Oleh :
Ani Sri Rahayu
Dosen Civic Hukum dan Trainer P2KK Univ. Muhammadiyah Malang
Pemilu 2024 merupakan momen penting bagi bangsa Indonesia untuk memilih pemimpin yang terbaik. Oleh karena itu, penting untuk menjaga keamanan dan ketertiban selama pelaksanaan Pemilu 2024. Pemilu yang damai minimal ditandai dengan adanya masyarakat yang tidak mudah percaya terhadap isu-isu yang bertebaran di media sosial dan adanya potensi politik identitas. Terlebih. Indonesia adalah sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras serta antargolongan (SARA). Dengan penduduk yang begitu banyak dan juga memiliki latar belakang budaya, agama serta suku yang berbeda-beda, justru menjadi sangat rawan adanya gesekan horizontal yang terjadi.
Idealnya, masyarakat mampu menciptakan situasi aman dan kondusif menjelang Pemilu 2024. Sehingga mampu mendukung terwujudnya Pemilu yang aman dan damai. Pemilu damai penting diwujudkan ditengah masyarakat agar persoalan kekacauan informasi, atau information disorder yang menjadi tantangan tersendiri bisa diminimalisir, sebagai dampak pemanfaatan teknologi informasi.
Tangkal konten negatif
Guna mewujudkan pemilu damai maka sudah menjadi tugas pemerintah untuk mengawal terselenggaranya pemilu itu berjalan baik. Untuk itu, sudah semestinya pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika perlu terus memantau dan menapis penyebaran konten negatif di ruang digital menjelang Pemilihan Umum serentak tahun 2024. Berbagai kolaborasi dengan berbagai stakeholders termasuk aparat penegak hukum di negeri ini perlu dilakukan sebagai upaya yang tertujukan untuk menjaga Pemilu 2024 yang damai.
Berkaca pada tahun 2019, hoaks terkait politik naik sebesar 10 persen dibandingkan tahun 2018. Hal ini kita upayakan untuk tidak terulang kembali. Sehingga tidak salah jika pihak Kementerian Kominfo yang terhitung sejak Agustus 2018 hingga 14 Februari 2023 Kemkominfo telah memblokir 11.140 hoaks yang ada di ruang digital. Hoaks tentang isu politik mencapai 8,37% dari total keseluruhan. Dengan pengalaman penyelenggaraan Pemilu dua kali pada tahun 2014 dan 2019, Kementerian Kominfo memiliki infrastruktur monitoring untuk menangani disinformasi, misinformasi dan juga malinformasi. Selain itu, Kementerian Kominfo perlu bekerja sama dengan aparat penegak hukum dan lembaga terkait guna melakukan filter terhadap konten negatif. Misalnya ujaran kebencian yang berpotensi untuk memecah keutuhan dan mempertajam polarisasi dalam masyarakat.
Oleh sebab itu, peran serta para peserta Pemilu sangat penting dalam membantu meminimalisir banjir disinformasi. Kalau ada persoalan, perlu ada check and re-check. Harapannya penyebaran hoaks dapat dihentikan sehingga informasi yang beredar di masyarakat dapat menjadi lebih akurat dan dapat dipercaya. Saat ini, sejumlah regulasi yang ada untuk menjaga ruang digital agar tetap aman diantaranya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE), Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik, Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat serta Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP).
Pada prinsipnya, untuk mengendalikan penyebaran hoaks Indonesia perlu menerapkan strategi pentahelix yang berfokus pada tiga level. Pertama, level upstream (hulu) berfokus pada literasi digital. Kedua, level middle stream (tengah) pada kolaborasi platform dan intervensi teknologi. Ketiga, level downstream (hilir) pada penegakan hukum. Ketiga strategi ini perlu diimplementasikan ke depannya, terlebih regulasi hukum terhadap data pribadi menjadi salah satu domain yang akan dilindungi.
Selain itu, penanganan hoaks juga memerlukan kolaborasi dari berbagai pihak, baik dari pemerintah maupun platform digital. Pemerintah berperan dalam regulasi dan pengawasan. Sebagai regulator, pemerintah harus mampu memastikan regulasi yang ada bisa membuat ruang digital aman untuk masyarakat namun tetap memperhatikan hak asasi serta kebebasan berkreasi.
Minimalisir politik identitas
Atmosfer Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mulai terasa. Ruang-ruang digital berpotensi menjadi wadah kampanye yang digunakan pendukung dan para figur yang akan berlaga dihajatan demokrasi. Namun, ada hal yang mesti diantisipasi ditengah antusiasnya publik dalam menyambut pemilu 2024, yakni adanya potensi politik identitas. Terlebih. Indonesia adalah sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras serta antargolongan (SARA). Dengan penduduk yang begitu banyak dan juga memiliki latar belakang budaya, agama serta suku yang berbeda-beda, justru menjadi sangat rawan adanya gesekan horizontal yang terjadi.
Seiring berjalannya waktu, persatuan dan kesatuan diantara masyarakat Indonesia banyak menghadapi ancaman, entah itu merupakan ancaman yang berasal dari eksternal maupun internal bangsa sendiri. Politik dalam negeri sendiri juga sering berada dalam keadaan yang tidak stabil, walaupun kini negara sudah menganut sistem demokrasi, namun ada satu hal yang masih belum dapat dilepaskan dari perjalanan politik negeri ini, yakni adanya praktik politik identitas.
Oleh sebab itu, upaya untuk mengantisipasi munculnya potensi politik identitas atau politisasi SARA sangat penting untuk terhadirkan di tengah-tengah masyarakat. Terlebih hukum pemilu tidak memberi pengertian yang jelas terkait hal tersebut secara detail. Terlebih, jika terperhatikan dan merujuk ke Pasal 280 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, tidak ada penjelasan detil tentang pengertian politik identitas. Pasal tersebut, hanya memuat aturan tentang kampanye yang dilarang menghina, menghasut, mengadu domba, dan menggunakan kekerasan. Sehingga, semakin jelas bahwa negeri ini belum memiliki penjelasan detail terkait UU Pemilu sebagai rujukan.
Berangkat dari kenyataan itulah, maka sudah semestinya Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus memiliki rujukan jelas untuk mengawasi kampanye tanpa politik identitas. Terlebih masyarakat memiliki harapan yang tinggi terhadap Bawaslu untuk mencegah dan menindak dugaan pelanggaran kampanye yang menggunakan politisasai SARA. Selain itu, wajib bagi seluruh elemen masyarakat untuk turut serta dalam memerangi adanya praktik politik identitas, supaya bisa terus memerangi adanya praktik politik identitas yang sangat berbahaya dan merusak NKRI.
———- *** ————