27 C
Sidoarjo
Thursday, December 18, 2025
spot_img

Retaknya Rumah Tangga Artis

Oleh :
Muhammma Ali Murtadlo
Dosen Hukum Keluarga Islam UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo

Tahun 2025 mencatat satu pola yang mencolok. Perceraian artis datang beruntun. Nama besar silih berganti. Publik terkejut sesaat, lalu terbiasa. Perpisahan yang dulu mengundang simpati kini menjadi konsumsi harian. Di penghujung tahun 2025, rangkaian perpisahan itu membentuk satu pola yang jelas: perceraian artis bukan lagi peristiwa sporadis, melainkan gejala sosial yang terus berulang dan sulit diabaikan.Perceraian artis bukan lagi kabar mengejutkan, melainkan gejala zaman.

Sepanjang tahun 2025, daftar artis yang bercerai terus bertambah. Nama-nama besar ikut tercatat. Sherina Munaf resmi berpisah dari Baskara Mahendra setelah lima tahun menikah. Asri Welas mengakhiri rumah tangga 17 tahunnya bersama Galiech Ridha Rahardja. Arya Saloka dan Putri Anne juga memilih jalan berpisah setelah lama diterpa isu keretakan. Baim Wong dan Paula Verhoeven menyusul dengan konflik yang menjadi konsumsi publik. Fachri Albar dan Renata Kusmanto ikut mengakhiri pernikahan mereka.

Dari kalangan muda, Dilan Janiyar berpisah dengan Safnoviar Tiasdi, disusul Young Lex dan Eriska Nakesya. Pasangan yang sempat dianggap ideal, seperti Acha Septriasa dan Vicky Kharisma, juga tidak bertahan. Bahkan pemain tim nasional, Pratama Arhan dan Azizah Salsha masuk dalam daftar perpisahan tahun ini. Deretan nama lain seperti Andre Taulany, Tasya Farasya, Bedu, Eza Gionino, Dedi Corbuzier hingga Adly Fairuz. Terbaru, Ridwan Kamil digugat cerai oleh istrinya, Atalia Praratya.

Fenomena ini memperlihatkan satu pola yang sama: perceraian tidak lagi mengenal usia pernikahan, latar profesi, atau tingkat popularitas. Ia hadir sebagai gejala sosial yang meluas di dunia selebritas Indonesia.Alasan perceraian beragam. Ada yang menyebut perbedaan visi. Ada yang menyatakan konflik berkepanjangan. Ada pula yang menyangkut persoalan psikologis, kekerasan verbal, atau ketidakhadiran emosional dalam rumah tangga.

Berita Terkait :  Perkuat Ketahanan Pangan Melalui Pembangunan Buis Beton Lele Konsumsi untuk KK Prasejahtera

Fenomena ini kerap dibaca secara dangkal. Seolah artis mudah bercerai karena hidupnya glamor. Seolah perceraian hanyalah soal bosan atau godaan. Padahal, di baliknya ada struktur masalah yang lebih dalam. Dunia selebritas bekerja dengan ritme yang tidak ramah bagi keluarga. Jadwal tidak menentu. Jam kerja panjang. Tekanan publik berlangsung setiap hari. Privasi hampir tidak ada.

Pentingnya Psikologi Keluarga
Dalam psikologi keluarga, kondisi ini dikenal sebagai stres kronis. Stres yang tidak meledak, tetapi menumpuk. Ia menggerogoti komunikasi. Ia melemahkan empati. Pasangan tetap bersama secara fisik, tetapi terpisah secara emosional. Banyak konflik tidak selesai. Hanya ditunda. Hingga akhirnya menjadi jurang.

Masalah lain adalah keterikatan emosional. Banyak pernikahan selebritas tumbuh di ruang publik. Hubungan dibangun di bawah sorotan kamera. Ekspresi cinta menjadi performa. Bukan ruang aman. Ketika konflik datang, pasangan tidak terbiasa berdialog secara intim. Mereka terbiasa menjelaskan ke publik, bukan ke pasangan. Dalam jangka panjang, ikatan menjadi rapuh.

Media sosial memperparah situasi. Setiap konflik berpotensi viral. Setiap unggahan ditafsirkan. Setiap diam dibaca sebagai kode. Tekanan ini tidak kecil. Dalam psikologi, kondisi semacam ini memicu kecemasan relasional. Pasangan merasa selalu diawasi. Kesalahan kecil terasa fatal. Rumah tangga berubah menjadi panggung tanpa jeda.

Perceraian lalu muncul sebagai jalan keluar. Bukan selalu pilihan ideal. Tetapi sering dianggap paling mungkin. Terutama ketika relasi sudah kehilangan fungsi dasarnya: memberi rasa aman. Dalam konteks ini, perceraian artis bukan anomali. Ia gejala dari perubahan struktur keluarga modern.

Berita Terkait :  Polres Madiun Kota Serahkan Barang Bukti Curanmor pada Korban

Filosofi Pernikahan
Dalam hukum Islam, pernikahan tidak hanya kontrak sosial. Ia adalah mitsaqan ghalizhan. Ikatan yang kokoh. Bukan karena sulit diputus. Tetapi karena mengandung tanggung jawab moral yang berat. Islam mengakui perceraian. Namun menempatkannya sebagai pintu darurat. Jalan terakhir. Bukan solusi pertama.

Filosofi ini sering berjarak dengan praktik hari ini. Banyak pasangan masuk pernikahan tanpa kesiapan psikologis. Tanpa visi jangka panjang. Pernikahan dipahami sebagai puncak cinta. Bukan awal tanggung jawab. Ketika cinta mengalami pasang surut, fondasi goyah.

Dalam kasus artis, jarak ini semakin lebar. Pernikahan sering dibingkai sebagai bagian dari citra. Sebagai narasi publik. Ketika citra berubah, pernikahan ikut goyah. Di titik ini, hukum Islam mengingatkan satu hal penting. Bahwa tujuan pernikahan bukan sekadar kebahagiaan sesaat. Tetapi kemaslahatan jangka panjang. Termasuk bagi anak.

Anak adalah pihak yang paling rentan. Dalam psikologi keluarga, perceraian bukan hanya peristiwa hukum. Ia peristiwa emosional. Anak menyerap konflik, meski tidak mendengar langsung. Ketika perceraian terjadi dalam sorotan media, dampaknya berlipat. Identitas anak ikut terbebani.

Sayangnya, dimensi ini sering luput dari pemberitaan. Fokus media lebih pada sensasi. Siapa salah. Siapa benar. Siapa korban. Padahal, yang lebih penting adalah bagaimana sistem mendukung keluarga sebelum runtuh.

Alarm Sosial
Fenomena perceraian artis 2025 seharusnya dibaca sebagai alarm sosial. Bukan untuk menghakimi. Tetapi untuk belajar. Bahwa pernikahan membutuhkan keterampilan. Bukan hanya niat baik. Bahwa cinta perlu dirawat. Bukan hanya dirayakan.

Berita Terkait :  Kemarau Panjang. Pemdes Boteng Gresik Datangkan Air Bersih untuk Warga

Kita juga perlu jujur. Tidak semua pernikahan harus dipertahankan. Dalam Islam, keselamatan jiwa dan martabat manusia adalah prioritas. Ketika pernikahan menjadi sumber luka yang terus-menerus, perceraian bisa menjadi jalan maslahat. Namun, keputusan itu seharusnya lahir dari kesadaran. Bukan dari tekanan publik atau kepentingan citra.

Artis, dengan segala keistimewaannya, justru menghadapi kerentanan yang berbeda. Mereka membutuhkan dukungan psikologis yang memadai. Konseling yang serius. Bukan sekadar manajemen krisis. Mereka juga membutuhkan literasi hukum keluarga. Agar perceraian, jika terjadi, tetap adil dan manusiawi.

Maraknya perceraian artis di tahun 2025 ini bukan cerita tentang kegagalan individu. Ia cerita tentang sistem. Tentang budaya yang memuja kecepatan, citra, dan performa. Sementara pernikahan menuntut kesabaran, keheningan, dan kerja emosional yang panjang.

Jika ada pelajaran yang bisa diambil, maka satu hal menjadi jelas. Pernikahan tidak cukup hanya dengan cinta. Ia membutuhkan kesiapan mental, kedewasaan spiritual, dan keberanian untuk tumbuh bersama. Tanpa itu, bahkan rumah tangga yang tampak paling sempurna pun bisa runtuh di bawah sorotan lampu kamera.

————— *** —————–

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru