30 C
Sidoarjo
Wednesday, April 16, 2025
spot_img

Strategi Indonesia di Tengah Tekanan Global


Oleh :
Probo Darono Yakti
Dosen Hubungan Internasional Universitas Airlangga ; Bidang Politik dan Pemerintahan PW GP Ansor Jawa Timur

Tekanan terhadap posisi ekonomi Indonesia dalam tatanan global semakin terasa nyata. Salah satu indikator utama adalah langkah AS yang makin memproteksi pasar dalam negerinya. Inflation Reduction Act (IRA) menjadi simbol penting di mana AS memberi insentif raksasa bagi sektor energi terbarukan domestik, namun secara bersamaan melemahkan posisi negara eksportir nikel seperti Indonesia. Kebijakan ini membuat harga komoditas kita fluktuatif, dan daya tawar ekspor ke AS menurun signifikan. Di sisi lain, kampanye Eropa terhadap sawit Indonesia yang dikaitkan dengan isu deforestasi berdampak nyata pada anjloknya volume ekspor, menambah tekanan bagi sektor agribisnis kita.

Tidak berhenti di sana, kebijakan perdagangan negara-negara Barat makin sering menjegal upaya hilirisasi kita, seperti gugatan Uni Eropa terhadap larangan ekspor bijih nikel di WTO. Dalam situasi seperti ini, seruan untuk memperkuat posisi Indonesia dalam kelompok BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan) makin menguat. Namun, apakah BRICS dapat menjadi jawaban atas tekanan global yang kita alami? Atau justru hanya menjadi pelampiasan dari rasa frustrasi atas ketimpangan sistem global? Jawaban atas pertanyaan ini tidak sederhana, karena sejatinya bergabung dengan BRICS hanya memberi ruang, bukan solusi otomatis. Solusi sejatinya tetap harus dibangun dari dalam negeri.

BRICS dan Ambiguitas Strategis Indonesia
BRICS, yang awalnya hanya forum diskusi negara berkembang, kini menjelma menjadi simbol perlawanan terhadap dominasi Barat. Dengan pembentukan New Development Bank dan rencana pengurangan ketergantungan terhadap dolar AS, kelompok ini mulai menarik minat negara-negara yang merasa terkekang oleh aturan keuangan global lama. Indonesia tentu memiliki alasan rasional untuk mempertimbangkan bergabung. Kita membutuhkan ruang manuver lebih luas, khususnya untuk membiayai pembangunan tanpa terlalu tergantung pada lembaga Barat seperti IMF atau Bank Dunia.

Berita Terkait :  Pendidikan Permisif: Ancaman bagi Generasi Muda?

Namun, sebelum melangkah lebih jauh, kita harus jujur pada diri sendiri: apakah kita memiliki agenda nasional yang benar-benar siap diperjuangkan dalam BRICS?

Salah satu kelemahan Indonesia selama ini adalah kecenderungan untuk bersikap pragmatis tanpa strategi jangka panjang. Dalam isu BRICS, kita tidak bisa lagi hanya jadi penonton atau sekadar pengikut arus global. Jika Indonesia ingin ikut menentukan arah baru dunia, maka kita harus punya visi sendiri: mau dibawa ke mana ekonomi Indonesia di tengah krisis multipolaritas ini? Apakah kita ingin tetap menjadi penyuplai bahan mentah, atau ingin naik kelas sebagai negara industri berbasis riset dan inovasi?

Tanpa kejelasan posisi dan arah kebijakan, keikutsertaan kita di BRICS hanya akan bersifat simbolik-seperti masuk ke ruang perundingan, tetapi tak membawa proposal apa pun.

Membangun Solusi Domestik: Akar Ketahanan Ekonomi
Jika tekanan global meningkat dan BRICS hanya memberi ruang alternatif, maka solusi sejati tetap harus dibangun dari dalam negeri. Langkah pertama adalah memperkuat hilirisasi berbasis teknologi lokal. Selama ini, kebijakan hilirisasi nikel, bauksit, dan tembaga lebih menguntungkan investor asing daripada mendorong industrialisasi nasional. Pemerintah harus mengarahkan BUMN, universitas, dan sektor riset untuk masuk dalam rantai produksi, bukan hanya menyediakan izin dan lahan bagi korporasi luar. Litbang lokal harus diberi mandat strategis untuk menguasai teknologi pemrosesan mineral hingga teknologi energi baru.

Berita Terkait :  Dorong Perbaikan Tata Kelola Pendidikan

Langkah kedua adalah membentuk poros perdagangan Global South berbasis mata uang lokal. Jika dolar AS digunakan sebagai alat tekanan, maka perdagangan Indonesia dengan mitra seperti India, Afrika Selatan, dan Brasil harus mulai menggunakan skema bilateral currency swap atau sistem pembayaran lintas batas non-dolar. BRICS bisa memfasilitasi ini, tapi Indonesia harus memulainya terlebih dulu melalui diplomasi ekonomi aktif. Kita bisa mulai dari sektor seperti kopi, rempah, pupuk organik, dan produk tekstil-komoditas khas yang bernilai tinggi di pasar negara berkembang.

Langkah ketiga adalah reformasi struktur pertanian dan energi dalam negeri. Kemandirian pupuk, pangan, dan bahan bakar tidak bisa ditunda. Jika kita ingin berdaulat secara ekonomi, maka strategi industrialisasi harus berjalan beriringan dengan ketahanan pangan dan energi. Namun, daya tahan dalam negeri tidak bisa dibangun hanya dari niat baik atau jargon kemandirian. Diperlukan keberanian politik untuk mengoreksi arah pembangunan yang selama ini terlalu tergantung pada investasi asing tanpa kendali strategis. Indonesia harus mulai mendefinisikan ulang apa arti “pertumbuhan” dan “kemajuan” dalam konteks abad ke-21. Apakah cukup sekadar mencetak angka PDB tinggi dari ekspor mentah dan konsumsi, ataukah kita ingin melahirkan nilai tambah dari kekayaan sumber daya melalui penguasaan teknologi dan tata kelola produksi sendiri?

Kita juga perlu memperkuat kesadaran kolektif: bahwa tekanan eksternal-seberat apapun-tidak akan menggoyahkan fondasi bangsa jika kita memiliki kepercayaan diri nasional. BRICS bisa menjadi instrumen, tapi tidak akan berarti apa-apa jika Indonesia masih gamang terhadap kepentingannya sendiri. Dunia saat ini sedang mencari poros baru. Dan Indonesia, dengan posisi geopolitik dan kekayaan strategisnya, bisa menjadi jangkar penting dalam tatanan global baru-asal tahu apa yang diperjuangkan.

Berita Terkait :  Memupuk Nasionalisme dalam Masa Globalisasi

Siaga Hadapi Trumpisme Baru
Donald Trump bukan hanya sosok kontroversial, tapi juga simbol tren dunia baru: proteksionisme, nasionalisme ekonomi, dan pelepasan tanggung jawab global. Jika ia terpilih kembali, bukan tidak mungkin AS akan lebih keras terhadap negara berkembang seperti Indonesia. Ancaman pemutusan GSP, pengenaan tarif ekspor, dan boikot komoditas bisa datang lebih frontal. Maka pertanyaannya: sudah siapkah Indonesia menghadapi gelombang proteksionisme baru ini?

Dalam konteks inilah, BRICS bukan sekadar aliansi teknokratis. Ia bisa menjadi payung strategis bagi negara-negara yang tidak lagi nyaman tunduk pada dikte negara maju. Namun sekali lagi, kekuatan kita tidak akan datang dari keanggotaan semata, tetapi dari ketahanan yang dibangun di rumah sendiri. Jika kita tidak memperkuat industri dalam negeri, memperbaiki logistik, dan meningkatkan produktivitas nasional, maka tekanan apa pun dari luar akan menjatuhkan kita seperti badai di rumah rapuh.

Indonesia perlu memosisikan diri bukan sebagai pihak yang bingung memilih antara AS dan BRICS, tetapi sebagai negara yang siap menentukan arah masa depan sendiri. Bukan hanya karena ingin lepas dari tekanan AS, tapi karena percaya bahwa dunia multipolar harus memberi ruang bagi suara Global South yang lebih adil. Dan untuk itu, kita harus menjadi pemain, bukan penumpang. [*]

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru