28 C
Sidoarjo
Thursday, September 19, 2024
spot_img

Stop Ketersediaan Akses Kontrasepsi untuk Anak

Masalah darurat pornografi anak di negeri ini belum kelar, kini publik dibuat pening atas hadirnya Peraturan Pemeritah (PP) No.28 tahun 2024 tentang Kesehatan. Tepatnya, di pasal 103, khususnya Ayat (4) butir “e” yaitu penyediaan alat kontrasepsi bagi usia sekolah dan remaja. Padahal, saat ini Indonesia sedang menghadapi kondisi darurat pornografi dan kekerasan seksual terhadap anak. Menurut data National Centre for Missing Exploited Children (NCMEC), kasus konten pornografi pada anak di Indonesia merupakan yang terbanyak keempat di dunia, dan peringkat dua skala Asia Tenggara.

Di tengah situasi yang semacam itu, mestinya pemerintah perlu memperkuat pendidikan seksual dan juga pengembangan penyuluhan kesehatan reproduksi pada anak di sekolah, daripada penyediaan alat kontrasepsi, seperti yang tertera dalam PP No.28 tahun 2024 tentang Kesehatan, Pasal 103, Ayat (4) butir “e”. Secara logika penyediaan alat kontrasepsi yang salah tempat bisa berakibat pada banyaknya kasus penyalahgunaan alat kontrasepsi pada anak, yang berpotensi berujung pada jebakan kasus kekerasan pada anak.

Untuk itu, mestinya tahapan pendidikan seks dan kesehatan alat reproduksilah yang harus didahulukan, bukan pembagian alat kontrasepsi. Artinya, pembagian alat kontrasepsi tidak diperlukan jika anak sudah paham dan mampu berpikir atas kedaulatan tubuhnya dan bisa berbicara ‘say no’ pada segala bentuk seksualitas. Tapi, jika tidak ada pendidikan seksualitas dan pendidikan kesehatan reproduksi di dalam kurikulum sekolah, maka percuma saja, justru pembagian alat kontrasepsi itu bisa dipahami sebagai dukungan pada anak untuk melakukan seks.

Berita Terkait :  Dorong Pembentukan Regulasi tentang Artificial Intelligence

Padahal data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencatat sebanyak 60% remaja usia 16-17 tahun di Indonesia telah melakukan seks di luar pernikahan. Angka itu diikuti, remaja usia 14-15 tahun sebanyak 20%, dan pada usia 19-20 sebanyak 20%. Tingginya angka tersebut disebabkan salah satunya karena tidak ada pendidikan seks dan kesehatan reproduksi dalam kurikulum pendidikan tingkat menengah dan atas. Sehingga, hal yang paling urgent adalah bukan membagikan alat kontrasepsi, tapi mengubah kurikulum di sekolah supaya ada pendidikan tentang kesehatan reproduksi.

Ani Sri Rahayu
Dosen Civic Hukum Univ. Muhammadiyah Malang

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru

spot_imgspot_imgspot_img