Menganyam Mimpi UMKM Naik Kelas :
Di bawah langit senja Surabaya yang jingga, aroma petis dan asap sate klopo berpadu, menciptakan simfoni khas Kota Pahlawan. Di balik geliat kuliner dan perdagangan yang tak pernah padam, tersembunyi kisah-kisah perjuangan para pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Di kota ini, sinergi antara denyut nadi ekonomi lokal dan instrumen investasi modern telah menganyam sebuah narasi inspiratif tentang harapan UMKM naik kelas yang terus tumbuh berkelanjutan.
Oleh:
Wahyu Kuncoro, Wartawan Bhirawa
Adalah Ibu Aminah, pemilik brand “Kue Lapis Surabaya,” sebuah usaha rumahan yang telah beroperasi selama dua dekade di kawasan Semolowaru. Selama bertahun-tahun, Ibu Aminah dan beberapa karyawannya berkutat di dapur yang sama, dengan peralatan yang sama, dan kapasitas produksi yang terbatas.
“Dulu, kami hanya mengandalkan pinjaman bank konvensional, tapi plafonnya kecil dan prosesnya rumit,” tutur Ibu Aminah saat ditemui Bhirawa di tempat usahanya, Kamis (13/11). Menurut Ibu Aminah, meski permintaan terus mengalir, terutama menjelang hari raya, dinding pembatas bernama “modal” selalu menjadi penghalang untuk ekspansi.
“Mimpi kami untuk punya toko yang lebih besar dan mesin produksi modern seakan mustahil terwujud,” kenang Ibu Aminah, matanya menerawang ke masa lalu, di sela-sela kesibukan menata lapis legit yang harum.
Kisah Ibu Aminah merefleksikan realitas pahit banyak UMKM di Indonesia, termasuk di Surabaya. Mereka memiliki potensi besar, ketahanan luar biasa (terbukti mampu bertahan bahkan di masa krisis ekonomi), namun terhambat oleh akses permodalan yang terbatas. Pemerintah Kota Surabaya telah berupaya menguatkan ekonomi kerakyatan melalui berbagai inovasi digital dan program bantuan, namun skala kebutuhan modal tetaplah tantangan besar.
Jembatan Emas Bernama IPO
Titik balik bagi Bu Aminah datang ketika ia mengikuti sebuah seminar yang diselenggarakan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) di Surabaya. Seminar itu membuka cakrawalanya tentang pasar modal sebagai sumber pembiayaan alternatif, bukan hanya untuk perusahaan raksasa, tetapi juga untuk UMKM yang sedang berkembang.
“Awalnya saya takut, pasar modal itu kan kesannya eksklusif, untuk orang kaya dan perusahaan besar,” ujarnya jujur. “Tapi, petugas di sana menjelaskan bahwa ada mekanisme pencatatan saham khusus untuk UMKM, yang persyaratannya lebih fleksibel.”
Dengan bimbingan intensif dari konsultan keuangan lokal yang disinergikan dengan program pemerintah daerah, Ibu Aminah mulai membenahi laporan keuangan dan tata kelola usahanya. Proses ini memakan waktu, namun memberinya pemahaman mendalam tentang pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam bisnis. Usahanya yang dulu hanya dikelola secara kekeluargaan, perlahan bertransformasi menjadi entitas bisnis yang siap ‘naik kelas’. Setahun kemudian, “Kue Lapis Surabaya” resmi melantai di papan akselerasi BEI. Perusahaan kecil itu, yang kini pun berhasil menghimpun dana segar dari masyarakat pemodal (investor).
Roda Ekonomi Berputar Lebih Cepat
Dana yang diperoleh dari penawaran umum perdana (IPO) tersebut menjadi katalisator. Ibu Aminah membeli beberapa mesin oven berkapasitas besar, menyewa ruko baru di daerah strategis, dan merekrut lebih banyak karyawan dari lingkungan sekitar. Yang dulunya hanya memproduksi puluhan loyang per hari, kini mampu memproduksi ratusan loyang, memenuhi permintaan dari berbagai kota di Jawa Timur dan bahkan luar pulau.
Dampak multiplikatornya terasa nyata. Karyawan baru mendapat pekerjaan tetap, meningkatkan kesejahteraan keluarga mereka. Pemasok bahan baku lokal-petani telur, gula, dan produsen kemasan di sekitar Surabaya-ikut merasakan lonjakan permintaan. Warung kopi dan tempat makan di sekitar lokasi produksi baru Ibu Aminah juga menjadi lebih ramai. Roda ekonomi kerakyatan berputar lebih cepat.
Kisah Bu Aminah bukan satu-satunya. Di sisi lain kota, di sentra kerajinan tas kulit di daerah Tanggulangin (Sidoarjo, yang berdekatan dengan Surabaya), Pak Ahmad juga mengalami hal serupa. Melalui skema pendanaan efek berbasis utang (obligasi) untuk UMKM, usahanya mampu menembus pasar ekspor dengan kapasitas produksi yang meningkat drastis.
Keberhasilan ini adalah buah dari sinergi yang matang antara berbagai pihak. Pemerintah daerah Surabaya, OJK, BEI, dan komunitas investor lokal bahu-membahu merancang ekosistem yang kondusif. Edukasi pasar modal digencarkan hingga ke tingkat kelurahan dan komunitas UMKM, menepis anggapan bahwa investasi itu rumit dan eksklusif. Minat masyarakat Jawa Timur terhadap investasi pasar modal memang terus meningkat, dan Surabaya menjadi salah satu episentrum utamanya.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Wilayah Jawa Timur PT Bursa Efek Indonesia, Cita Mellisa, menegaskan bahwa penguatan literasi merupakan fondasi utama untuk membangun investor yang cerdas dan berkelanjutan.
“Kami ingin masyarakat Jawa Timur tidak hanya menjadi investor, tetapi juga memahami risiko, manfaat, serta prinsip pengelolaan keuangan yang sehat,” ujar Cita Mellisa kepada Bhirawa Jumat (14/11). Dengan dukungan infrastruktur pasar modal yang kuat dan partisipasi masyarakat yang terus meningkat, BEI Jawa Timur menargetkan perluasan jangkauan literasi ke seluruh kabupaten/kota serta peningkatan jumlah investor aktif di tahun-tahun mendatang.
“Potensi Jawa Timur sangat besar. Melalui kolaborasi dan edukasi yang konsisten, kami optimistis pasar modal dapat menjadi sarana pertumbuhan ekonomi yang inklusif,” jelasnya lagi. Lebih lanjut menurut Cita Melisa, bahwa pasar modal memiliki peran vital sebagai sarana pendanaan usaha dan alternatif investasi bagi masyarakat.
“Kami terus menggencarkan literasi dan inklusi pasar modal agar semakin banyak UMKM di Jatim yang sadar akan potensi ini,” ujarnya.
Sinergi ini menciptakan ekosistem yang saling menguntungkan. Bagi UMKM, pasar modal menjadi sumber pembiayaan jangka panjang yang lebih efisien dibandingkan pinjaman bank biasa, tanpa perlu menjaminkan aset pribadi yang seringkali menjadi kendala. Bagi investor, mereka mendapatkan alternatif investasi yang beragam sekaligus turut berkontribusi langsung pada pertumbuhan ekonomi riil di daerah mereka.
Narasi tentang sinergi pasar modal dan ekonomi kerakyatan di Surabaya ini adalah bukti nyata bahwa ketika akses permodalan dibuka lebar, potensi lokal akan mekar. Ini bukan sekadar cerita tentang angka-angka di bursa saham, tetapi tentang kehidupan nyata, tentang penciptaan lapangan kerja, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan penguatan ketahanan ekonomi daerah secara keseluruhan.
Surabaya kini bukan hanya dikenal sebagai kota perdagangan dan industri, tetapi juga sebagai laboratorium hidup di mana kapital modern bertemu dengan semangat juang rakyat kecil, mengukir masa depan ekonomi yang lebih inklusif dan berdaya. Dan di setiap gigitan kue lapis Bu Aminah yang manis, tersimpan rasa optimisme akan mimpi besar yang telah menjadi kenyataan. ***


