Surabaya, Bhirawa
Lampu hijau Komisi X DPR RI untuk memberikan kesempatan rencana Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti dalam menerapkan Ujian Nasional (UN) menuai prespektif berbeda di kalangan masyarakat.
UN sendiri selama pelaksanannya dianggap menjadi beban akademis siswa karena proses belajar yang hanya ditentukan tiga hari. Sebelumnya UN terakhir digelar pada 2021 lalu. UN menjadi alat ukur capaian akademis siswa di tingkat nasional, serta menjadi salah satu komponen penentu kelulusan siswa di Indonesia.
Rencana pemberlakuan UN kembali ini pun disorot Kepala Dindik Jatim, Aries Agung Paewai. Menurutnya pemerintah perlu untuk mengkaji ulang dan mematangkan konsep evaluasi belajar. Sehingga Aries meminta agar pemerintah pusat (Mendikdasmen) tidak gegabah dalam mengambil keputusan.
“Apapun itu kita hormati apa yang menjadi keputusan pemerintah pusat. Selama ini menjadi bagian terpenting dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Tapi jangan sampai kita merubah kurikulum dan sistematika pendidikan akhirnya berdampak terhadap lingkungan sekolah. Masa lima tahun selalu ada perubahan. Ini tidak baik bagi pendidikan kita,” katanya, Minggu (2/10).
Karenanya, salah satu solusi yang disodorkan pria kelahiran Makassar ini adalah dengan membuat peta pendidikan. Dimulai dari pendidikan 25 tahun yang lalu, atau 50 tahun lalu. Peta ini akan menjadi acuan pendidikan di rentang tahun ini, apakah ada yang berubah atau tidak. Jika ada perubahan, kata Aries, tidak akan signifikan. Karena sudah ada pemetaan pendidikan yang benar.
“Kalau maju mundur lagi kayaknya kurang expert terhadap pendidikan itu sendiri. Akhirnya yang berdampak bukan hanya pada kualitas pendidikan tapi juga berdampak pada siswa kita. Cukuplah yang ada ini (asesmen nasional) diperkuat lagi dan dijalankan dengan benar,” tutur Aries menekankan.
Untuk asesmen nasional penerapannya memang diikuti beberapa siswa secara acak untuk mengikuti ujian. Dari hasil ini, menurut Aries, pemerintah sebenarnya sudah bisa mengetahui bagaimana hasil pembelajaran di sekolah A atau B. Dan hasil ini bisa digunakan untuk pemetaan pendidikan.
“Asesmen nasional kalau dijalankan yang betul ini sudah cukup untuk pemetaan. Nah itu yang kita harapkan. Jangan sampai setelah asesmen nasional, tapi kita tidak bisa melihat hasil pemetaannya. Kalau Jawa Timur, Alhamdulillah (hasil asesmen nasionalnya) masih bagus dan masih menjadi Barometer pendidikan nasional,” tandasnya.
Sementara itu, menurut pandangan pengamat pendidikan Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Achmad Hidayatullah PhD, UN tidak lagi menjadi urgensi dalam peningkatan kualitas pendidikan maupun pemetaan pendidikan di Indonesia. Meski sebenarnya UN memiliki tujuan untuk melakukan evaluasi terhadap capaian belajar secara nasional. Namun dalam implementasinya UN dijadikan alat kelulusan.
“Saya pikir ini persoalan ketika UN yang berlangsung tiga hari menjadi alat ukur kelulusan belajar siswa. Mungkin pemangku kebijakan berpikir UN memotivasi siswa untuk belajar, faktanya justru terjadi sebaliknya, banyak siswa yang setres dan kecurangan terjadi dimana – mana,” tegasnya dihubungi Bhirawa, Senin (28/10).
Sehingga mengusulkan UN yang memiliki daya rusak terhadap karakter ini untuk diadakan kembali dianggap dosen UM Surabaya sebagai kemunduran berpikir. Menurut pria yang akrab disapa Dayat ini daya rusak dari UN ini sangat serius terhadap karakter dan kesehatan mental guru dan siswa.
“Evaluasi terhadap pembelajaran tidak perlu menggunakan ujian nasional, evalusi terhadap hasil belajar bisa dilakukan di tingkat regional bahkan oleh satuan pendidikan. Dengan segala persoalan UN yang menjadi kontroversi bertahun tahun itu, saya pikir mengadakan UN kembali itu merupakan jalan kemunduran. Jadi saya pikir UN itu tidak perlu diadakan lagi. Assesmen nasional yang ada saat ini justru perlu dukungan, penguatan, dan penyempurnaan,” paparnya. [ina.fen]