DPR telah merumuskan “pengurangan” gaji dan tunjangan, menjadi sedikit menyusut. Namun terasa benar terdapat “siasat,” beberapa jenis tunjangan yang dahulu tidak ada, kini diadakan. Tunjangan perumahan, dan beberapa tunjangan lain sudah dihapus. Tetapi muncul belasan tunjangan baru yang lain. Sehingga nampak DPR tidak ingin kehilangan (besar) penghasilan. Maka rakyat (dan mahasiswa) akan tetap mengawal realisasi “pengurangan” gaji dan tunjangan. Terutama melalui revisi UU MD3.
Beberapa tunjangan baru dicatatkan dalam revisi gaji dan tunjangan. Sembari diberi judul “Tunjangan Konstitusional,” berisi 6 item penghasilan. Nilainya sebesar Rp 57,433 juta per-bulan. Ada juga item tunjangan lama yang diberi judul baru, sekaligus nilainya dinaikkan. Termasuk tunjangan Komunikasi Intensif. Seluruh tunjangan baru (dan yang diper-barui) hanya berdasar pada Surat Izin Prinsip Menkeu Nomor S-311/MK.02, tahun 2025. Konon Surat Izin Prinsip Menkeu, tergolong tidak biasa.
Karena biasanya menggunakan Surat Menteri Keuangan Nomor S-520/MK.02/2015. Yang di dalamnya mengatur tunjangan kehormatn, tunjangan komunikasi, tunjangan pengawwasan, dan tunjangan lainnya. Bahkan banyak pula penghasilan DPR hanya berdasar Surat edaran Sekretariat Jenderal DPR-RI. Serta berdasar Peratura Sekjen DPR-RI, yang mengatur perjalanan Dinas. Sehingga berbagai tunjangan rawan intervensi. Karena tugas dan fungsi Sekretariat Dewan merupakan layanan kepada DPR-RI. Selalu tunduk dan menuruti keinginan dewan.
Seharusnya setiap item penghasilan DPR (dan DPRD) setidaknya berdasar PP (Peraturan Pemerintah). Jika pijakan gaji dan tunjangan hanya berdasar regulasi tingkat rendah, bisa menimbulkan kerawanan mens rea. Bahkan berpotensi KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme). Penetapan tunjangan DPR melalui regulasi internal, bisa menerabas UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Terutama pasal 2 ayat (1), dalam frasa “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi”, “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi”, serta “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.” Juga masih terdapat pasal 3, tentang penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Ancaman pidana mencapai seumur hidup, dan denda paling sedikit 50 juta rupiah dan maksimal 1 miliar.
Beberapa tuntutan (17+8) sudah di turuti DPR. Antara lain tunjangan perumahan (sebesar Rp 50 juta per-bulan), telah dihentikan, sejak akhir Agustus 2025. Berdasar perhitungan ICW (Indonesia Corruption watch) dalam satu periode, tunjangan perumahan mencapai Rp 1,74 trilyun. Berarti pemerintah sudah menghemat. Begitu pula kunker luar negeri, dihapus. Namun terasa belum sepenuh hati, karena masih terdapat tunjangan lain yang sangat besar.
Terutama anggaran untuk membiayai kegiatan anggita DPR-RI. Antara lain kunjungan Dapil, sebesar Rp 140 juta per-kunjungan, dalam 8 kali setahun. Selain itu masih ada Dana Aspirasi setiap reses Rp 450 juta, lima kali setahun. Lalu terdapat uang Selain dana dari kegiatan DPR (dan DPRD) yang diatur UU MD3, terdapat pula dana hibah jasmas (jaring aspirasi masyarakat).
Seyogianya pemerintah bersama DPR (dan DPRD) menggagas penghasilan total (gaji dan seluruh tunjangan) melalui Perppu. Terutama revisi UU MD 3, khususnya Paragraf 8 tentang Hak Keuangan dan Administratif. Bisa ditambahkan pasal pasal 226A, menyatakan, “Gaji pokok dan seluruh tunjungan Pimpinan dan anggota DPR-RI sebesar-besarnya 10 kali lipat rata-rata nasional pendapatan per-kapita penduduk.” Begitu pula DPRD bisa menyesuaikan dengan pendapatan perkapita penduduk di daerah masing-masing.
Perppu bisa memberikan rasa aman penerimaan gaji dan tunjangan DPR, dan terasa “lebih halal.”
——— 000 ———


