28 C
Sidoarjo
Wednesday, December 17, 2025
spot_img

Polemik Pemakzulan Gibran: Ujian Etika Politik di Era Demokrasi Elektoral

Oleh:
Mukari
Pengamat Politik dan Akademisi Fisipol Undar Jombang

Wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali menyeruak di tengah polemik etik seputar pencalonannya dalam Pilpres 2024. Sorotan publik mengarah pada dugaan konflik kepentingan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah syarat usia capres-cawapres, di mana Gibran menjadi pihak yang diuntungkan. Meski ia kini telah resmi menjabat, pertanyaan besar tetap menggantung: apakah proses tersebut sah secara etika dan layak secara politik?

Antara Hukum dan Etika
Secara hukum, pemakzulan wakil presiden diatur dalam Pasal 7A UUD 1945. Seorang wapres hanya bisa diberhentikan jika terbukti melakukan pelanggaran berat seperti pengkhianatan, korupsi, penyuapan, atau perbuatan tercela. Mekanismenya pun melibatkan DPR, Mahkamah Konstitusi, dan MPR. Dengan kata lain, pemakzulan bukan sekadar keputusan politik, melainkan proses hukum dan kelembagaan yang kompleks.

Dalam kasus Gibran, hingga kini tidak ada pelanggaran pidana atau pelanggaran jabatan yang dapat dibuktikan secara hukum sejak ia menjabat sebagai wapres. Maka, tuntutan pemakzulan tampaknya belum memiliki dasar konstitusional yang kuat. Namun, demokrasi bukan hanya soal legalitas prosedural. Seperti dikemukakan Jürgen Habermas dalam konsep demokrasi deliberatif, legitimasi kekuasaan harus lahir dari proses yang rasional, terbuka, dan etis. Ketika publik merasakan adanya penyalahgunaan institusi negara demi kepentingan elektoral-seperti putusan MK yang diputuskan oleh paman Gibran sendiri, Anwar Usman-maka legitimasi politik pun dipertanyakan, terlepas dari absennya pelanggaran hukum formal.

Berita Terkait :  Pemkot Batu Gandeng IWAPI Jatim sebagai Kekuatan Strategis Ketahanan Pangan

Dampak Politik dan Sosial
Wacana pemakzulan memang masih jauh dari realisasi. Namun, dampaknya terhadap demokrasi cukup signifikan. Pertama, ia menciptakan ketidakstabilan politik yang bisa mengganggu konsolidasi pemerintahan baru. Kedua, ia memperdalam ketidakpercayaan publik terhadap lembaga-lembaga konstitusi seperti MK dan KPU, yang dituding telah kehilangan independensi.

Di sisi lain, polemik ini juga menunjukkan bahwa publik semakin kritis terhadap proses politik, bukan hanya terhadap tokoh. Ini adalah indikasi positif bahwa kesadaran politik warga kian matang, meski belum selalu tersalur dalam bentuk yang konstruktif.

Namun kita perlu waspada terhadap efek lanjutan berupa polarisasi sosial dan delegitimasi terhadap demokrasi itu sendiri. Jika elit terus mempertahankan status quo tanpa melakukan refleksi, maka publik bisa kehilangan kepercayaan pada keseluruhan sistem politik.

Sikap Pemerintah dan Masyarakat
Dalam situasi ini, Presiden dan pemerintah harus mengambil langkah proaktif. Pertama, dengan mendorong reformasi institusional untuk memperkuat etika politik dan netralitas lembaga hukum. Kedua, dengan membangun komunikasi publik yang jujur dan terbuka, untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat.

Wakil Presiden Gibran juga perlu merespons isu ini dengan bijak. Ia memiliki tanggung jawab moral untuk membuktikan bahwa dirinya mampu menjalankan tugas dengan integritas, terlepas dari kontroversi masa lalu. Jika tidak, bayang-bayang politik dinasti akan terus membebani kepemimpinannya.

Bagi masyarakat, penting untuk terus bersikap kritis, namun tetap dalam koridor hukum dan demokrasi. Tuntutan moral tetap sah, tetapi harus disalurkan melalui mekanisme yang konstitusional, bukan dengan agitasi atau provokasi. Masyarakat sipil, media, dan akademisi punya peran strategis dalam mengawal jalannya demokrasi agar tidak terjebak pada oligarki kekuasaan.

Berita Terkait :  Peringati HUT Ke-79 TNI, Kodim 0815/Mojokerto  Karya Bakti Sasar Pasar Tengah Kota

Pemakzulan bukan perkara remeh, melainkan ujian besar bagi konsistensi demokrasi konstitusional kita. Wacana ini, meski belum memiliki landasan hukum kuat, menyuarakan kegelisahan moral publik terhadap etika politik yang terciderai. Jika elite negara tidak segera memperbaiki kualitas demokrasi kita,baik dari aspek prosedur maupun substansi, maka yang dipertaruhkan bukan hanya satu jabatan, tetapi masa depan kepercayaan rakyat terhadap demokrasi itu sendiri.

———— *** —————–

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru