Oleh :
Amir Rifa’i
Sekretaris Majlis Tabligh PDM Kabupaten Malang
Tanggal 18 November 2025 menjadi moment ketika Muhammadiyah memasuki usia 113 tahun. Muhammadiyah bukan sekadar organisasi kemasyarakatan, melainkan sebuah gerakan besar yang secara konsisten membentuk wajah Islam Indonesia. Berdiri pada tahun 1912 di bawah gagasan pembaruan KH. Ahmad Dahlan, Muhammadiyah lahir sebagai jawaban terhadap stagnasi umat dan kebutuhan untuk mempertemukan agama dengan modernitas. Hari ini, setelah lebih dari seabad perjalanan, Muhammadiyah berdiri sebagai salah satu pilar civil society terbesar di Nusantara, memiliki ribuan sekolah, ratusan perguruan tinggi, rumah sakit, panti asuhan, lembaga kemanusiaan, jejaring internasional yang semakin kuat dan masih banyak lainya.
Namun, refleksi 113 tahun bukan hanya soal kebanggaan historis, melainkan juga momen untuk menilai ulang kapasitas Muhammadiyah dalam merespons perubahan zaman yang semakin hari kian berubah. Dalam lanskap sosial-politik yang berubah cepat, globalisasi yang tak terhindarkan, serta dinamika digital yang merombak cara beragama dan berinteraksi, Muhammadiyah menghadapi tantangan baru, bagaimana mempertahankan identitas “Islam berkemajuan” sambil memastikan relevansi dan dampaknya semakin signifikan bagi masyarakat dan masa depan Indonesia.
Opini ini mencoba menengok perjalanan panjang organisasi Muhammadiyah, serta mengapresiasi kiprah monumental yang telah ditorehkan untuk ummat, sekaligus menyampaikan kritik konstruktif demi memastikan organisasi terbesar ini tidak hanya besar secara institusi, tetapi juga kuat dalam pengaruh, misi peradaban dan beguna bagi bangsa.
Jejak Panjang Islam Berkemajuan Menjadi Nafas Gerakan
Sejak awal, Muhammadiyah menempatkan diri sebagai gerakan pembaruan “tajdid”, yang tidak hanya memurnikan akidah dari praktik-praktik yang tidak berdasar, tetapi juga menegaskan bahwa agama mesti hadir dalam wujud yang rasional, modern, dan membebaskan. Pilihan KH. Ahmad Dahlan mendirikan sekolah dengan kurikulum umum adalah manuver revolusioner pada masanya. Melalui pendidikan, Muhammadiyah mendorong umat Islam bangkit dari keterbelakangan dan stigma anti-modernitas.
Warisan inilah yang membawa Muhammadiyah menjadi salah satu pemilik lembaga pendidikan terbesar di Asia Tenggara. Dari TK hingga universitas, Muhammadiyah menanamkan tradisi intelektual dalam tubuh umat Islam. Pada fase ini, kehadiran Muhammadiyah bukan hanya mengubah pola pikir, tetapi juga membangun kelas menengah Muslim yang melek ilmu, maju, dan berkeadaban.
Namun keberhasilan ini juga menghadirkan kritik, di beberapa tempat, institusi Muhammadiyah berkembang begitu cepat sehingga identitas spiritual dan ideologisnya tidak selalu terinternalisasi dengan baik oleh seluruh peserta didik atau pengelolanya. Modernisasi institusi sering kali bergerak lebih cepat daripada penguatan ruh gerakan. Ini adalah alarm yang patut direnungi.
Kiprah untuk Bangsa
Kontribusi Muhammadiyah terhadap bangsa tidak diragukan lagi. Melalui jaringan amal usaha yang besar, Muhammadiyah telah menjadi salah satu aktor non-negara yang paling signifikan dalam memajukan kesejahteraan ummat. Beberapa capaian pentingnya antara lain pendidikan berkualitas yang menjangkau daerah terpencil, rumah sakit modern yang melayani jutaan masyarakat tiap tahun, gerakan sosial kemanusiaan melalui MDMC yang diakui dunia, dan tentunya masih banyak lainya.
Selain itu, salah satu kekuatan lain dari Muhammadiyah adalah konsistensinya dalam menjaga jarak dari politik praktis. Sejak awal, Muhammadiyah menempatkan dirinya sebagai kekuatan moral dan intelektual, bukan mesin politik. Maka sikap ini membawa dua hasil positif, yakni menjaga integritas organisasi dari tarik-menarik kepentingan dan mempertahankan kepercayaan publik dari berbagai spektrum politik.
Meskipun dalam konteks demokrasi modern, pendekatan yang terlalu “berjarak” terkadang membuat Muhammadiyah kurang optimal memengaruhi kebijakan publik secara langsung. Muhammadiyah memiliki stok intelektual yang sangat besar, seperti dosen, peneliti, tokoh public dan lainya, tetapi pengaruhnya terhadap kebijakan negara tidak selalu sebanding dengan kapasitas tersebut.
Pertanyaannya, masih relevankah politik nilai tanpa kehadiran strategis dalam ruang kebijakan?. Penulis beropini, di sinilah tantangan Muhammadiyah, dengan tetap menjaga netralitas politik, namun memiliki strategi advokasi kebijakan yang lebih efektif, terukur, dan sistematis. Indonesia memerlukan organisasi civil society yang kuat untuk mengawal demokrasi yang sedang mengalami regresi. Muhammadiyah, dengan sejarah panjang gerakan moral, memiliki modal besar untuk memainkan peran ini, asal berani memperkuat sayap advokasinya tanpa terjebak pada pragmatisme politik.
Tantangan Dakwah Digital
Era digital mengubah wajah dakwah. Otoritas keagamaan kini bergeser, ulama dan organisasi besar tidak lagi memonopoli ruang keagamaan. Di platform digital, muncul ustaz viral, pendakwah instan, atau konten agama yang dangkal, emosional, dan populis. Inilah tantangan paling serius bagi Muhammadiyah.
Sebagai organisasi yang mengedepankan rasionalitas dan literasi, Muhammadiyah harus berhadapan dengan budaya digital yang cepat, dangkal, dan sensasional. Narasi “Islam Berkemajuan” sering kali tenggelam di antara riuh konten keagamaan yang lebih emosional dan mudah diterima publik. Selama ini, Muhammadiyah masih tampak berhati-hati memasuki arena digital. Meski sudah berkembang, pendekatan dakwah digital Muhammadiyah belum seagresif kelompok lain. Ini menjadi refleksi penting, gerakan pembaruan tidak boleh kalah cepat dari arus disrupsi. Jika Muhammadiyah tidak memperkuat sayap digitalnya, gagasannya akan kalah oleh narasi populis yang mengandalkan sensasi ketimbang substansi.
Kaderisasi: Antara Kebanggaan Intelektual dan Kekhawatiran Regenerasi
Kekuatan terbesar Muhammadiyah diantaranya adalah pada human capital pendidikan, intelektualitas, dan tradisi rasional. Namun tradisi intelektual ini membutuhkan regenerasi yang kuat. Tantangan nyata hari ini adalah karena kader muda yang lebih tertarik pada karier profesional dibanding aktivisme, organisasi otonom yang bekerja tidak selalu berkesinambungan, minimnya ruang dialog ideologis yang intens dan infiltrasi budaya pragmatisme yang memengaruhi karakter aktivis muda.
Jika Muhammadiyah ingin bertahan sebagai gerakan pembaruan, kaderisasi ideologis harus diperkuat agar generasi baru tidak hanya unggul secara akademik atau profesional, tetapi juga memiliki kepekaan sosial dan komitmen perjuangan. Regenerasi bukan hanya mengisi struktur, tetapi melahirkan pemikir-pemikir baru yang berani menawarkan gagasan segar bagi bangsa.
Maka, perjalanan 113 tahun bukan titik akhir, melainkan awal dari babak baru. Indonesia sedang memasuki fase sejarah yang menentukan: polarisasi politik yang membahayakan persatuan, kesenjangan ekonomi yang kian melebar, kerusakan lingkungan, ancaman krisis moral, dan tantangan peradaban digital. Dalam konteks ini, Muhammadiyah telah, sedang, dan akan terus menjadi kekuatan strategis untuk merawat kewarasan publik.
Refleksi 113 tahun Muhammadiyah seharusnya membawa kita pada satu pemahaman, bahwa gerakan besar bukan hanya dilihat dari panjangnya usia atau banyaknya lembaga, tetapi dari kemampuan untuk terus menyesuaikan diri, memperbarui gagasan, dan menghadirkan makna bagi zaman. Muhammadiyah telah membuktikan diri sebagai salah satu tonggak utama bangsa ini. Tetapi perjalanan ke depan menuntut keberanian lebih besar untuk mentransformasi diri. Indonesia membutuhkan Muhammadiyah, bukan sekadar sebagai organisasi charity atau pendidikan, tetapi sebagai gerakan intelektual dan moral yang mampu memberikan arah bagi masa depan.
———— *** —————


