32 C
Sidoarjo
Tuesday, March 25, 2025
spot_img

Prasangka dan Sinisme Politik

Oleh:
Frida Kusumastuti
Dosen Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Malang

Era digital ini sebuah narasi cepat sekali menyebar luas dan serentak, mudah membakar emosi karena bertubi-tubi diunggah dengan cara yang menyentuh afeksi, bukan dengan kognisi. Dunia marketing sangat cerdik memanfaatkan hal tersebut, namun efeknya tidak sedahsyat ketika dunia politik yang memanfaatkannya dengan cerdik.

Demonstrasi berjilid menolak RUU TNI hingga pengesahan RUU menjadi UU merupakan salah satu yang patut kita bahas. Prasangka dan sinisme Politik menjadi bahan bakar demonstrasi itu – entah disebarkan oleh pihak mana melalui berbagai channel komunikasi. Dari sosial media dan media massa akhirnya menjadi agenda pembicaraan masyarakat di warung-warung, komunitas-komunitas sipil dan mahasiswa yang heroik. Ditambah dengan rendahnya kompetensi komunikasi publik para pejabat publik melalui kata-kata yang penuh ignoritas. Menimbulkan semakin kuat prasangka negatif dan sinisme politik negeri ini. Membakar emosi hingga habis energi.

Disinformasi Narasi UU TNI 2025.
Mari kita baca pelan-pelan perubahan UU TNI 2004 menjadi UU TNI 2025. Pasal perubahan setidaknya ada empat.

Pertama, Pasal 3 tentang kedudukan TNI dibawah presiden untuk penggunaan dan pengerahan kekuatannya, sementara untuk strategi pertahanan dan administrasi dibawah koordinasi Menteri Pertahanan (Menhakam).

Kedua, Pasal 7 tentang Tugas TNI Operasi Militer selain Perang dan OMSP ditambah dengan tugas membantu dalam menanggulangi ancaman siber, dan membantu dalam melindungi dan menyelamatkan warga negara, serta kepentingan nasional di luar negeri.

Berita Terkait :  Wakil Ketua DPD RI GKR Hemas: Urgensi Otonomi Daerah Dalam Perspektif Asta Cita

Ketiga, Pasal 47 tentang jabatan sipil yang bisa diisi oleh anggota TNI aktif atas permintaan kementrian/Lembaga dengan tetap tunduk pada aturan yang berlaku. Tambahannya ada pada 4 jabatan yang sebenarnya tetap dalam koridor pertahanan dan keamanan.

Keempat, Pasal 53 tentang perpanjangan usia pensiun anggota TNI sesuai dengan cluster jabatan dan pangkat.

Lebih detil bisa dibuka rinciannya dalam salinan UU TNI. Artikel ini menyoroti narasi hoaks yang berkembang. Narasi paling menyolok adalah Kembalinya Dwi Fungsi ABRI seperti di era Orde Baru.

Pada masa Orde Baru, anggota TNI aktif memang bisa menduduki kursi legislatif yang merupakan “hak veto” presiden sebagai panglima tertinggi ABRI. Presiden Jenderal Soeharto di masa Orde Baru memberi kursi Fraksi ABRI disamping fraksi-fraksi Partai-Politik. Bajkan presiden sebagai panglima tertinggi ABRI menentukan anggota Fraksi ABRI itu berjumlah 100 orang atas penunjukan panglima tentunya! Jumlah itu merupakan 25% dari 400 seluruh anggota DPR. Jadi anggota DPR yang dipilih melalui pemilu hanya 300 orang anggota partai politik. Kekuasaan menjadi sangat dominan di tangan presiden sekaligus panglima tertinggi ABRI karena presiden merupakan ketua umum parpol pemenang yang mendapat kursi melebihi 50% di Gedung Dewan.

Jika menilik UU TNI yang baru tahun 2025 ini sebenarnya tidak ada indikasi kembalinya Dwi Fungsi ABRI/TNI seperti gambaran di era Orde baru. Maka narasi Dwi Fungsi ABRI/TNI yang menjadi fokus narasi penolakan UU TNI 2025 terkesan sebagai misinformasi dan sengaja dimanfaatkan sebagai disinformasi.

Berita Terkait :  Mengendalikan Syahwat Berkuasa

Namun sinisme politik memang dimulai dari pengangkatan anggota TNI aktif sebagai sekretaris kabinet, dan sebagai pejabat di BUMN sebelum ramainya bahasan RUU TNI.

Sinisme politik juga muncul karena keputusan Panja-DPR RI Komisi 1 melakukan bahasan RUU di hotel mewah disaat gaung efisiensi dari pemerintahan Prabowo sedang berlangsung. Sinisme politik semakin membakar emosi massa karena ditambah dengan tiga faktalainnya; inflasi, gelombang ribuan tenaga kerja yang kena PHK, dan penundaan pengangkatan ratusan ribu CASN dan PPPK yang lolos seleksi.

Pembahasan di tempat elit seperti hotel dengan penjagaan tenaga militer, menimbulkan prasangka negatif tentang transparansi dalam pembahasan RUU oleh legislatif. Menimbulkan misinformasi atas fakta bahwa bahasan RUU TNI ini memang sudah sejak 2019 telah digagas atau diajukan oleh legislatif. Ada informasi yang (sengaja) dihilangkan dalam narasi, seolah-olah ada regulation capture dengan pembahasan yang terkesan rahasia dan tergesa-gesa. Pernyataan Ketua Komisi 1 Utut Adianto yang menjelaskan proses legislasi yang telah terpenuhi sesuai prosedur, tenggelam dalam narasi kecurigaan.

Komunikasi Publik Para Pejabat
Seperti mengulang kasus-kasus sebelumnya, komunikasi publik dan komunikasi politik para pejabat di pemerintahan kita seringkali melukai perasaan kebanyakan orang. Bukannya ingin mendapatkan bahasa halus atau eufimisme, namun pernyataan dan sikap pejabat selalu dirasakan tidak menyentuh sense of belonging bersama apa yang dirasakan oleh rakyat. Alih-alih menunjukkan empati, pernyataan dan sikap para pejabat publik cenderung nampak ignore, masa bodoh, dan emosional atau kalau boleh dibilang arogan.

Berita Terkait :  Jaring Aspirasi, Pemkab Bojonegoro Gelar Forum Konsultasi Publik

Pemerintahan Prabowo harus menaruh perhatian pada upaya peningkatan kompetensi komunikasi publik para pejabatnya. Bukan dengan semata menghaluskan Bahasa karena komunikasi bukan hanya soal Bahasa yang verbal. Melainkan juga non verbal. Sejarah budaya komunikasi Indonesia yang berada dalam hight contex communication tidak bisa diabaikan. Kehati-hatian dalam berkomunikasi tidak bisa tidak harus menjadi prinsip dalam komunikasi publik para pejabat. Secara budaya, komunikasi di Indonesia dipengaruhi oleh budaya timur yang diffuse atau hubungan yang membaur. Maka perasaan para pejabat harusnya benar-benar bisa merasakan kegelisahan rakyat. Komunikasi yang sedemikian akan membuat masyarakat menyimak, bukan sekedar mendengar.

———— *** ————-

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru