Surabaya, Bhirawa
Sebanyak 18 lukisan karya Uskup Surabaya, Monsinyur Agustinus Tri Budi Utomo atau yang akrab disapa Monsinyur Didik (MoDik) menjadi saksi perjalanan seni dan spiritualnya di Katedral Hati Kudus Yesus dengan menampilkan refleksi mendalam tentang iman, kehidupan, dan kasih Kristus yang menjadi jangkar kehidupannya.
Sejak masa frater, Monsinyur Didik telah menunjukkan bakat melukisnya secara terbuka. Namun, bagi dirinya, seni bukan sekadar ekspresi visual, melainkan luapan pengalaman batin yang ingin ia bagikan.
Banyak lukisannya diberikan kepada orang lain dengan berbagai alasan, sebagai wujud kepedulian dan cinta kasih.
Dalam pameran ini, tema yang diangkat mengandung makna yang mendalam. “Love Affair, bukan dalam konotasi negatif, tetapi sebagai bentuk keterikatan yang mendalam terhadap panggilan imamat dan Tuhan. Dengan Tuhan pun kita bisa mengalami love affair,” terangnya, Selasa (11/3).
Pameran Bishop’s Love Affair sendiri dibuka untuk umum mulai 25 Februari hingga 23 Maret 2025. Dan lukisan-lukisan Monsinyur Didik berbicara tidak hanya melalui bentuk, tetapi juga melalui jiwa dan roh. Beberapa karyanya mencerminkan pergulatan batin dan refleksi spiritualnya.
Salah satu lukisan yang menarik perhatian adalah gambaran seorang anak yang menerawang jauh ke depan dengan seutas karet di mulutnya. Lukisan ini mencerminkan keprihatinannya terhadap masa depan anak-anak di Kalimantan, di tengah maraknya konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit.
Monsinyur Didik menggambarkan bagaimana perubahan ini dapat mengancam keseimbangan ekosistem dan berujung pada kekeringan. Lukisan lain yang tak kalah menarik adalah sosok ibu berkebaya dengan sanggul sederhana, tengah menyusui bayinya. Menurut Monsinyur Didik, ini adalah gambaran Bunda Maria dalam versi Jawa.
“Kalau Maria ada di Jawa, ya seperti itu penggambarannya. Dia kuat, tangguh, dan penuh kasih dalam menyusui Yesus, anaknya,” ujarnya.
Tema kisah sengsara Kristus juga turut hadir dalam pameran ini, dengan dominasi warna abu-abu yang merefleksikan penderitaan dan pengorbanan-Nya.
Dalam berkarya, Monsinyur Didik tidak terikat pada satu aliran tertentu. Ia menggambarkan proses kreatifnya seperti anak kecil yang menggambar dengan spontan, mengikuti suara hati. “Saya melukis seperti anak kecil, hanya mengikuti apa yang ingin saya gambar,” katanya.
Selain itu, pameran ini bukan sekadar ajang menampilkan keindahan visual, tetapi sebuah perjalanan batin yang mengajak setiap pengunjung untuk merenung, merasakan, dan menemukan makna di balik setiap goresan. [riq.wwn]