27 C
Sidoarjo
Monday, March 10, 2025
spot_img

Tadarus Media Sosial 3.0

Oleh:
Zainal Muttaqin
Founder Komunitas Santri Melek Teknologi (SAKTi) Indonesia dan Kepala Bagian Humas Kantor Gubernur Jawa Timur

Ramadhan selalu datang dengan kehangatan dan keberkahannya. Namun, setiap tahunnya cara kita menjalani bulan suci ini terus berubah seiring perkembangan zaman. Jika dulu kita lebih banyak menghabiskan ramadhan dengan tadarus Al-Qur’an bersama di masjid atau berlama-lama dalam i’tikaf dan doa, kini tak sedikit yang justru lebih sibuk mengejar engagement, memikirkan reach, dan berburu monetize dari konten media sosial yang mereka buat.

Alih-alih mengejar Lailatul Qadar, kita malah sibuk mengejar algoritma. Bukannya memperbanyak i’tikaf dan doa di sepertiga malam, justru begadang demi editing video dan merancang strategi agar konten kita bisa FYP alias viral.

Ramadhan dua tahun lalu (2023), saya menulis “Tadarus Media Sosial” sebagai refleksi bagaimana media sosial bisa menjadi lahan pahala atau justru jebakan yang menguras waktu kita. Tahun lalu (2024), melalui tulisan “Tadarus Media Sosial 2.0”, saya mengajak kita semua untuk menjadi influencer kebaikan. Kini, di tahun 2025, saatnya kita bertanya: apakah media sosial masih kita kendalikan, atau justru kita yang semakin dikendalikan oleh algoritma?

Antara Algoritma dan Keimanan: Siapa yang Mengontrol?
Setiap kali kita membuka media sosial, algoritma bekerja tanpa kita sadari. Konten yang muncul di timeline kita bukanlah sesuatu yang acak, melainkan hasil dari kecerdasan buatan yang terus mempelajari kebiasaan dan preferensi kita. Semakin sering kita mengakses konten hiburan, semakin banyak hiburan yang ditampilkan. Sebaliknya, jika kita lebih sering membuka kajian Islam, tilawah Al-Qur’an, atau ceramah Ramadhan, maka itulah yang akan lebih banyak disajikan oleh media sosial kita.

Inilah tantangan bagi kita di bulan mulia ini. Jika di bulan-bulan biasa kita mungkin terlena dengan doomscrolling (kebiasaan menggulir layar gawai tanpa tujuan hingga waktu berlalu tanpa terasa). Maka di bulan Ramadhan, kita harus lebih sadar dalam mengelola apa yang kita konsumsi di dunia digital. Allah SWT telah memperingatkan kita dalam firman-Nya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.” (QS. Al-Isra: 36)

Berita Terkait :  Misi Olympiade Paris

Lalu, pertanyaannya adalah: siapa yang sebenarnya mengontrol? kita atau algoritma? Jika kita membiarkan diri hanyut dalam tren digital yang tak terarah, maka media sosial yang akan mengendalikan kita. Namun, jika kita dengan sadar memilih konten yang baik, maka kita bisa mengendalikan algoritma agar bekerja sesuai dengan nilai-nilai keimanan kita. Jangan sampai waktu berharga di bulan Ramadhan habis hanya untuk mengejar hiburan tanpa manfaat, sementara kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Allah terabaikan.

Algoritma Media Sosial dan Ibadah Ramadhan
Saat ini, media sosial bukan hanya ruang berbagi cerita dan informasi, tapi juga ladang ekonomi yang menggiurkan. Fitur monetisasi seperti adsense, super thanks, live gift, hingga endorse membuat banyak orang berlomba-lomba menjadi kreator digital.

Tidak ada yang salah dengan mencari rezeki di dunia digital, tetapi bagaimana jika itu justru membuat kita lupa esensi Ramadhan? Bagaimana jika kita lebih sibuk menghitung jumlah views daripada menghitung jumlah rakaat shalat malam kita?

Allah SWT telah mengingatkan dalam QS Al-Munafiqun ayat 9: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta bendamu dan anak-anakmu membuatmu lalai dari mengingat Allah. Siapa yang berbuat demikian, mereka itulah orang-orang yang merugi.”

Ramadhan seharusnya menjadi bulan muhasabah, saat di mana kita menata ulang niat dan fokus ibadah kita. Sayangnya, bagi sebagian orang, Ramadhan justru menjadi momen untuk memaksimalkan konten demi cuan.

Ketika Lailatul Qadar Dikalahkan oleh Monetisasi
Bayangkan jika malam ini adalah Lailatul Qadar, yang disebut-sebut sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan. Rasulullah, para sahabat dan para ulama’ kekasih Allah mengisinya dengan i’tikaf di masjid, shalat malam, dzikir dan berdo’a. Tapi di era digital ini, tak sedikit orang yang justru sibuk membuat live streaming demi saweran virtual, atau sebab terlalu lelah membuat dan mengedit konten di siang hari, justru di malam yang mulia ini hanya dilalui dengan dengkuran yang sia-sia.

Berita Terkait :  Wujudkan Tiga Pilar Pemasyarakatan, Rutan Gelar Sidak Blok Hunian WBP

Cukup sering kita melihat seseorang melakukan live sahur atau berbuka puasa, bukan sekadar untuk berbagi, tapi demi mengumpulkan hadiah digital dari para penonton. Tak jarang, mereka justru berinteraksi lebih banyak dengan followers daripada berdoa kepada Allah di waktu-waktu mustajab.

Padahal, Rasulullah Muhammad SAW bersabda: “Barang siapa yang berdiri (melaksanakan ibadah) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari & Muslim)

Bukankah lebih baik kita mengejar “verified badge” dari Allah dengan memperbanyak ibadah, daripada sibuk mengejar centang biru di media sosial?

Hati-Hati! Ketika AI Menjadi Dai
Disisi lain, kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) semakin banyak digunakan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam dakwah Islam. Kini, banyak ulama dan lembaga keislaman memanfaatkan AI untuk menghasilkan konten dakwah, menjawab pertanyaan keagamaan melalui chatbot keislaman, tafsir Al-Qur’an berbasis AI, hingga ceramah interaktif yang bisa diakses kapan saja. Bagi sebagian orang, ini menjadi solusi praktis untuk belajar agama di tengah kesibukan.

Namun, di balik kemajuan ini, ada tantangan besar yang tidak bisa diabaikan: validitas dan keabsahan informasi keagamaan. Sebagaimana kita diajarkan untuk berhati-hati dalam menerima ilmu, di era digital ini kita pun harus lebih kritis dalam memilah sumber keislaman. Tidak semua yang beredar di media sosial bisa dijadikan pegangan, terlebih jika kontennya dibuat oleh sistem otomatis yang tidak memiliki kapasitas memahami kedalaman ilmu agama.

Rasulullah Muhammad SAW telah memperingatkan dalam haditsnya: “Akan datang kepada manusia tahun-tahun penuh dengan penipuan. Pendusta dipercaya, sementara orang jujur dianggap dusta, pengkhianat diberi amanah, sementara orang yang amanah dianggap pengkhianat. Dan yang berbicara adalah para ruwaibidhah.” Para sahabat bertanya, “Siapakah ruwaibidhah itu?” Rasulullah SAW menjawab, “Orang bodoh yang berbicara tentang urusan umum.” (HR. Ibnu Majah)

Berita Terkait :  PPID Sosialisasi Pemenuhan Informasi Publik pada OPD Pamekasan

Padahal, di bulan Ramadhan, kita dianjurkan untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah dengan ilmu yang benar. Sementara di dunia maya, siapa saja bisa berbicara tentang agama, termasuk mereka yang tidak memiliki pemahaman yang benar. Apalagi dengan kehadiran AI, ada risiko munculnya konten keagamaan yang tidak akurat, karena AI hanya mengolah informasi berdasarkan data yang tersedia tanpa memiliki ijtihad atau pemahaman kontekstual yang benar.

Di bulan yang mulia ini, jangan sampai kita salah dalam menyerap ilmu. Lakukan self-filtering sebelum mempercayai sebuah kajian digital. Pastikan sumbernya jelas, rujukannya shahih, dan tidak sekadar viral tanpa dasar. Jika ingin belajar agama melalui media sosial atau AI, carilah bimbingan dari Ulama – Guru yang kredibel dan memiliki sanad keilmuan yang jelas.

Mari Kembali ke Esensi Ramadhan
Ramadhan adalah bulan refleksi, bulan di mana kita harus lebih banyak disconnect dari hiruk-pikuk dunia agar bisa reconnect dengan Allah. Jangan sampai waktu yang seharusnya diisi dengan mendekatkan diri kepada-Nya justru tersita oleh kebiasaan scrolling tanpa tujuan. Gunakanlah media sosial sebagai alat untuk menyebarkan kebaikan, bukan sekadar mengejar popularitas dan keuntungan duniawi.

Rasulullah Muhammad SAW bersabda: “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari & Muslim)

Hadits ini mengingatkan kita bahwa Ramadhan adalah kesempatan emas untuk meraih ampunan Allah, bukan sekadar momen untuk meningkatkan engagement di media sosial. Jangan sampai ambisi mengejar monetisasi membuat kita lupa bahwa keberkahan Ramadhan jauh lebih bernilai dibandingkan sekadar jumlah followers, views dan cuan.

Sebagaimana centang biru di media sosial yang menunjukkan akun yang terverifikasi, maka mari di bulan Ramadhan ini kita berusaha semaksimal mungkin agar mendapatkan “Muttaqin Badge” di sisi Allah SWT, sebagai tanda bahwa kita termasuk hamba-Nya yang bertaqwa. “Taqoballahu minna wa minkum, kullu ‘amin wa antum bikhair.” Aamiin.

————- *** —————-

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru