29 C
Sidoarjo
Sunday, September 15, 2024
spot_img

Republik Rasa Kerajaan


Oleh :
Sutawi
Kepala LPPM Universitas Muhammadiyah Malang

Sebelum menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, wilayah yang dikenal dengan sebutan Nusantara dikuasai oleh sejumlah kerajaan lokal yang cukup banyak. Perkembangan kerajaan di Nusantara pada awalnya dipengaruhi oleh masuknya Agama Hindu dan Budha, seperti Kerajaan Kutai, Tarumanegara, Sriwijaya, Mataram Kuno, Kediri, Singosari, Pajajaran, dan Majapahit. Seiring masuk Agama Islam kemudian berdiri kerajaan bercorak Islam, seperti Kerajaan Samudra Pasai, Demak, Pajang, Mataram Islam, Makassar, Ternate-Tidore, Banten, Cirebon, Yogyakarta, dan Surakarta.

Kerajaan merupakan sistem pemerintahan tertua di dunia yang terbentuk sejak manusia pertama kali membentuk peradaban. Kerajaan (monarki) adalah sebuah sistem pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi dipegang oleh seorang penguasa tunggal yang disebut raja, ratu, atau sultan. Dalam sistem kerajaan, kepemimpinan umumnya diwariskan secara turun-temurun melalui garis keturunan.

Setelah menjadi negara merdeka pada 17 Agustus 1945, wilayah Nusantara kemudian menjadi negara kesatuan yang berbentuk republik yang bernama Indonesia. Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 secara jelas menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik.” Negara kesatuan adalah bentuk negara yang merdeka dan berdaulat di mana keseluruhan negara dikuasai hanya oleh satu pemerintah pusat. Pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonom yang dikenal dengan desentralisasi. Namun, kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan pemerintah pusat. Negara republik adalah negara dengan pemerintahan rakyat (demokrasi) yang dikepalai oleh seorang presiden sebagai kepala negara yang dipilih dari dan oleh rakyat untuk suatu masa jabatan tertentu.

Selama 79 tahun menjadi negara republik, rasa “kerajaan” dalam pemerintahan Indonesia ternyata masih terasa. Sejak proklamasi tahun 1945 sampai tahun 1998, Indonesia hanya dipimpin oleh dua orang presiden yang masa jabatannya bagai seorang raja. Pada era Orde Lama, Presiden Soekarno berkuasa selama 21 tahun, sedangkan pada era Orde Baru Presiden Soeharto berkuasa selama 32 tahun. Pada era Orde Lama, pengisian jabatan kepala daerah menggunakan sistem penunjukan atau pengangkatan oleh pemerintah pusat.

Berita Terkait :  Investasi dan Penyerapan Tenaga Kerja

Pada era Orde Baru, presiden dan kepala daerah dipilih oleh wakil rakyat (anggota DPR atau DPRD) yang dipilih rakyat melalui pemilu. Pada era ini, hanya presiden yang berhasil berkuasa lebih dari dua kali masa jabatan (lebih dari 10 tahun), sedangkan kepala daerah memegang jabatan paling lama selama dua kali masa jabatan (10 tahun).

Pada era reformasi, mulai tahun 2004, presiden, gubernur, bupati dan walikota dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu. Pada era ini ditegaskan pada UUD dan UU bahwa presiden, gubernur, bupati dan walikota memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

Dengan demikian, tidak ada lagi kesempatan bagi presiden dan kepala daerah berkuasa lebih dari 10 tahun. Pada era ini terpilih dua orang presiden yang hasil pemilu langsung yang berkuasa selama dua periode, masing-masing Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) dan Presiden Joko Widodo (2014-2024).

Pemilu langsung ternyata semakin menyuburkan fenomena politik dinasti dan dinasti politik dari pemerintah daerah sampai pemerintah pusat yang tumbuh sejak Orde Baru. Menurut Mahkamah Konstitusi (2015), politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga, sedangkan dinasti politik lebih identik dengan kerajaan, sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun dari ayah kepada istri atau anak agar kekuasaan tetap berada di lingkaran keluarga.

Berita Terkait :  Dukung Akselerasi Swasembada Pangan

Ari Dwipayana (2012) mengungkapkan empat penyebab munculnya dinasti politik dalam sebuah negara. Pertama, karena adanya keinginan dalam diri atau pun keluarga untuk memegang kekuasaan. Kedua, adanya kelompok terorganisasi karena kesepakatan dan kebersamaan dalam kelompok, sehingga terbentuklah penguasa kelompok dan pengikut kelompok. Ketiga, adanya kolaborasi antara penguasa dan pengusaha untuk menggabungkan kekuatan modal dengan kekuatan politisi. Keempat, adanya pembagian tugas antara kekuasaan politik dengan kekuasaaan modal sehingga mengakibatkan terjadinya korupsi.

Fenomena dinasti politik sudah tumbuh sejak era Orde Baru pada keluarga Presiden Soeharto. Presiden Soeharto berhasil mengondisikan keluarganya menjadi anggota DPR, MPR, dan menteri. Pada masa reformasi, dinasti politik terjadi pada keluarga Presiden Megawati, Presiden SBY, dan Presiden Jokowi. Presiden Megawati berhasil menjadikan putrinya Puan Maharani sebagai Menteri PMK dan Ketua DPR, serta sanak saudaranya sebagai anggota DPR. Presiden SBY berhasil menobatkan AHY sebagai ketua Partai Demokrat dan Menteri ATR, dan putra keduanya EBY sebagai anggota DPR. Presiden Jokowi berhasil mengangkat putra pertamanya Gibran Rakabuming Raka sebagai Walikota Surakarta dan menantunya Bobby Nasution sebagai Walikota Medan, serta putra bungsunya Kaesang Pangarep sebagai Ketua PSI. Bahkan, melalui Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tanggal 16 Oktober 2023 telah memuluskan langkah Gibran yang masih berusia 36 tahun menjadi wapres terpilih pada Pemilu Presiden 2024.

Hasil kajian Rahma dkk. (2022) terdapat sekitar 57 kepala daerah atau wakil kepala daerah di Indonesia yang mempunyai hubungan keluarga atau kerabat pejabat lain. Mereka tersebar di 15 daerah provinsi, seperti Provinsi Lampung, Banten, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, NTB, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Maluku. Sampai tahun 2020 persentase dinasti politik di Indonesia naik sebesar 14,78% atau 80 wilayah dari 541 wilayah. Berdasarkan riset BBC (2020) pada pilkada 2020 terdapat 5 provinsi di Indonesia yang paling banyak kandidat dinasti politik, yaitu Jawa Tengah 41 pasangan calon, 15 orang bagian dari dinasti politik; Jawa Timur 42 pasangan calon, 13 orang bagian dari dinasti politik; Sumatera Utara 65 pasangan calon, 8 pasangan calon bagian dari dinasti politik; Sulawesi Utara 24 pasangan calon, 10 orang bagian dari dinasti politik; serta Sulawesi Selatan terdapat 33 pasangan calon dan 10 orang terkait dinasti politik. Hasil riset Nagara Institute (2020) pada pilkada di Jawa Timur tahun 2020 terdapat 124 kandidat, dimana 102 kandidat tergolong dinasti politik yaitu istri, anak dan keponakan dari para petahana. Jumlah dinasti politik mengalami kenaikan dari 59 kandidat pada pilkada tahun 2005-2014 dan 86 kandidat pada pilkada tahun 2015-2018.

Berita Terkait :  Pendidikan, Kemerdekaan dan Tantangan Global

Dinasti politik akan semakin tumbuh dan berkembang di Indonesia mengingat banyak pemilih muda yang tidak peduli. Hasil survei Pusat Studi Anti Korupsi dan Demokrasi (PUSAD) UM Surabaya (2023) terkait politik dinasti di 38 kabupaten/kota di Jawa Timur mengungkapkan bahwa pemilih muda Jatim 26% percaya, 33% tidak percaya, dan 41% tidak peduli. Fenomena dinasti politik ini pernah diungkap oleh KH Ahmad Mustofa Bisri pada puisi yang berjudul “Zaman Kemajuan”. Puisi yang diciptakan Gus Mus pada zaman Orde Baru itu dibacakan ulang saat gelaran sastra Jawa Tengah 2023 pada Selasa 31 Oktober 2023 di Taman Budaya Jawa Tengah di Solo, “Inilah zaman kemajuan. Ada sirup rasa jeruk dan durian. Ada keripik rasa keju dan ikan. Ada republik rasa kerajaan.” ***

————— *** ——————-

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru

spot_imgspot_imgspot_img