28 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Saat Buku Bersuara Lebih Lantang dari Gadget

Oleh :
Arief Azizy
Bergiat di Jaringan GusDURian Kediri dan Peneliti di Laboratorium for Psychology
Indigenous and Culture Studies di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Di tengah hiruk-pikuk notifikasi, scroll tanpa henti, dan ledakan konten digital, Hari Buku Nasional datang seperti oase. Ia mengingatkan kita bahwa sebelum dunia dikendalikan oleh algoritma, kita pernah berteman akrab dengan lembar demi lembar halaman. Buku bukan hanya medium pengetahuan, melainkan ruang kontemplasi. Sayangnya, di era ketika jari lebih sering menyentuh layar ketimbang menyentuh halaman, suara buku sering teredam oleh kebisingan gadget.

Indonesia tidak kekurangan penerbit, penulis, atau bahkan toko buku daring. Tapi kita kekurangan pembaca yang tekun, sabar, dan bersedia berlama-lama duduk tanpa tergoda membuka aplikasi lain. Dalam survei Most Literate Nations in the World oleh Central Connecticut State University (2016), Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara. Bukan karena tidak punya sumber daya, tetapi karena minat baca kalah cepat dibanding arus hiburan digital.

Fenomena ini tidak sepenuhnya salah masyarakat. Dunia memang berubah drastis. Anak-anak kini tumbuh dengan dua kenyataan: dunia nyata dan dunia layar. Bukan hal aneh jika seorang remaja hari ini lebih akrab dengan TikTok ketimbang nama-nama penulis besar. Mereka dibesarkan dalam budaya instan, visual, dan serba cepat. Dalam ekosistem seperti itu, buku menjadi benda “berat”-bukan secara fisik, tetapi secara pengalaman. Ia menuntut waktu, keheningan, dan kesabaran. Sesuatu yang semakin mahal di zaman ini.

Dalam The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains, Nicholas Carr mengulas bagaimana cara kita membaca berubah secara neurologis. Paparan terus-menerus terhadap konten digital yang pendek dan cepat membuat otak kehilangan kemampuan untuk membaca dalam jangka panjang dan mendalam. Nicholas Carr menulis, “Semakin kita menggunakan internet, semakin kita berlatih untuk menjadi pembaca yang dangkal.” Ini bukan hanya soal preferensi, tapi perubahan biologis yang mempengaruhi kapasitas berpikir kritis dan refleksi seseorang.

Berita Terkait :  Gus Fawait Serahkan 74 Sepeda Motor pada Muslimat NU Kencong, Dukung Pemberdayaan Ekonomi dan Pendidikan Anak

Kita sedang menghadapi ancaman sunyi: matinya budaya membaca dalam diam-diam. Padahal, membaca buku bukan hanya soal menambah wawasan, melainkan tentang melatih empati, nalar, dan kebijaksanaan. Dalam buku How to Read a Book karya Mortimer J. Adler dan Charles Van Doren, dijelaskan bahwa membaca adalah keterampilan intelektual yang bertingkat.

Dari sekadar membaca informasi hingga membaca untuk analisis dan evaluasi. Membaca buku, berbeda dari membaca status media sosial, menantang pembaca untuk berpikir, bertanya, dan menyusun argumen. Buku memberi ruang kepada pembaca untuk berdialog, bukan hanya menerima informasi secara pasif.

Ironisnya, era digital menawarkan ribuan judul e-book dan akses tak terbatas ke berbagai karya sastra dan ilmu pengetahuan. Namun akses itu tidak serta merta menciptakan pembaca yang baik. Sebab, yang kita butuhkan bukan sekadar buku dalam format digital, melainkan budaya yang menghargai proses membaca. Budaya ini tidak bisa dibangun hanya lewat jargon “ayo membaca” atau kampanye sesekali. Ia harus hadir dalam keseharian: di rumah, di sekolah, di ruang publik, bahkan di linimasa.

Tentu bukan berarti kita harus menolak teknologi. Sebaliknya, kita justru perlu mendampingi generasi digital untuk bersahabat dengan buku. Di sinilah pentingnya peran keluarga, guru, dan komunitas literasi. Membaca harus dikenalkan sejak dini, bukan sebagai kewajiban, tapi sebagai kebiasaan menyenangkan. Buku harus menjadi bagian dari percakapan sehari-hari, bukan sekadar ornamen ruang tamu.

Beberapa sekolah telah memulai program “20 menit membaca sebelum belajar”. Ini langkah kecil namun berarti. Di berbagai daerah, taman baca mulai bermunculan, mengisi celah yang tak bisa dijangkau perpustakaan formal. Namun semua inisiatif ini perlu didukung oleh kebijakan yang konsisten dan komitmen jangka panjang. Pemerintah daerah, kementerian pendidikan, dan lembaga kebudayaan harus menyadari bahwa membangun peradaban tidak cukup lewat pembangunan fisik, tapi juga lewat investasi budaya baca.

Berita Terkait :  Gubernur Khofifah Jadi Tamu Kehormatan di Peking University Tiongkok

Momentum Hari Buku Nasional seharusnya tidak hanya menjadi seremoni. Ia adalah pengingat bahwa peradaban besar selalu lahir dari masyarakat pembaca. Bukan pembaca yang hanya tahu kabar terbaru, tapi pembaca yang mampu berpikir mendalam. Di tengah kecanggihan teknologi, kita justru semakin membutuhkan manusia yang mampu membedakan informasi dan kebijaksanaan, antara popularitas dan kebenaran.

Buku tidak akan pernah kalah oleh gadget, selama kita tetap membacanya. Ia tidak bisa bersaing dalam hal kecepatan, tapi unggul dalam kedalaman. Saat dunia digital penuh bias, buku menawarkan jarak kritis. Saat media sosial mendesak kita bereaksi cepat, buku mengajak kita merenung. Dan saat gadget membuat kita lupa pada sekitar, buku mengingatkan kita tentang siapa diri kita.

Jika ada yang harus diwariskan hari ini kepada generasi mendatang, bukan hanya keterampilan coding atau digital marketing, tapi juga kemampuan untuk membaca dengan utuh dan berpikir dengan jernih. Sebab bangsa yang kuat bukan hanya yang mampu memproduksi teknologi, tapi yang mampu menggunakannya dengan nalar dan nurani.

Dan buku, tak peduli dalam bentuk cetak atau digital, adalah senjata sunyi yang bisa membuat suara nalar lebih lantang dari segala kebisingan.

Membaca Merawat Nalar Kritis
Pada akhirnya, membaca bukan sekadar kegiatan sunyi antara manusia dan teks, melainkan tindakan kognitif yang menumbuhkan daya tangkap, mengasah ketajaman berpikir, serta membentuk nalar kritis yang sehat. Di tengah zaman yang dipenuhi oleh banjir informasi dan arus opini yang cepat, kemampuan untuk memilah mana yang fakta dan mana yang sekadar sensasi menjadi amat krusial.

Berita Terkait :  SMASA Situbondo Dukung Program Anti Perundungan Gagasan Disdik Jatim

Membaca melatih kita untuk tidak tergesa-gesa menelan informasi mentah-mentah, apalagi menjadikannya dasar sikap atau keputusan. Ia mengajarkan jeda dan telaah, dua hal yang mulai langka di era klik dan gulir. Dalam tradisi membaca yang tekun, seseorang akan terbiasa mempertanyakan, menimbang, bahkan menyangkal, sebelum akhirnya menyetujui. Di sinilah nalar kritis dibentuk, bukan dari kebisingan debat kusir di media sosial, melainkan dari ketekunan menggali ide, membandingkan gagasan, dan menguji argumen lewat bacaan-bacaan yang memperkaya. Lebih dari itu, membaca juga membentengi kita dari jebakan manipulasi dan politik ketakutan.

Warga yang gemar membaca tak mudah diseret dalam narasi tunggal. Mereka akan mempertanyakan, misalnya, mengapa isu tertentu dimunculkan, siapa yang diuntungkan, dan apa agenda di baliknya. Mereka tak mudah menjadi mangsa propaganda karena telah terbiasa berpikir dengan kerangka yang lebih luas dan mendalam.

Di tengah masyarakat yang sering kali gemar percaya tanpa verifikasi, pembaca yang kritis akan menjadi penyeimbang-bukan dalam makna oposisi bising, tapi dalam bentuk kewarasan kolektif. Mereka hadir sebagai suara yang tak mudah dibungkam, sebab berpijak pada data, logika, dan nurani yang terlatih. Dalam masyarakat semacam inilah demokrasi bisa tumbuh secara sehat, karena rakyatnya tak mudah ditipu, dan pemimpinnya sadar bahwa warganya berpikir.

Namun membangun kultur membaca yang melahirkan nalar kritis tentu bukan tugas perseorangan. Ia perlu didukung ekosistem yang sehat-dari rumah yang menyediakan ruang baca, sekolah yang tidak hanya mengejar nilai tapi juga menumbuhkan minat literasi, hingga negara yang membuka akses terhadap buku-buku bermutu dan menghindari pembatasan pikiran. Di dalam bacaan yang jernih, nalar kritis menemukan rumahnya. Dan selama manusia masih ingin berpikir bebas, bertindak adil, dan hidup bermartabat, membaca akan tetap menjadi jalan sunyi yang tak boleh ditinggalkan.

———– *** ————-

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru