Oleh :
Amir Rifa’i
Mahasiswa Program Doktor Manajemen Pendidikan UM
Sekolah rakyat adalah salah satu warisan berharga dari masa awal kemerdekaan Indonesia, lahir dari semangat memerdekakan bangsa bukan hanya dari penjajahan politik, tetapi juga dari ketertinggalan. Didirikan di berbagai pelosok negeri oleh guru-guru pejuang dan tokoh masyarakat, sekolah ini menjadi ruang belajar sederhana bagi anak-anak rakyat yang belum tersentuh pendidikan formal. Lebih dari sekadar tempat membaca dan menulis, sekolah rakyat adalah simbol harapan, gotong royong, dan tekad kolektif untuk mencerdaskan bangsa.
Sekolah sederhana yang lahir dari semangat gotong-royong, pengabdian, dan tekad untuk menggugah bangsa yang baru merdeka. Namun kini di tengah pergulatan abad ke-21, ketidakmerataan akses, ledakan teknologi, dan tuntutan keterampilan baru. Namun yang menjadi perhatian kita bukan lagi soal romantisme sejarah, tetapi perlukah sekolah rakyat dihidupkan kembali?
Secara pribadi penulis berpendapat, ya, tetapi dengan syarat ia direkayasa ulang agar relevan, efektif, dan berpihak pada kemajuan sosial nyata.
Konsep sekolah rakyat memiliki tempat istimewa dalam sejarah pendidikan Indonesia. Di masa awal kemerdekaan, sekolah rakyat hadir sebagai jawaban atas kebutuhan mendesak: mencerdaskan bangsa yang selama ratusan tahun terkungkung dalam keterbelakangan akibat kolonialisme. Sekolah rakyat bukan sekadar institusi formal, melainkan simbol perlawanan, wadah pemberdayaan, dan medium untuk mengikat kesadaran kolektif akan pentingnya pendidikan.
Yang menjadi pertanyaan, jika konsep sekolah rakyat dihidupkan kembali hari ini, mampukah ia menjadi jawaban atas ketimpangan akses pendidikan, perkembangan teknologi yang begitu cepat, dan kebutuhan keterampilan abad ke-21, tanpa kehilangan nilai historis yang melandasinya sesuai yang dicita-citakan para pendahulu dan pendiri bangsa?
Pertama kita perlu melihat peta realitas. Secara formal, partisipasi sekolah di Indonesia memang meningkat. Menurut Badan Pusat Statistik Indonesia, pada 2023 Angka Partisipasi Sekolah (APS) kelompok usia dasar tercatat mendekati angka universal, yang menunjukkan bahwa akses fisik ke sekolah telah membaik, namun angka ini menyembunyikan disparitas kualitas dan kesempatan antarwilayah. Di sisi lain, penetrasi internet yang meningkat membuka peluang pembelajaran digital, tetapi masih jauh dari kata merata untuk semua.
Data 2024 menunjukkan penetrasi yang belum mencakup seluruh lapisan masyarakat, sehingga digital divide menjadi variabel krusial yang harus dipertimbangkan ketika mendesain ulang model pendidikan. Bahkan dikutip dari World Bank, lebih problematis lagi adalah banyak anak yang secara fisik berada di bangku sekolah namun tidak menguasai keterampilan dasar seperti membaca dengan pemahaman pada usia yang semestinya, sebuah indikator bahwa akses tidak selalu berbanding lurus dengan hasil belajar.
Dalam konteks kebijakan, transformasi kurikulum “Merdeka Belajar” telah mendorong desentralisasi pendekatan pembelajaran dan memberi ruang untuk model pembelajaran kontekstual dan proyek-berbasis, suatu momentum yang ideal untuk bereksperimen dengan gagasan sekolah rakyat yang baru. Pernyataan pejabat kementerian terkait dan sejumlah gerakan praktik baik di daerah memperlihatkan bahwa ruang kebijakan saat ini relatif terbuka bagi inovasi pendidikan berbasis komunitas.
Lalu, bagaimana bentuk sekolah rakyat yang dilaksanakan ini mampu menjawab tantangan itu tanpa melupakan akar filosofisnya? Penulis berpendapat bahwa Pendidikan adalah hak setiap warga negara dan sekolah rakyat tumbuh karena komunitas dan pembelajaran ditempatkan dekat kehidupan sehari-hari komunitas entah di balai desa, pos belajar, ruang serba guna dan lain sebagainya, dengan jadwal fleksibel untuk menjangkau anak yang harus membantu keluarga atau tinggal di lokasi terpencil.
Selanjutnya kita perlu meahami bahwa teknologi sebagai alat pemberdayaan, bukan sekadar trend. Teknologi harus dipilih berdasarkan kegunaan local, bukan untuk “keren-kerenan”. Untuk daerah dengan koneksi terbatas, solusi seperti konten offline yang bisa diakses lewat intranet komunitas, radio edukasi, atau paket pembelajaran berbasis ponsel sederhana bisa lebih berdampak ketimbang e-learning berbasis bandwidth tinggi. Di daerah dengan akses baik, teknologi dipakai untuk memperkaya pembelajaran, sumber terbuka, modul interaktif, dan platform portofolio digital untuk menilai hasil belajar berbasis proyek.
Akan tetapi yang perlu difahami adalah kunci utamanya adalah guru, tanpa guru yang melek pedagogi digital, perangkat apa pun akan menjadi pajangan mahal. Karena guru sebagai fasilitator dan penggerak sosial, kelahiran kembali sekolah rakyat menuntut model tenaga pengajar yang fleksibel, guru profesional yang mendapat dukungan pelatihan berkelanjutan seperti relawan terlatih (mahasiswa, pemuka komunitas, praktisi) yang datang berbagi keterampilan.
Juga kurikulum kontekstual yang menumbuhkan keterampilan abad ke-21. Sekolah rakyat modern harus menempatkan 4C (critical thinking, creativity, collaboration, communication) sebagai kompetensi inti, diintegrasikan lewat proyek yang menyelesaikan masalah local, seperti pengelolaan sampah, pertanian berkelanjutan, kelestarian budaya, atau unit usaha mikro koperasi sekolah.
Akhirnya, menghidupkan kembali sekolah rakyat bukan tentang mengulang masa lampau apa adanya. Ini tentang merajut kembali semangat pendidikan sebagai proyek kolektif yang berpihak pada mereka yang belum bisa mengenyam pendidikan, paling rentan, memanfaatkan teknologi dengan bijak, dan menumbuhkan kompetensi yang dibutuhkan anak-anak kita untuk menghadapi dunia yang berubah cepat. Sekolah rakyat yang direka ulang bukan nostalgia, ia adalah strategi transformatif.
Indonesia membutuhkan lebih banyak model pendidikan yang mampu menautkan sejarah, komunitas, dan masa depan secara simultan. Jika kita serius pada cita-cita merata dan bermutu, maka jawabannya sederhana, Sekolah Rakyat, perlu dan perlu dibangun kini, dengan kepala dingin dan hati besar.
Semoga bermanfaat.
————– *** ——————


