Oleh :
Nikita
Mahasiswi Program studi Ilmu Komunikasi, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya sedang menempuh mata kuliah Media and Cultural Studies
Serial Netflix Squid Game bukan sekadar suguhan tontonan yang berhasil mencengkeram perhatian global dengan adegan-adegan mematikan. Lebih dari itu, serial ini secara implisit maupun eksplisit menyajikan sebuah narasi budaya yang amat kaya, sangat relevan untuk dikaji melalui kacamata Cultural Studies. Jauh melampaui konsep survival game biasa yang sekadar menguji adrenalin, Squid Game adalah sebuah artefak budaya kontemporer yang secara blak-blakan menyingkap bagaimana hegemoni, representasi, diskursus, dan konflik makna beroperasi dalam sendi-sendi masyarakat kita, bahkan membuka celah bagi munculnya gagasan tentang resistensi budaya.
Dominasi Kapitalisme dan Pergulatan Diskursus Kekuasaan yang Terselubung
Pada intinya, Squid Game adalah sebuah cerminan keras terhadap hegemoni kapitalisme neoliberal, sebuah konsep yang dipelopori oleh Antonio Gramsci (Gramsci, 1971). Struktur sistematis yang terhampar dalam serial ini merepresentasikan bentuk dominasi budaya di mana ideologi bahwa “yang berkuasa akan selalu berjaya, sementara yang lemah harus berjuang sendiri” telah begitu terinternalisasi. Kondisi ini membuat individu-individu yang terpinggirkan pun seolah menerima nasib mereka sebagai konsekuensi logis dari kegagalan personal, bukan kegagalan sistem. Para kontestan yang terjerat lilitan utang bukan sekadar korban pasif; mereka adalah produk dari diskursus kekuasaan (seperti yang dianalisis Foucault, 1978) yang telah menormalisasi praktik eksploitasi dan persaingan hidup-mati yang kejam.
Permainan itu sendiri berfungsi sebagai medan pertempuran di mana diskursus mengenai “kesempatan kedua” dan “kebebasan memilih” dipresentasikan sebagai nilai utama, padahal di baliknya tersembunyi manipulasi murni. Para “VIP” dan perancang game tidak hanya mempraktikkan kekuasaan fisik, tetapi juga mengendalikan narasi dan definisi realitas bagi para pemain. Mereka menciptakan “kebenaran” bahwa setiap peserta memiliki kehendak bebas dalam menentukan nasib, padahal pilihan itu sejatinya hanyalah ilusi yang dirancang dan dikendalikan oleh sistem penindas. Inilah manifestasi nyata bagaimana kekuatan tidak hanya menekan kebebasan individu, tetapi juga secara halus membentuk cara kita berpikir, bertindak, dan memahami dunia.
Identitas yang Terepresentasi dan Terkikis dalam Arena Kematian
Konsep representasi, menurut Stuart Hall (Hall, 1997), bukanlah sekadar pantulan pasif dari realitas, melainkan sebuah konstruksi aktif yang membentuk identitas. Dalam Squid Game, setiap karakter adalah representasi dari identitas sosial tertentu. Representasi ini, sebagaimana dijelaskan oleh Stuart Hall, bukan sekadar refleksi pasif, melainkan “a process of meaning production through language” (Hall, 1997, hlm. 16).
Dengan demikian, ketika karakter-karakter seperti Gi-hun, Sae-byeok, dan Ali diperlihatkan, serial ini sedang mereproduksi sekaligus mendekonstruksi identitas sosial yang sering terpinggirkan. Identitas-identitas ini tidak hanya dipresentasikan secara visual, tetapi juga secara brutal “dibentuk ulang” oleh kondisi ekstrem dalam game. Mereka dipaksa menanggalkan identitas personal mereka, melebur menjadi sekadar nomor-nomor tanpa nama. Ini adalah bentuk dehumanisasi dan de-individualisasi yang merupakan bagian integral dari mekanisme kekuasaan untuk mengontrol totalitas diri. Namun, menariknya, di tengah kondisi terdesak, kita juga menyaksikan bagaimana fragmen-fragmen identitas lama mereka (seperti loyalitas, solidaritas, atau bahkan pengkhianatan) kembali muncul ke permukaan, menandakan adanya konflik makna internal dan eksternal yang terus bergejolak dalam diri mereka.
Medan Perang Makna dalam Budaya dan Potensi Bisikan Perlawanan
Squid Game adalah sebuah panggung di mana budaya menjelma menjadi arena konflik makna yang sangat intens dan terus-menerus. Serial ini menolak untuk menyajikan satu pesan tunggal atau tafsir seragam; sebaliknya, ia berhasil memicu beragam interpretasi dan perdebatan sengit di antara jutaan penonton di seluruh dunia.
- Kebebasan Memilih atau Jebakan Sistem? Salah satu inti konflik makna yang paling mencolok adalah perdebatan tentang apakah partisipasi dalam game adalah manifestasi Pilihan yang tampak bebas sejatinya adalah bentuk penyeragaman melalui kekuasaan yang terselubung. Seperti ditulis oleh Althusser, “individu bertindak dengan cara tertentu karena mereka telah dikonstruksi oleh ideologi sebagai subjek” (Althusser, 1970, hlm. 5). Dalam konteks ini, para pemain yang tampak memilih secara bebas justru merupakan subjek ideologis yang telah dibentuk sebelumnya oleh sistem kapitalisme. Praktik “persetujuan” untuk masuk ke dalam permainan ini, yang diselimuti janji hadiah menggiurkan, secara jernih merefleksikan bagaimana ideologi kapitalisme bekerja untuk mempertahankan dominasinya: ia menawarkan ilusi kebebasan memilih kepada individu, bahkan ketika pilihan-pilihan itu sebenarnya dibatasi dan dikondisikan oleh struktur sosial yang tidak adil. Ini adalah strategi cerdik bagi sistem untuk mengukuhkan kekuasaannya tanpa perlu menggunakan represi fisik yang terang-terangan.
- Etika dan Moralitas di Ujung Tanduk. Perdebatan panas juga muncul seputar etika dan moralitas karakter-karakter dalam game. Apakah tindakan Gi-hun yang terkadang terlihat “naif” adalah tanda kebodohan, atau justru sebuah bentuk perlawanan etis yang sublim? Apakah pengkhianatan Sang-woo bisa dibenarkan demi kelangsungan hidupnya? Makna dari tindakan-tindakan ini tidak bersifat tunggal; ia diperdebatkan dan dinegosiasikan secara aktif oleh audiens, merefleksikan beragam nilai moral yang ada dalam masyarakat. Konflik moral ini dengan tajam merefleksikan pertarungan ideologi yang terjadi dalam batin individu di bawah tekanan ekstrem. Pada saat yang sama, ia juga menantang nilai-nilai kemanusiaan yang sering diklaim universal. Serial ini memperlihatkan bahwa dalam sebuah sistem yang brutal, batas-batas moralitas bisa menjadi sangat lentur, yang pada gilirannya turut mempertahankan struktur kekuasaan yang memaksa individu untuk mengorbankan prinsip etis demi kelangsungan hidup.
- Kritik Universal yang Menggema. Lebih jauh lagi, Squid Game berhasil memprovokasi diskusi mendalam tentang relevansi kritiknya secara universal. Apakah kritik terhadap kesenjangan sosial dan ekstremitas kapitalisme hanya relevan di konteks Korea Selatan, ataukah ini adalah sebuah cerminan global yang dapat dirasakan di berbagai belahan dunia? Ini adalah area konflik makna di mana pengalaman lokal bertemu dengan interpretasi dan resonansi global. Penerimaan global serial ini adalah bukti nyata adanya resonansi yang kuat terhadap kritik ideologi kapitalisme di berbagai negara. Fenomena ini menunjukkan bahwa struktur kekuasaan yang serupa yang menciptakan penderitaan universal-hadir di mana-mana. Ini sekaligus menjadi sebuah bentuk penantangan terhadap narasi kapitalisme yang selalu mengklaim diri sebagai sistem paling efisien dan adil.
Semua ini menegaskan bahwa sebuah teks budaya tidak pernah berhenti pada satu makna tunggal yang statis. Ia adalah medan perang interpretasi yang dinamis, di mana berbagai audiens membawa serta perspektif, ideologi, dan pengalaman pribadi mereka untuk membaca dan memberikan makna pada setiap narasi yang disajikan. Melalui konflik makna inilah, Squid Game berdiri sebagai cermin sekaligus katalisator bagi perdebatan sosial yang lebih luas dan relevan.
Meskipun dalam konteks game itu sendiri peluang bagi resistensi budaya (sebagaimana dipahami Hebdige, 1979) terasa amat minim, bahkan nyaris mustahil, namun tetap ada percikan-percikan menarik. Gi-hun, melalui keputusan-keputusan yang diambilnya di akhir game, atau bahkan tindakan-tindakannya yang tampak “irasional” seperti memilih kebaikan daripada keuntungan materi mutlak, bisa diinterpretasikan sebagai representasi resistensi terhadap logika kapitalis yang mendominasi. Ia menolak totalitas hegemoni yang ditawarkan, memilih untuk menantang sistem yang telah merenggut banyak nyawa, daripada menerima kemenangannya sebagai legitimasi. Ini adalah sebuah “pembangkangan” simbolis yang menolak untuk sepenuhnya tunduk pada definisi kemenangan dan kekuasaan yang telah dirancang oleh pihak dominan. Bahkan, respons dan reaksi penonton global yang lantang menyuarakan kritik sosial Squid Game juga dapat dilihat sebagai bentuk resistensi budaya terhadap narasi sukses-gagal yang didorong oleh kapitalisme di masyarakat.
Mengapa Squid Game Begitu Menggema dan Membius?
Pada akhirnya, Squid Game bukanlah sekadar tontonan blockbuster biasa. Ia adalah sebuah teks budaya yang secara provokatif mengajak kita untuk menggunakan kacamata Cultural Studies: untuk melihat secara kritis bagaimana hegemoni beroperasi di balik layar, bagaimana representasi membentuk dan menantang identitas, bagaimana diskursus kekuasaan bekerja dengan halus, dan bagaimana budaya itu sendiri menjadi arena konflik makna yang tak berkesudahan, di mana bahkan resistensi pun bisa berbisik dan menggema melalui sebuah serial di layar. Serial ini mampu menggema begitu kuat bukan hanya karena brutalitasnya semata, melainkan karena ia menyentuh saraf-saraf fundamental dalam struktur sosial dan ideologi yang kita hidupi, secara paksa membuat kita merenung tentang peran kita dalam “permainan” sesungguhnya yang berlangsung di dunia ini.
Refleksi Kritis dan Tindakan Praksis: Melampaui Arena Permainan Menuju Emansipasi
Setelah kita menyelami lapisan-lapisan makna dalam Squid Game secara mendalam, menggunakan perspektif Cultural Studies, khususnya hegemoni (Gramsci), representasi dan identitas (Hall), diskursus dan kekuasaan (Foucault), budaya sebagai arena konflik makna, serta resistensi budaya dan subkultur (Hebdige), kita dihadapkan pada sebuah refleksi kritis: apakah analisis kita akan berhenti pada tataran teoritis semata, ataukah ia akan memantik dorongan untuk bertindak? Squid Game bukan sekadar cermin realitas; ia adalah sebuah alarm peringatan.
- Menyalahkan Individu atau Sistem? Membongkar Hegemoni yang Menyesatkan. Refleksi kritis kita harus diawali dengan menantang narasi dominan yang seringkali secara simplistik menyalahkan individu atas kemiskinan atau kegagalan mereka. Squid Game secara gamblang menunjukkan bahwa keputusan ekstrem para kontestan bukanlah buah dari pilihan bebas murni, melainkan hasil dari sistem yang rapuh dan opresif, sebuah hegemoni kapitalis yang begitu mengakar hingga tidak menyisakan ruang bagi pilihan-pilihan manusiawi lainnya. Inilah diskursus yang dengan cerdik menormalisasi kemiskinan dan eksploitasi sebagai “risiko personal.” Sebagai mahasiswa komunikasi, tindakan praksis kita adalah mengalihkan fokus dari moralitas personal semata menuju kritik struktural yang lebih mendalam. Kita wajib mendorong kesadaran kolektif bahwa akar permasalahan seringkali terletak pada ketidakadilan sistemik yang dipertahankan oleh ideologi dominan, bukan karena kemalasan atau kekurangan individu.
- Membongkar Ilusi Pilihan: Menggugat Diskursus Kekuasaan yang Manipulatif. Serial ini dengan brutal menyingkap tabir ilusi “pilihan bebas” yang acapkali diberikan oleh struktur kekuasaan. Para pemain “memilih” untuk berpartisipasi, namun pilihan itu sejatinya adalah sebuah paksaan yang dibungkus rapi dengan retorika “kesempatan kedua.” Ini adalah cara kerja kekuasaan (sebagaimana diuraikan Foucault): ia membentuk diskursus yang membuat ketidakadilan tampak sebagai sesuatu yang wajar dan tak terhindarkan. Tindakan praksis kita adalah secara aktif membongkar diskursus semacam ini dalam kehidupan nyata misalnya, ketika kita melihat upah minimum yang tidak layak, terbatasnya akses pendidikan berkualitas, atau layanan kesehatan yang berjenjang. Kita harus berani mempertanyakan siapa yang sesungguhnya diuntungkan dari “pilihan” yang disodorkan tersebut dan siapa yang dirugikan. Ini adalah langkah emansipatoris untuk menuntut transparansi dan keadilan substansial yang melampaui sekadar retorika manis.
- Membangun Solidaritas dan Resistensi Kolaboratif: Melawan Hegemoni dengan Subkultur yang Berdaya. Karakter Gi-hun, dalam keterbatasan arena game, memang menunjukkan secercah resistensi individu. Namun, dalam konteks sosial yang lebih luas, Squid Game memprovokasi kita untuk merumuskan resistensi budaya yang jauh lebih terorganisir dan kolaboratif, sesuai dengan pemikiran Hebdige. Ini bukan lagi tentang kekerasan fisik, melainkan tentang membangun solidaritas di antara mereka yang tertindas, membentuk subkultur yang secara sengaja menantang hegemoni dominan, dan secara aktif menciptakan narasi alternatif. Bayangkan kekuatan gerakan sosial yang terorganisir, upaya advokasi kebijakan yang secara terang-terangan berpihak pada keadilan sosial, atau bahkan sekadar menyebarkan kesadaran kritis melalui praktik budaya populer tandingan, seperti parodi, meme, atau film independen yang membawa pesan serupa. Inilah cara efektif kita menantang struktur kekuasaan dari akar rumput.
- Menciptakan Narasi Baru: Representasi untuk Memicu Perubahan Sosial. Jika Squid Game dengan telanjang merepresentasikan brutalitas sebuah sistem dan ideologi yang mengopresif, maka tindakan emansipatoris kita adalah menciptakan representasi baru yang menginspirasi harapan, keadilan, dan perubahan. Sebagai mahasiswa komunikasi, kita memiliki kekuatan inheren untuk merancang narasi yang menyoroti keberhasilan kolektif dalam menantang ketidakadilan. Ini bisa terwujud melalui produksi film dokumenter yang memukau, kampanye media sosial yang edukatif dan persuasif, jurnalisme investigatif yang berani membongkar praktik eksploitatif, atau karya seni yang kuat menginspirasi solidaritas. Tugas kita tidak hanya berhenti pada menganalisis “permainan” yang sudah ada, tetapi juga berani merancang “permainan” baru yang adil, di mana setiap individu memiliki kesempatan nyata untuk menang, tanpa harus mempertaruhkan nyawa atau kemanusiaan mereka. Inilah manifestasi nyata dari potensi perubahan sosial yang dapat kita wujudkan melalui produksi dan distribusi makna.
- Aspek Emansipatoris dan Potensi Perubahan Sosial. Dari Kesadaran Kritis Menuju Aksi Kolektif. Aspek emansipatoris dari Squid Game, dilihat dari Cultural Studies, terletak pada kemampuannya untuk secara efektif mengekspos dan “membangunkan” kesadaran kritis khalayak terhadap struktur kekuasaan dan ideologi kapitalisme yang opresif. Ketika serial ini meledak menjadi fenomena global, ia tidak hanya sekadar berfungsi sebagai hiburan semata, tetapi juga secara krusial memfasilitasi diskusi-diskusi vital tentang kesenjangan ekonomi yang menganga, lilitan utang yang mencekik, dan dehumanisasi yang terjadi dalam masyarakat. Potensi perubahan sosial muncul secara nyata ketika representasi penderitaan dan ketidakadilan yang disajikan dalam serial ini tidak lagi diperlakukan sebagai narasi fiksi belaka, melainkan sebagai refleksi tajam dari realitas yang mendesak untuk diubah. Melalui resonansi globalnya yang masif, Squid Game berfungsi sebagai katalisator ampuh untuk mempertanyakan diskursus hegemoni yang selama ini begitu kokoh menyatakan bahwa kemiskinan adalah semata-mata kesalahan individu, bukan kegagalan struktural sistem. Serial ini secara berani membuka ruang bagi resistensi budaya yang lebih luas, di mana penonton tidak lagi pasif, tetapi bertransformasi menjadi agen yang berpotensi memantik solidaritas lintas batas dan lintas identitas. Diskusi-diskusi di media sosial yang intens, artikel-artikel kritis yang provokatif, hingga protes publik yang terinspirasi oleh Squid Game adalah contoh-awal yang menjanjikan tentang bagaimana praktik budaya ini dapat memicu tindakan praksis: mendorong advokasi kebijakan yang lebih adil, inisiatif bantuan sosial konkret, atau bahkan gerakan reformasi struktural yang fundamental. Ini adalah langkah awal menuju emansipasi kolektif, di mana kesadaran kritis yang telah terbangun bertransformasi menjadi aksi kolektif nyata untuk menantang dan secara progresif mengubah status quo yang menindas.
Squid Game mungkin telah berakhir di layar, tetapi “permainan” yang direpresentasikannya masih terus berlangsung di dunia nyata. Sebagai individu yang tercerahkan oleh Cultural Studies, tanggung jawab kita adalah tidak hanya memahami kompleksitas ini, tetapi juga berani melangkah, mempraktikkan kritik yang membangun, dan secara aktif berkontribusi pada perubahan menuju masyarakat yang lebih adil dan manusiawi. Ini adalah panggilan untuk praxis: menyatukan teori dengan aksi nyata demi masa depan yang lebih baik. [*]
Daftar Pustaka:
Althusser, L. (1970). deology and Ideological State Apparatuses (Notes towards an Investigation.
Foucault, M. (1978). Discipline & Punish: The Birth of the Prison. Pantheon Books.
Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. International Publishers.
Hall, S. H. M. (1997). Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. Sage Publications.
Hebdige, R. “Dick.” (1979). Subculture: The Meaning of Style. Methuen.
Nayar, P. K. (2008). An Introduction to Cultural Studies. Viva Books.
Siregar, N., Angin, A. B. P., & Mono, U. (2022). The Cultural Effect of Popular Korean Drama: Squid Game. ResearchGate.
Storey, J. (2010). Culture and Power in Cultural Studies: The Politics of Signification. Routledge.
Williams, R. H. (1974). Television: Technology and Cultural Form. Schocken Books.


