Seantero pulau Jawa sudah dikepung bencana hidro-meteorologi, berupa banjir dan tanah longsor. Bagai rutin dating tiap musim penghujan. Bencana seolah-olah berjalan dari arah barat (Banten), Jakarta dan Jawa Barat. Selanjutnya menuju wilayah timur Jawa Timur, Pasuruan sampai Banyuwangi. Bukan sekadar bencana rutin, melainkan sekaligus pertanda semakin susutnya daya dukung lingkungan. Banjir dan longsor di Sukabumi, menggambarkan “peng-ulangan” bencana serupa di berbagai daerah.
Bahkan mengawali musim hujan (yang datang lebih awal) menimpa tanah Malayu (Tanah Datar, Agam, Padang Pariaman). Segenap nagari, berduka, karena disergap banjir, dan tanah longsor. Batu material besar luruh dari gunung disertai lahar dingin hujan. Perkampungan tertimpa material longsor, menyebabkan 59 orang korban jiwa. Serta 16 warga belum ditemukan. Jalan negara juga longsor, terputus total. Menyebabkan evakuasi (dan bantuan) semakin sulit berjalan.
Topografi Kawasan yang banjir di Sukabumi, sama persis dengan Kawasan di Tanah Datar, dan Agam. Kawasan bukit yang gundul, niscaya gampang tergerus curah hujan tinggi. Tangis pilu pecah seketika diketahui banyak warga tertimbun tanah longsor. Berbagai pertolongan, dan bantuan sudah mulai berdatangan. Berdasar catatan LSM Lingkungan Hidup (Walhi), di-indikasi telah terjadi deforestasi di Nagari Padang Air Dingin, kabupaten Solok, seluas 50 hektar.
Fakta, tiada bencana datang tiba-tiba. Melainkan telah terdapat tanda-tanda kerusakan alam, menyebabkan daya dukung lingkungan makin menyusut. Bagai bergerak kea rah timur, banjir bandang disertai tanah longsor terjadi di 39 kecamatan di Sukabumi, Jawa Barat. Mengakibatkan 8 warga tewas dan 4 orang lainnya belum ditemukan. Bencana hidro-meteorologi di Sukabumi, makin komplet, diperparah dengan pergerakan tanah (semacam likuifaksi). Karena tanah kehilangan kestabilan akibat tekanan air pori.
Viral di berbagai media sosial (medsos) banjir, tanah longsor, dan pergerakan tanah, sampai menghanyutkan mobil. Dipicu hujan deras selama dua hari, di 33 kawasan, menyebabkan ketinggian air banjir mencapai 2 meter. Dampak bencana terutama dirasakan pada area pantai Selatan, Pelabuhan Ratu. Banyak perahu nelayan hancur dihempas ombak. BNPB juga mencatat 10 jembatan putus. Tangis pilu pecah seketika diketahui banyak warga tertimbun tanah longsor. Persis dua tahun silam, Cianjur dilanda longsor, dengan korban jiwa sebanyak 318 orang.
Berbagai pertolongan, dan bantuan sudah mulai berdatangan. Namun tidak mudah menjangkau titik-titik lokasi bencana. Maka Pemerintah (dan Pemerintah propinsi, serta Pemerintah Kabupaten) patut segera menyelenggarakan audit lingkungan. Namun sebenarnya, dampak pedih banjir tanah longsor bisa dihindari. Karena selalu terdapat warning alamiyah. Terutama pada masa perubahan iklim, memaksa seluruh daerah lebih waspada bencana hidro-meteorologi.
Potensi bencana banjir, dan longsor, wajib telah dideteksi. UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, meng-amanat-kan mitigasi. Pada pasal 38 huruf a, diwajibkan adanya “identifikasi dan pengenalan secara pasti terhadap sumber bahaya atau ancaman bencana.” Bahkan bencana hidro-meteorologi dapat diprediksi dengan tingkat presisi cukup baik. Kefatalan bencana bisa dicegah, melalui control dan mimitigasi. Seperti tercantum pada pasal 38 huruf b.
Juga terdapat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2008 Tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, juga diatur pemberian modal usaha. PP dalam pasal 27 ayat (1), dinyatakan, “Pinjaman lunak untuk usaha produktif diberikan kepada korban bencana yang kehilangan mata pencaharian.” Pinjaman lunak, dapat berupa kredit usaha, dan kredit pemilikan barang modal.
Kini saatnya menyokong warga terdampak bencana, sebagai hak korban. Harus terealisasi cepat, bermutu, dan bermartabat. Serta tidak terkendala birokrasi.
——— 000 ———