Oleh:
H. Yunus Supanto
Wartawan senior, pegiat dakwah social dan politik
Swasembada Pangan Lebih Penting (Dibanding Pajak)
“Bukan lautan hanya kolam susu // Kail dan jala cukup menghidupimu // Tiada badai, tiada topan kau temui // Ikan dan udang menghampiri dirimu // Orang bilang tanah kita tanah surga // Tongkat kayu dan batu jadi tanaman … .”
(Syair lagu “Kolam Susu,” yang digubah grup band, Koes Plus, tahun 1970
Lagu “Kolam Susu,” menjadi model pengungkapan nasionalisme, dengan memuji berkah kesuburan, dan alam samudera yang memberikan jaminan pangan. Bukan hanya Koes Plus (grup band asal Tuban, Jawa Timur), melainkan banyak pengelana dunia, menuliskan syair keindahan dan kekayaan alam Indonesia. Antara lain, Marco Polo, seorang penjelajah Italia, menulis keindahan dan kekayaan alam di berbagai wilayah Indonesia.
“Perang” sudah dimulai, melalui altar perdagangan, antara Amerika Serikat (AS) dengan China. Juga serentetan perang kawasan, antara Rusia dengan Ukraina. Serta genosida (yang didukung kekuatan luar) oleh Israel di Gaza, Palestina. Seluruh perang nyata-nyata menyebabkan kelangkaan bahan pangan makin sengit. Kelangkaan bukan disebabkan paceklik, gagal panen. Melainkan karena perebutan akses (distribusi), akibat intrik perang global. Banyak pelabuhan internasional menyusutkan operasional.
Impor bahan utama pupuk Indonesia, berasal dari kawasan Eurasia. Realita pupuk global (seluruh dunia) masih mengandalkan sokongan dari gabungan, Rusia, Belarusia, dan Ukraina. Terutama pupuk jenis kalium, lebih dari 40% disuplai dari Rusia, dan Belarusia. Kalium, merupakan salahsatu dari tiga nutrisi penting, selain unsur N (Natrium), dan unsur P (Fosfor). Petani Indonesia sangat akrab dengan pupuk senyawa NPK, yang digunakan untuk meningkatkan hasil panen. Berdasar data BPS, Indonesia memiliki “jatah” impor pupuk dari Rusia, sebanyak 743 ribu ton.
Terbaru, “perang tarif bea masuk” yang digagas Donald Trump. Distribusi bahan pangan, benih, dan bahan pupuk tersendat di berbagai pelabuhan internasional. Serta tidak aman dalam perjalanan ekspor – impor di samudera. Sehingga tekad swasembada pangan, yang dinyatakan Presiden Prabowo Subianto, harus diupayakan dengan spartan, dan dengan segala pembiayaan memadai. Seperti motto Jawa Timur, “Jer Basuki Mawa Beya.”
Tidak mudah (dan tidak murah). Persis senada dengan pepatah yang popular: no lunch free. Tetapi Masyarakat Jawa Timur telah lama mengalami swasembada pangan. Seperti keinginan Presiden Prabowo Subianto, selama beberapa dekade, Jawa Timur tidak impor beras, tidak impor gula, tidak impor garam. Juga tidak impor daging sapi. Semua sudah tercukupi hasil panen sendiri. Bahkan berlebihan hasil panen bahan pangan.
Jatim Jamin Swasembada
Jawa Dwipa (dari bahasa Sansekerta, berarti pulau padi), lebih sesuai menjadi julukan Jawa Timur. Sehingga usaha ke-pertani-an, terutama padi, bisa diupayakan lebih sistemik. Terutama melalui mekanisasi alat dan mesin pertanian modern. Presiden Prabowo, sudah berjanji, Indonesia akan swa-sembada pangan pada tahun 2028. Terutama tanaman bahan pangan. Seperti gandum, dan sorgum (garai) yang bisa tumbuh subur. Begitu pula bahan pangan dari jenis umbi-umbian, sudah lama dikenal. Termasuk porang, yang bisa “di-hilirisasi” menjadi beras.
Maka benar, swa-sembada pangan, bukan sekadar bahan orasi. Melainkan bisa dicapai. Beras analog, akan menjadi metode paling populer. Bahan beras analog bisa berasal dari tepung umbi-umbian (ubi jalar, singkong, talas). Juga bisa dari bekatul, kulit ari beras yang mengandung serat, vitamin, dan mineral. Nilai ke-ekonomi-an bahan pangan, bisa menjadi pilar utama perdagangan.
Misalnya, impor beras, pada tahun 2024 sebanyak 5 juta ton. Dengan harga beli (plus ongkos kirim, dan bongkar muat) sebesar Rp 10 ribu per-kilogram. Nilainya mencapai Rp 50 trilyun. Jika di-investasi-kan untuk petani rakyat Indonesia, niscaya lebih menguntungkan. Jawa Timur, memang layak menyandang julukan sebagai “Jawa Dwipa” yang sebenarnya. Berdasar rilis BPS (Badan Pusat Statistik), Jawa Timur memiliki areal ladang sawah seluas 1,62 juta hektar. Bisa menghasilkan 9,2 juta ton gabah kering giling (GKG).
Penyumbang terbesar hasil padi nasional tahun 2024, sebesar 17,44%. Sebenarnya hasil panen padi masih bisa digenjot sampai 11 juta ton. Penyumbang terbesar hasil padi tahun 2024, sebesar 17,44%. Dalam bentuk beras menjadi sebanyak 5,33 juta ton (perkiraan optimistis bisa lebih besar). Bahan pangan lain, jagung, Jawa Timur juga menjadi penghasil terbesar nasional, mencapai 4,6 juta ton (sebesar 30,4% nasional). Keragaman bahan pangan menjadi “kunci” keamanan swasembada pangan.
Bisa Jadi Rekor Dunia
Petani Jawa Timur, bukan cuma “jago” di sawah. Melainkan juga piawai di kendang ternak. Berdasar data Dinas Peternakan Jawa Timur, lebih dari dua dekade Jawa Timur menjadi penyokong sapi potong nasional, dengan jumlah ternak sebanyak 4,9 juta ekor. Sapi perah juga terbanyak nasional, dengan populasi sebanyak 301.700 ekor. Pada tahun 2024 dihasilkan sebanyak 108,5 ribu ton daging sapi. Pada tahun 2025 diperkirakan naik menjadi 109,5 ribu ton. Karena Jatim memiliki program “intan selaksa,” (inseminasi buatan sejuta kelahiran sapi).
Setiap tahun terdapat satu juta kelahiran sapi, bisa jadi sebagai rekor dunia. Pada tahun 2024, Jawa Timur mencatat terjadi sebanyak 1,2 juta kelahiran sapi. Artinya, lebih separuh (52%) kelahiran sapi berada di Indonesia. Nilai ke-ekonomi-an peternakan sapi yang dimiliki masyarakat mencapai Rp 9 trilyun. Ternak (sapi, kerbau, kambing, dan domba) menjadi aset paling berharga di perdesaan. Menjadi cadangan harta untuk berbagai keperluan rumah tangga. Berhajat (me-nikahkan anak) sampai keperluan kuliah, diperoleh dari hasil penjualan ternak.
Mengurus ladang sebagai harta utama, telah menjadi nafkah utama petani Jawa Timur. Sehingga ladang bukan hanya bisa menghasilkan padi, jagung, dan kedelai. Melainkan juga tanaman yang tak kalah berharga. Yakni, tebu. Berdasar data Kementerian Pertanian 2024, kebun tebu Jawa Timur menyokong 51,87% dari total produksi gula nasional. Tebu yang ditebang sebanyak 16,15 juta ton dan menghasilkan gula sebanyak 1,22 juta ton.
Jika rendemen bisa dinaikkan sampai 9%, maka hasil gula bisa mencapai 1,5 juta ton. Masih ditambah gula dari berbagai bahan lain (gula merah, gula aren, dan gula kelapa) masih tetap diproduksi dalam skala rumah tangga. Jika seluruh daerah mengembangkan gula tradisional, maka tidak perlu impor gula lagi, seperti tekad Presiuden Prabowo Subianto.
Tetapi kedaulatan pangan, bukan hanya diusahakan oleh kelompok Masyarakat tani. Melainkan juga kinerja nelayan yang melaut hingga jauh. Juga kelompok pembudidaya ikan. Berdasarkan data statistik Balai Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPMHP), Jatim menyumbang ekspor komoditas perikanan tertinggi nasional. Nilai ekspor mencapai US$ 2,602 milyar.
Kinerja nelayan menghasilkan ikan tangkap sebanyak 610 ribu ton, Jawa Timur menempati posisi teratas dalam produksi perikanan budidaya di seantero pulau Jawa. Dalam angka cukup fantastis mencapai 1,313 juta ton. Terutama disumbang dari komoditas udang sebanyak 84,6 juta kilogram, dan ikan tuna sebanyak 54,196 juta kilogram. Sedangkan untuk konsumsi local terdapat ikan cakalang, tuna, tongkol, dan kembung, dalam jumlah berlebih (sisanya di-ekspor pula).
Hasil kinerja sektor pangan yang dikelola oleh rakyat (dan di-fasilitasi Pemerintah Daerah) bernilai puluhan trilyun rupiah. Jauh lebih bernilai dibanding pengampunan pajak kendaraan bermotor. Karena setiap pengampunan pajak, ujungnya, selalu aliran lebih besar uang rakyat untuk negara. Sedangkan fasilitasi sektor pangan, menandakan aliran anggaran lebih besar untuk “memberi kail” kepada rakyat. Menjadi stimulan, dengan hasil ke-ekonomi-an yang jauh lebih besar.
Maka benar, swa-sembada pangan, bukan sekadar bahan orasi. Melainkan harus dicapai dengan usaha keras (dan Ikhlas) lebih dari orasi politik pencitraan. Fasilitasi Pemerintah daerah (propinsi serta kabupaten dan kota) yang lebih besar bisa meningkatkan ekonomi berbasis kerakyatan.
——— *** ———


