga tidak bisa langsung diubah karena harus melalui Perubahan APBN yang biasanya ditetapkan pada pertengahan tahun. Dengan demikian, maka sampai dengan pertengahan tahun 2025, Kabinet Merah Putih akan dihadapkan pada tantangan pendanaan.
Kedua tantangan tersebut, adalah tantangan internal pemerintah yang muncul sebagai akibat langsung dari UU Kementerian Negara yang baru. Bisa jadi pada waktunya tantangan itu akan terselesaikan. Namun yang menjadi korban dari tidak bisa sat set-nya pemerintah bekerja adalah masyarakat yang berharap pemerintahan baru dapat bekerja efektif: suatu harapan yang mungkin tak bisa lekas tercapai karena pemerintah harus sibuk mengurus dirinya lebih dulu.
———— *** ————–