Puncak musim kemarau mulai berlaku, terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Berbagai sumber air mengering, sumur warga sudah asat. Masyarakat harus mengambil air dari sumber yang jauh. Tanah sawah nampak merekah. Pertanda areal sawah tidak bisa ditanami padi. Harus beralih menanam palawija yang tidak membutuhkan banyak air. Pemerintah daerah perlu menyokong ketersediaan air bersih, terutama untuk konsumsi (memasak dan air minum).
Namun BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) me-warning potensi cuaca ekstrem. Termasuk badai di samudera, serta hujan lebat. Terbukti, kota Ternate, Maluku Utara, diguyur hujan sangat deras. Jelang subuh, hujan masih berlangsung, kawasan gunung berapi Gamalama, telah meluruhkan material longsoran berupa batu-batu gunung, dan pohon yang tumbang. Permukiman di kelurahan Rua, Kota Ternate. Longsor menimbun rumah, beserta penghuni yang masih terlelap tidur.
Sebanyak 14 jasad ditemukan menjadi korban jiwa. Serta 6 orang belum ditemukan. Pemerintah Kota Ternate, menetapkan status tanggap darurat. BMKG juga me-warning, kemungkinan cuaca ekstrem di berbagai daerah yang berbatasan dengan samudera lepas. Termasuk Pantai Selatan Jawa Timur, selat Bali (penyeberangan) sampai Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku Utara, serta Papua bagian utara.
Cuaca ekstrem, berbeda-beda di berbagai belahan kawasan Indonesia. Yang secara umum dihadapi, adalah kekeringan parah. kinerja ke-pertanian sudah siaga. Terutama pada sentra pangan di seantero pulau Jawa. Kementerian Pertanian telah mencanangkan bantuan alsintan, termasuk pompa air, yang sangat dibutuhkan pada ladang tadah hujan. Di Jawa Timur, terutama pada kawasan Madura, dan kawasan “tapal kuda” (Pasuruan, Probolinggo sampai Situbondo).
Hamparan areal tadah hujan masih seluas 368 ribu hektar lebih, serta bisa berkembang sampai 400 ribu hektar. Biasanya masih bisa menghasilkan padi 2,25 juta ton padi (setara 1,3 juta ton beras). Konon, Jawa Timur akan memperoleh sebanyak 4000 unit. Jawa Timur, bersama dua propinsi lain di Jawa (Jawa Tengah, dan Jawa Barat), akan dipertahankan sebagai sentra pangan nasional. Jawa Timur, misalnya, menyokong 18% produksi padi nasional. Pada tahun 2023, Jawa Timur menghasilkan 9,7 juta ton gabah kering giling (setara 5,6 juta ton beras). Penyokong beras terbesar nasional.
Brdasar studi Lembaga iklim internasional, Copernicus Climate Change Service (C3S), memprediksi El-Nino, akan berlanjut pada tahun (2024) ini. Sebagai negara dengan agraris, Indonesia patut memperkuat agri-culture, sebagai kunci “keamanan” nasional. Saat ini ladang sawah tadah hujan nyata-nyata mengalami dampak paling parah. Begitu pula aliran irigasi yang bersumber dari air sungai, juga turut terdampak. Karena air sungai makin menyusut. Beberapa waduk dan embung juga akan turut mengering.
Data lain yang patut dicermati seksama, adalah sigi data BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana). Berdasar data tahun lalu, terdapat 11 propinsi yang berpotensi kekeringan dengan curah hujan rendah. Yaitu Aceh, Bali, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, NTT, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi tengah, dan Sumatra Utara. Padahal, Jawa Timur, dan Jawa Barat adalah dua propinsi utama penopang produk pertanian (tanaman pangan) nasional.
Maka diperlukan “kalkulasi” bersama mengatasi dampak cuaca ekstrem (dan El-Nino). Terutama Kementerian Pertanian, PUPR, dan LHK (Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Peningkatan suhu akibat El-Nino, bisa jadi menyebabkan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).
Sekolah Lapang Cuaca, yang dikembangkan BMKG, juga patut di-masif-kan pada petani. Serta perlu penggunaan teknologi Artificial Intelijen (AI) bidang pertanian, untuk menganalisis kondisi ladang. Paceklik pangan wajib menjadi kewaspadaan bersama.
——— 000 ———