- *Catatan : HRM. Khalilur R Abdullah Sahlawiy (Owner Balad Group)
Jika kita membaca sejarah seluruh rezim diktator diseluruh dunia, pasti akan kita dapati bahwa setiap rezim diktator adalah rezim kotor. Rezim diktator adalah rezim tirani, rezim tangan besi, anti kritik, sok benar sendiri, sok pintar sendiri, membungkam perbedaan, memberangus keberagaman.
Rezim diktator biasanya melakukan hal yang hanya menguntungkan dirinya sendiri dan kelompoknya layaknya koruptor, penjahat bertopeng malaikat, musang berbulu domba, pencuri berlagak gemar berbagi.
Dewasa ini rezim diktator tidak hanya ada di level negara, rezim diktator juga ada di level organisasi.
Dilain sisi organisasi yang terbuka, tertata rapi, punya akuntabilitas berkelas, pastilah rezim organisasi begini adalah rezim organisasi yang mengedepankan musyawarah, tidak mempertontonkan amarah, rezim organisasi begini pasti meluhurkan proses demokrasi.
Di Indonesia, rezim organisasi yang masih mengedepankan diskusi, syuro alias musyawarah serta menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dalam menjalankan organisasi adalah Muhammadiyah.
Di dalam Muhammadiyah, banyak orang alim namun juga ilmiah dalam pemikiran. Profesor doktor di Muhammadiyah, yang akan lantang bersuara ketika kedzaliman terjadi, Muhammadiyah layak dicontoh dan ditiru dalam mengelola organisasi, sangat Islami moderat, sangat mengedepankan musyawarah bukan mempertontonkan urat amarah.
Namun sayangnya, di Indonesia tidak sedikit organisasi yang tidak menerima keterbukaan dalam pikiran yang lebih mengedepankan pola pikir tradisional dalam kajian ketimbang keilmiahan.
Organisasi semacam ini memiliki kecenderungan pola komunikasi top down yakni pola komunikasi dari petinggi ke bawahan tanpa ada feed back atau bantahan dari bawahan.
Organisasi yang memiliki pola komunikasi tersebut sulit untuk membuka pikirannya dan menerima pendapat bawahannya sehingga seringkali menimbulkan gejolak di bawah bahkan tidak sedikit yang akhirnya memicu konflik kudeta untuk menjatuhkan petinggi-petingginya.
Selain itu, petinggi pada organisasi tradisional semacam ini juga memiliki ciri-ciri lebih kaya dan glamor ketimbang bawahannya. Padahal apa yang disampaikan terkadang berisi tentang kesabaran, kesederhanaan dan keikhlasan.
Meskipun hingga hari ini, organisasi tradisional masih memiliki peminat yang banyak karena iming-iming saat diakhirat akan masuk surga. Ironisnya di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini jualan atau bisnis agama jauh lebih menguntungkan ketimbang berjualan sembako atau berbisnis lainnya.
Organisasi yang suka berjualan agama semacam ini sekali lagi cenderung sangat diterima di rezim diktator karena memiliki pola komunikasi yang sama. Siapa yang tidak patuh maka siap-siaplah untuk dibuang dan dicampakan.
Sebagai warga Indonesia yang memiliki pemikiran luas dan terbuka, saya merasa miris jika hal seperti ini terus terjadi. Sebab Indonesia dengan banyak potensi yang harusnya masyarakat bisa manfaatkan malah hanya dinikmati oleh segelintir orang saja yakni penguasa.
Masyarakat kecil dan hamba sahaya hanya menjadi penonton menyumbang modal pajak dan untungnya hanya untuk penguasa saja, masyarakat hanya dapat sembako yang dimakan seminggu habis kemudian kembali merintih karena tidak punya pekerjaan.
Oleh karena itu, masyarakat Indonesia jangan hanya diam dan lawan kediktatoran rezim kotor semacam ini. Dengan apa ? Dengan keluar dari organisasi tersebut kemudian memulai untuk mandiri memenuhi kebutuhan dirinya sendiri tanpa bergantung sama penguasa.
Jadilah bos untuk dirimu sendiri, bukan jadi kacung petinggi organisasi yang ketika dibantah melontarkan kata tidak takdzim atau su’ul adab. [*]