27 C
Sidoarjo
Monday, March 10, 2025
spot_img

Tambang dan Nestapa Orang Utan di Kalimantan

Oleh :
Uswah Sahal
Adalah Mahasiswa Pascasarjana Kajian Sastra dan Budaya Universitas Airlangga Surabaya

Video orang utan berjalan di depan eskavator yang sedang menambang membuat banyak netizen iba di media sosial. Bagi saya, Jujur itu sangat miris, orang utan harus kehilangan hutan tempat tinggal, sumber makanan, sehingga harus mencari ke kebun warga karena rumahnya telah berubah menjadi pertambangan.

Dalam video yag beredar di media sosial, nampak seseorang sedang memvideokan orang utan yang sedang melihat area tambang. Video tersebut menyebutkan bahwa orang utan kehilangan rumah.

“Di balik kilau tambang, ada tangisan yang tak terdengar. Orang utan Kalimantan kehilangan tempat tinggalnya, terdesak ke ambang kepunahan,” tulis Instagram @borneosocial, Rabu (19/2/2025).

Kalimantan, pulau dengan kekayaan alam yang melimpah, kini tengah berada di persimpangan jalan antara kemajuan ekonomi dan kehancuran lingkungan. Aktivitas penambangan yang semakin masif di wilayah ini, khususnya tambang batu bara dan kelapa sawit, telah merenggut kehidupan ribuan spesies, termasuk orangutan.

Dalam satu sisi, penambangan diklaim memberikan keuntungan ekonomi, namun di sisi lain, dampaknya pada ekosistem, kehidupan masyarakat lokal, dan satwa liar, terutama orangutan, terlalu besar untuk diabaikan.

Menurut laporan World Wildlife Fund (WWF), “Hutan Kalimantan telah menyusut lebih dari 50% dalam dua dekade terakhir, banyak di antaranya karena aktivitas pertambangan dan perkebunan.”

Aktivitas ini tidak hanya merusak ekosistem hutan, tetapi juga mengganggu keseimbangan kehidupan flora dan fauna, termasuk orang utan. Mereka terpaksa pindah ke area yang semakin sempit atau mati akibat terperangkap dalam aktivitas penebangan dan pencemaran. Tambang batubara yang semakin berkembang di Kalimantan menjadi ancaman nyata bagi orang utan.

Berita Terkait :  Pj Gubernur Jatim Beri Penghargaan Pahlawan Lingkungan

Keberadaan tambang yang besar memaksa orang utan untuk melarikan diri dari habitat alaminya. Namun, mereka sering kali tidak dapat menemukan tempat yang aman. Penyusutan habitat ini mengakibatkan orang utan menjadi semakin terisolasi dan rentan terhadap kepunahan.

Orangutan, adalah simbol keanekaragaman hayati yang luar biasa, kini menghadapi ancaman terbesar dalam sejarahnya. Kehilangan rumah akibat konversi hutan untuk lahan tambang menjadi salah satu penyebab utama penurunan populasi mereka. Hutan tropis Kalimantan, yang seharusnya menjadi rumah bagi orangutan, terus menyusut dengan cepat.

Penebangan pohon untuk membuka lahan tambang menghancurkan habitat alami mereka, memaksa orangutan untuk bermigrasi ke daerah yang lebih sempit dan tidak dapat menyediakan makanan yang cukup, bahkan terlibat dalam konflik dengan manusia. Namun, jika kita mengamati lebih jauh, masalah ini tidak hanya berhenti pada masalah lingkungan. Ada dimensi sosial yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

Kehilangan habitat orangutan tidak hanya berdampak pada spesies tersebut, tetapi juga pada masyarakat adat dan perempuan yang bergantung pada hutan untuk kelangsungan hidup. Perempuan, terutama di pedesaan, memiliki peran penting dalam pengelolaan alam, namun seringkali terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan terkait penggunaan lahan. Ketika hutan dihancurkan demi kepentingan ekonomi, mereka yang paling rentanlah yang akan merasakan dampaknya, baik secara sosial maupun ekonomi.

Mengabaikan Keseimbangan Alam
Tambang di Kalimantan bukan hanya tentang menggali kekayaan mineral, tetapi juga tentang mengabaikan keseimbangan alam yang selama ini menopang kehidupan banyak makhluk hidup, termasuk manusia. Ekspansi tambang yang tidak terkendali menciptakan ketimpangan yang semakin parah antara kelompok yang mendapatkan keuntungan besar dan mereka yang kehilangan tempat tinggal serta sumber daya hidup mereka.

Berita Terkait :  Beri Penghargaan pada Sejumlah ASN Raih Predikat Pelayanan Publik 2024

Pemerintah dan perusahaan tambang sering kali menjustifikasi aktivitas ini dengan dalih pembangunan ekonomi dan penyediaan lapangan pekerjaan. Namun, bukankah pembangunan ekonomi yang didasarkan pada perusakan alam adalah pembangunan yang rapuh?. Sumber daya alam yang dieksploitasi secara berlebihan tidak akan dapat dipertahankan dalam jangka panjang, dan kita akan merasakan dampaknya lebih cepat dari yang kita duga. Apa yang terjadi di Kalimantan adalah gambaran nyata dari ekonomi yang tidak berkelanjutan, di mana laba jangka pendek mengorbankan kesejahteraan jangka panjang.

Solusi dari masalah ini bukan hanya terletak pada penghentian tambang atau perlindungan terhadap orangutan, meskipun itu sangat penting. Kita harus berpikir lebih luas: bagaimana kita bisa menciptakan ekonomi yang seimbang antara kemajuan manusia dan keberlanjutan lingkungan? Bagaimana kebijakan pembangunan bisa lebih inklusif dengan melibatkan masyarakat lokal, terutama perempuan, dalam pengelolaan alam? Ekofeminisme mengingatkan kita bahwa kerusakan lingkungan dan penindasan terhadap perempuan serta kelompok marginal saling berhubungan. Kesejahteraan manusia dan lingkungan tidak bisa dipisahkan, dan solusi untuk keduanya harus ditemukan dalam harmoni, bukan eksploitasi.

Melihat Nilai Sekitar
“Pembangunan dan pengetahuan ilmiah yang mengesampingkan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat merupakan ekspresi dari sikap kepicikan” begitulah kalimat yang menjadi landasan berpikir dari aktivis perempuan India (Vandhana Shiva). Shiva berpegang teguh pada tiga hal: ontologi epistimologi dan axiologi. Ia memandang hidup di alam hanya dapat bertahan dengan jalan mengembangkan relasi saling bekerjasama, saling memberi dan saling mencintai satu dengan lainnya.

Sebagai seorang aktivis dan pemikir lingkungan, Shiva sering mengkritik pembangunan yang mengabaikan nilai-nilai penting seperti keberlanjutan ekosistem dan hak-hak masyarakat adat. Menurut Shiva, pembangunan yang merusak alam, seperti penebangan hutan yang tidak terkendali, dan mengabaikan masyarakat adat adalah bentuk kepicikan yang berfokus semata-mata pada keuntungan ekonomi jangka pendek tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap kesejahteraan manusia dan planet ini.

Berita Terkait :  Bersama SPPG Mitra Mandiri BGN, Kodim Bojonegoro Sosialisasi Program MBG

Shiva berpendapat bahwa masyarakat adat memiliki pengetahuan yang dalam tentang cara hidup yang harmonis dengan alam, dan sering kali mereka menjadi penjaga hutan dan keanekaragaman hayati. Mengabaikan atau merusak cara hidup mereka, serta merusak lingkungan, adalah tindakan yang menunjukkan kurangnya wawasan holistik dalam pembangunan, yang pada akhirnya bisa membawa kerusakan bagi semua, baik dari segi sosial, budaya, maupun lingkungan.

Menurut Shiva, “kepicikan” ini bukan hanya menciptakan kerugian bagi masyarakat adat dan alam, tetapi juga memperburuk ketimpangan sosial dan mengurangi keberlanjutan bagi generasi mendatang. Pembangunan harusnya mendekatkan kita pada keseimbangan dan keberlanjutan, bukan merusak hal-hal yang sudah ada dengan cara yang tidak bijaksana.

Akhirnya, kita sebagai manusia, jika kita benar-benar peduli dengan masa depan Kalimantan, orangutan, dan seluruh kehidupan yang bergantung pada hutan, kita harus berani mengambil langkah berani untuk mengubah cara kita memandang pembangunan. Jangan biarkan tambang menjadi alasan bagi hilangnya rumah bagi orangutan, dan jangan biarkan mereka yang paling rentan dalam masyarakat kita terus dilupakan. Ekonomi yang berkelanjutan, keadilan sosial, dan perlindungan alam harus berjalan beriringan, bukan dipisahkan. Karena pada akhirnya, jika kita terus mengorbankan alam demi keuntungan sesaat, kita bukan hanya menghancurkan rumah orangutan, tetapi juga rumah kita sendiri dana generasi kita nanti.

————– *** ——————-

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru