Oleh ;
Tidor Arif T. Djati
Pemerhati Kearsipan, Ketua Asosiasi Arsiparis Indonesia Wilayah Jawa Timur
Setiap tahun, tanggal 10 November datang selalu membawa gema yang sama. Lagu-lagu perjuangan diputar, karangan bunga dipasang, baliho-baliho pahlawan di pajang, upacara dilaksanakan, bahkan pemerintah selalu mengumumkan nama tokoh baru yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional lewat Keputusan Presiden. Upacara berlangsung khidmat, seragam veteran kembali dikenakan. Saat itu kita kembali mengucap satu kalimat sakral: jasamu tak akan kami lupakan. Namun di balik gegap gempita itu, ada pertanyaan yang semakin relevan di era digital ini: siapa yang memastikan kebenaran dari kisah kepahlawanan itu? Siapa yang menjamin bahwa yang disebut pahlawan benar-benar berjuang, dan bukan sekadar hasil narasi, desakan yang dirancang rapi? Jawabannya ada pada satu kata yang sering dilupakan, tapi tak pernah kehilangan makna, yaitu Arsip.
Pahlawan yang lahir dari arsip
Arsip adalah saksi bisu sejarah. Ia merekam tanpa menilai, menyimpan informasi dan berbicara tanpa berpihak. Ia bisa memuliakan seseorang, tetapi juga bisa menelanjangi kepalsuan. Banyak pahlawan dikenang karena ada arsip yang menunjukkan bukti perbuatannya, ada surat perjuangan, ada laporan pertempuran, atau catatan dan goresan pengorbanan. Tanpa arsip, mereka hanyalah cerita dari mulut ke mulut yang mudah dipelintir waktu. Sala satu contoh, Bung Tomo dikenal karena pidato bersejarahnya terekam. Kartini dikenang karena surat-suratnya tak musnah, dan masih banyak lagi bukti jejak kepahlawanan dari mereka yang telah ditetapkan sebagai Pahlawan, baik pahlawan Proklamasi maupun pahlawan nasional. Bahkan pengakuan dunia terhadap perjuangan Indonesia di kancah internasional lahir dari bukti-bukti documenter dalam wujud arsip yang tersimpan dan dapat diverifikasi. Arsiplah yang membuat sejarah kita tidak mudah dihapus atau direvisi. Sebaliknya arsip pula yang akan menjadi pelorus sejarah. Namun ironinya, di era digital, ketika semua hal bisa disalin, disebar, dan dimanipulasi, arsip justru sering dianggap hal remeh. Padahal, di sinilah medan perjuangan baru dimulai. Saat ini, musuh utama bukan lagi penjajahan fisik, tetapi pemalsuan realitas.
Ketika segalanya bisa dipalsukan
Di zaman serba digital ini, kita hidup dalam paradoks: semakin mudah menyimpan data, semakin mudah pula memalsukannya. Foto bisa direkayasa dengan Artificail Inteligent (AI), tanda tangan bisa disalin secara elektronik, ijazah bisa digandakan dengan resolusi tinggi, bahkan video bisa dimanipulasi dengan deepfake yang nyaris sempurna. Semuanya tampak sahih, hingga arsip asli berbicara dengan jujur. Karena arsip adalah bukti yang tak bisa digantikan oleh narasi. Ia memegang otoritas moral sekaligus hukum untuk menentukan kebenaran. Tetapi di sinilah dilema terbesar bangsa ini, banyak orang takut pada arsip. Arsip menyimpan jejak yang tak selalu indah. Ia mencatat kesalahan, kebohongan, bahkan dosa administrasi. Itulah mengapa sebagian orang ingin arsip dihapus, diubah, atau disembunyikan. Namun, seperti kata pepatah lama: arsip tidak pernah bohong, hanya manusia yang takut kebenaran.
Janus dan dua wajah arsip
Di dunia kearsipan internasional, “Dewa Janus” dalam mitologi Romawi dikenal sebagai dewa bermuka dua yang menatap masa lalu dan masa depan dijadikan simbol Organisasi profesi kearsipan International Council on Archives (ICA). Maknanya sederhana tapi dalam: arsip selalu memiliki dua wajah. Satu wajah menyimpan kebenaran masa lalu, wajah lainnya memastikan masa depan tidak dibangun di atas dusta. Itulah paradoks arsip: ia bisa menjadi alat pembebasan sekaligus alat penghakiman. Ia bisa membuat seseorang menjadi pahlawan karena arsip membuktikan integritasnya, tetapi juga bisa menjatuhkan seseorang menjadi pecundang, karena arsip dapat membuka kebohongan yang disembunyikan, atau bahkan mengungkap kebenaran yang tersembunyi. Dalam konteks itu, arsip bukan sekadar catatan administratif, melainkan instrumen etika bangsa. Negara yang tidak menghormati arsip adalah negara yang membiarkan kebenaran tergantung pada opini dan kekuasaan.
Kepahlawanan dalam keheningan
Pahlawan masa lalu berjuang dengan peluru dan bambu runcing. Pahlawan masa kini berjuang dengan data, kode etik, dan keteguhan hati menjaga keaslian arsip di tengah tekanan politik maupun ekonomi. Arsiparis, auditor dokumen, petugas penyimpanan digital mereka bekerja dalam diam dan sunyi. Mereka tak terekspose dalam kamera televisi, bahkan mungkin juga tak ada panggung penghargaan. Namun, setiap hari mereka melindungi satu hal yang paling berharga dari sebuah bangsa, yaitu bukti kebenaran. Mereka menolak manipulasi metadata, menolak penghapusan dokumen yang “tidak nyaman”. Mereka mungkin tidak memegang senjata, tapi mereka menjaga republik ini agar tidak kehilangan integritas. Di tengah dunia yang makin terbiasa memoles kebohongan, pekerjaan semacam ini adalah bentuk kepahlawanan tertinggi.
Kepalsuan yang dilestarikan
Saat ini kita hidup di masa ketika kepalsuan bisa dilestarikan lebih cepat dari kebenaran. Sebuah hoaks bisa viral dalam hitungan menit, sementara klarifikasi resmi yang berbasis arsip sangat mngkin baru dibaca dan diketahi oleh segelintir orang. Orang lebih mudah percaya pada tangkapan layar yang direkayasa ketimbang pada dokumen otentik yang melewati proses verifikasi.Ironinya, negara pun sering gagap. Kita belum memiliki lembaga yang khusus memastikan keaslian dokumen publik secara independen dan ilmiah yang memiliki otoritas Verifikasi Autentikasi Dokumen Negara (LVADN). Jika lembaga ini terwujud kiranya akan menjadi terobosan strategis dengan menempatkan arsiparis atau tenaga ahli lain sebagai “auditor kebenaran”, memastikan bahwa setiap dokumen publik yang beredar terutama yang menyangkut pejabat atau kebijakan negara dapat dipastikan keasliannya. Dengan begitu, bangsa ini tidak lagi menjadi korban dari “dokumen palsu” yang mencoreng integritas pejabat publik dan merusak kepercayaan masyarakat. Sebab sekali kepercayaan hilang, kebenaran pun kehilangan daya.
Menjadi pahlawan di zaman digital
Menjadi pahlawan di era digital bukan lagi soal berperang melawan penjajah, tetapi melawan pemalsuan data dan distorsi ingatan kolektif. Kita semua punya tanggung jawab menjadi penjaga autentisitas, sekecil apa pun peran kita seperti menyimpan dokumen dengan benar, tidak menyebar berita palsu, menghormati bukti, dan tidak menutupi kebenaran demi kepentingan pribadi. Kepahlawanan modern tidak selalu tampak heroik. Ia bisa hadir dalam bentuk sederhana: menolak menandatangani laporan palsu, melaporkan manipulasi data, atau sekadar memastikan dokumen publik tersimpan dengan aman agar bisa dipertanggungjawabkan. Dalam dunia yang bisa memalsukan segalanya, tindakan menjaga keaslian,sekecil apapun adalah tindakan moral yang besar.
Ketika kebenaran menjadi medan perang terakhir
Setiap Hari Pahlawan, kita menundukkan kepala untuk mengenang mereka yang gugur. Tetapi di saat yang sama, kita juga harus menengadah melihat masa depan yang kini dipenuhi kabut informasi palsu. Jika dulu pahlawan mempertaruhkan nyawa demi kemerdekaan, kini kita dipanggil untuk mempertaruhkan integritas demi kebenaran. Arsip bukan sekadar kertas, file, atau dokumen elektronik. Ia adalah roh kejujuran bangsa. Dan siapa pun yang menjaga roh itu, pantas disebut pahlawan, meski tanpa pangkat, tanpa bintang jasa, tanpa nama yang terukir di tugu peringatan. Karena di zaman ketika segalanya bisa dipalsukan, menjaga keaslian arsip adalah bentuk kepahlawanan tertinggi.
————— *** ——————-


