Bareskrim Mabes Polri men-target berantas kampung narkoba dalam 100 hari. Ini melegakan. Selama ini lebih dari 900 kampung menjadi “simbiose” narkoba, tersebar di berbagai daerah. Sehingga tidak mudah diberantas. Jika benar, sukses, maka Kabareskrim patut memperoleh penghargaan seperti Loka Praja Samrakshana (perlindungan masyarakat). Serta bisa jadi, Kabareskrim sangat patut menjadi Kapolri. Karena telah bisa lebih menjamin masyarakat bebas dari pengaruh narkoba.
BNN (Badan Narkotika Nasional) mengakui penyalahgunaan narkoba, bagai fenomena gunung es. Yang dilaporkan hanya tampakan kecil. Peredaran dan penggunaan narkoba dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sehingga pencegahan dan penindakan, tidak pernah benar-benar menghapus penyalahgunaan narkoba. Pada tahun 2024, sampai September, Polri telah menindak sekitar 34 ribu kasus kejahatan dan peredaran narkoba. Tersangka sudah lebih dari 100 ribu orang. Itu hanya sembilan bulan (tahun 2024).
Ironis, peredaran narkoba juga melibatkan seorang Perwira Tinggi Kepolisian Bintang dua (Inspektur Jenderal). Telah divonis hakim di PN Jakarta Barat, hukuman penjara seumur hidup. Banyak APH (Aparat Penegak Hukum) yang lain, hakim, jaksa, dan pengacara, juga terjerat kasus penyalahgunaan narkoba. Seorang Hakim di Rangkasbitung, telah dijatuhi hukuman pecat tidak dengan hormat. Begitu pula seorang Jaksa di kabuoaten Blora (Jawa Tengah) telah dipecat. Sedangkan Pengacara, lebih banyak lagi yang terlibat penyalahgunaan narkoba.
Yang terbaru, pasangan suami -istri (pasutri) Polisi dengan Jaksa, dihukum karena menerima suap kasus hukum narkoba, di Riau. Tetapi hanya divonis ringan. Maka sindikat narkoba bagai peribahasa patah satu tumbuh seribu. Karena yang bandar besar yang di dalam penjara, masih bisa menjalankan bisnis narkoba. Masih bisa membentuk kurir-kurir baru narkoba. Konon, karena bandar gede narkoba terlanjur kaya raya. Polisi patut menyelidiki dugaan kuat TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang). Terutama pada usaha property (perumahan), membuka usaha tempat hiburan, sampai toko emas.
Usaha property (dan penguasaan lahan) merupakan bisnis paling menguntungkan. Begitu pula usaha tempat hiburan malam, sekaligus sebagai perluasan peredaran narkoba. Karena ke-darurat-an itu pula, BNN perlu menggunakan “pedang sosial” melibatkan tokoh masyarakat (khususnya ulama pesantren). Tidak perlu khawatir menggunakan istilah “non-pribumi.” Karena kenyataannya, bandar gede hampir seluruhnya non-pribumi.
Masyarakat seluruh dunia juga gemas terhadap peredaran narkoba. Sampai komunitas internasional merekomendasikan “kesiagaan yang tak pernah lentur terhadap bahaya narkoba.” Realitanya, hampir seluruh peredaran narkoba (terutama sabu) selalu dikendalikan dari balik jeruji besi penjara. Juga sudah banyak aparat penegak hukum (mulai sipir penjara, Polisi hingga hakim) yang menjadi “kaki tangan” sindikat narkoba. Selain memastikan hukuman maksimal kepada bandar narkoba, negara juga harus mengikis pencucian uang hasil perdagangan narkoba.
Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Againts Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances (tahun 1988). Secara lex specialist diterbitkan UU No 7 tahun 1997. Konvensi internasional memberi label khusus perdagangan obat narkotika dan bahan psikotropika sebagai kejahatan serius. Pada pasal 3 ayat (6) diharapkan setiap pemerintah memastikan pengenaan sanksi yang maksimum. Tetapi bandar narkoba bagai tak mengenal jera.
Untuk tahun 2025, Polri mendapatkan alokasi anggaran sampai Rp 1 trilyun. Termasuk biaya pemberantasan kampung narkoba. Saat ini sekitar 4 juta orang “pemakai” menjalani rehabilitasi. Sepertiganya tidak tertolong. Diperlukan cara lebih sistemik, terstruktur dan masif melawan narkoba. Termasuk menjatuhkan vonis maksimal, tanpa grasi. Juga mempercepat eksekusi hukuman mati.
Memberantas penyalahgunaan narkoba, harus diakui, diperlukan personel penegak hukum bermental “setengah malaikat.”
——— 000 ———