Surabaya, Bhirawa
Mahasiswa dari Program Studi Ilmu Komunikasi di Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya menyelenggarakan lokakarya debat sebagai bagian dari praktikum untuk mata kuliah Digital Public Relations. Acara ini mengangkat tema “Makan Bergizi Gratis, Solusi Gizi atau Masalah Baru?” sebagai respons terhadap kebijakan nasional yang sedang dilaksanakan.
Lokakarya debat ini bertujuan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan keterampilan komunikasi publik di kalangan mahasiswa. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dipilih karena berkaitan dengan isu gizi dan pendidikan di tingkat nasional. Forum ini berfungsi sebagai wadah diskusi akademis mengenai kebijakan publik yang strategis.
Narasumber dari tim pro menjelaskan bahwa MBG adalah kebijakan negara yang dimulai pada Januari 2025 untuk mengurangi stunting dan malnutrisi. Data SSGI 2022 mencatat bahwa angka stunting di Indonesia masih berada di angka 21,6 persen. Selain itu, Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa tingkat anemia di kalangan remaja putri mencapai 32 persen akibat kurangnya asupan nutrisi.
“MBG merupakan investasi strategis pemerintah dalam pengembangan sumber daya manusia,” kata narasumber ahli tersebut. Program ini ditujukan untuk anak-anak di sekolah, balita, wanita hamil, serta ibu yang menyusui. Lebih jauh, MBG dikatakan telah mencapai lebih dari 1,3 juta ibu dan anak hingga bulan September 2025. Program ini dianggap memberikan kontribusi pada kesehatan, pendidikan, dan perekonomian setempat. Nutrisi yang memadai dipercaya dapat memperbaiki fokus belajar para siswa.
“Ketersediaan gizi merupakan dasar penting untuk mencapai Indonesia Emas 2045,” ujar narasumber pro. Dengan demikian, MBG dianggap sebagai inisiatif strategis jangka panjang.
Sebaliknya, narasumber kontra mengangkat sejumlah masalah pelaksanaan MBG di lapangan. Di bulan Desember 2025, terjadi insiden keracunan yang melibatkan banyak orang di Rembang dan Madiun, yang meliputi ratusan pelajar. Di samping itu, juga terdapat kecelakaan dalam pengiriman katering yang berlangsung di Jakarta. “Ribuan siswa terkena dampak dari kebijakan yang belum sepenuhnya siap,” ujarnya. Ia berpendapat bahwa kini sekolah berpotensi beralih fungsi menjadi pusat penyebaran logistik. Isu tentang efisiensi anggaran juga sedang menjadi perhatian dalam diskusi tersebut. Narasumber kontra mempertanyakan biaya sebesar Rp15 ribu untuk setiap porsi yang dianggap tidak sebanding dengan mutu makanan yang disajikan.
“Sebenarnya, biaya yang benar-benar dialokasikan untuk makanan hanya sekitar Rp5 ribu, sementara sisanya digunakan untuk logistik dan birokrasi,” ungkapnya. Selain itu, para guru juga disebutkan kehilangan waktu pengajaran karena harus mengurus distribusi dan limbah. Pertanyaan “Apakah guru atau pelayan restoran?” menjadi pernyataan yang memicu perdebatan. Pernyataan itu mendapatkan bantahan dari audiens dari tim pro dimana ia berpendapat bahwa distribusi MBG biasanya dilakukan saat istirahat, sehingga tidak mengganggu proses belajar mengajar.
“Pernyataan tersebut tidak akurat dan cenderung meremehkan profesi pengajar,” ujar Andrian audiens dari tim pro. Ia menekankan bahwa isu teknis seputar MBG dapat dinilai ulang tanpa harus menghilangkan keuntungan dari program tersebut. Tak berhenti disitu beberapa solusi jua ia tawarkan dengan menekankan perbaikan, bukan penolakan. Sementara itu, audiens dari tim kontra menekankan tentang keberlanjutan dari anggaran MBG. Dia menyatakan bahwa program ini belum sepenuhnya mencakup semua aspek dan baru mampu menjangkau sekitar 95 persen siswa dari tingkat SD hingga SMA. “Anggaran tahun ini saja mencapai Rp71 triliun,” ujar Saling audien dari tim kontra. Ia juga mempertanyakan konsekuensi jangka panjang bagi keuangan negara. Dia berpendapat bahwa pemerintah harus bersikap transparan dan pragmatis dalam perencanaan.
Workshop debat ini menjadi wadah pembelajaran kritis bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi Untag Surabaya. Para mahasiswa diberikan pelatihan untuk mengemukakan argumen yang didukung oleh data serta perspektif yang seimbang. Aktivitas ini juga merefleksikan penerapan Digital PR terkait masalah kebijakan publik. Diskusi yang berlangsung sangat hidup dan produktif dengan keterlibatan aktif dari audiens. Untag Surabaya menginginkan kegiatan ini untuk melahirkan lulusan yang peka, kritis, dan mampu berkomunikasi dengan baik tentang isu-isu sosial. Jika ditarik kesimpulan program Makan Bergizi Gratis kebijakan dari negara untuk menjawab permasalahan gizi.
Program ini dipandang sebagai bentuk kehadiran negara dalam menjamin masyarakat dalak kesejahteraan. Namun disisi lain implementasi program Makan Bergisi Gratis masih menyisahkan sejumlah persoalan. Kekawatiran ini menunjukan bawha kebijakan yang baik secara konsep belum tentu berjalan efektif tanpa perencanan dan pengelolaan ynag matang. [why]


