Oleh :
Prof Dr H. Baharuddin
Mantan Direktur Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Di tengah hujan turun dan macetnya lalu lintas, seorang pengendara motor tak jauh di depan yg kebetulan menggunakan mobil pribadi HRV warna kuning coklat dan kehijauan mendadak berhenti. Ia sempat hampir jatuh karena kehilangan keseimbangan. Ia pun menoleh ke samping kirinya untuk mencari sesuatu. Kemudian, ia membuka kaca helmnya dan mulai memarahi pengendara lain di sisi kirinya. Riuh suara kendaraan berbaur dengan suara omelan pengendara tersebut. Cukup keras terdengar karena ia setengah berteriak.
Pengendara sepeda motor yang marah tampak protes karena ia merasa kendaraannya disenggol keras dan pengendara lain yang menyenggolnya seolah tidak peduli dan menganggap hal itu sebagai hal yang biasa. Ia menuntut permintaan maaf yang tidak didapatnya dari pengendara yang menabraknya. Mereka berdua pun menepi untuk menindaklanjuti permasalahan mereka.
Sungguh maaf yang Mahal. Sikap orang yang enggan meminta maaf di jalan merupakan perilaku yang dapat mencerminkan berbagai aspek psikologis, sosial, dan budaya.
Beberapa orang mungkin mengalami kesulitan untuk mengakui kesalahan mereka karena adanya rasa malu, ego yang tinggi, atau ketakutan akan penilaian negatif dari orang lain. Mereka merasa kesulitan untuk menerima kesalahan yang dilakukannya. Ini bisa menjadi tanda kurangnya keterampilan sosial atau kepercayaan diri.
Beberapa individu kemungkinan melihat permintaan maaf sebagai tanda kelemahan atau penurunan status. Persepsi terhadap potensi diri yang sangat kuat. Mereka mungkin percaya bahwa meminta maaf akan melemahkan posisi mereka di mata orang lain atau menurunkan otoritas mereka.
Pada beberapa budaya masyarakat, menyelamatkan muka diangggap sangat penting. Oleh karena itu, mereka merasa perlu menjaga citra dirinya agar tetap baik di depan orang lain. Mereka menganggap, meminta maaf di depan umum dapat membuat mereka kehilangan wajah, sehingga mereka berusaha keras untuk menghindarinya.
Yahh, begitukah sikap kita sebagai manusia kebanyakan ya? Oleh karena manusia, jika ditilik dari asal kejadiannya berasal dari keturunan Adam (sebagai Abul Basyar/bapaknya fisik) yang berasal dari 4 anasir, yakni : hawa, nafsu, dunia, dan setan (HNDS). Dari unsur ini terbaca Ia-nya berasal dari unsur, angin, air, tanah, dan api. Arti dan jelasnya, dia tidak mau kelintasan, tidak mau kerendahan, dan tidak mau kalah. Sifat ini sungguh ada pada setiap Insan-manusia.
Orang yang enggan meminta maaf mungkin tidak sepenuhnya memahami dampak negatif dari tindakan atau kata-kata mereka terhadap orang lain. Mereka mungkin kurang peka terhadap perasaan orang lain dan cenderung berfokus pada kepentingan dan kebutuhan mereka sendiri saja (QS. At-Thoriq, 5-7)
Melihat dari keempat unsur tersebut, kejadian manusia belum sempurna. Untuk itulah pada saat di kandungan berumur empat bulan sepuluh hari disempurnakanlah kejadian manusia itu dengan oleh Allah SWT ditiupkan ruh sebutan lainnya iman atau kitab di dalam dada setiap manusia. Sifat ruh atau iman itu, adalah: Shiddiq, Amanah, Tabligh, dan Fathonah (QS. As-Sajdah, 9), karena Ia-nya (si ruh) adalah turunan dari Nur Muhammad (sebagai Abur Ruh/Bapaknya Ruh).
Terkait dengan Syariat Puasa Ramadlan, maka sesungguhnya yang diperintah puasa adalah si iman di dalam dada (mukmin yang Shiddiq, Amanah, Thabligh, Fathonah) untuk mempuasakan 4 sifat manusia (HNDS) di atas yang sifatnya kafir. Argumen ini bisa dilihat dalam QS. At-Taghobun, ayat 2 : bahwa pada diri manusia ada unsur mukmin dan kafir.
Ketika daya cipta, rasa, dan karsa kita berada pada jalan lurus yang diridloi Tuhan mukminlah kita. Sebaliknya, ketika kita melenceng dan engkar, maka kafirlah kita. Dengannya, sesungguhnya mukmin dan kafir itu ada dalam diri masing-masing, bukan individu di luar diri kita.
Berdasarkan kejadian di atas, pelajaran yang bisa diambil, jika seseorang telah terbiasa untuk tidak meminta maaf dan tidak menghadapi konsekuensinya, pola perilaku akan terbentuk. Perilaku tersebut bisa menjadi kebiasaan yang sulit untuk diubah. Mereka akan menganggapnya sebagai strategi yang efektif untuk menghindari konflik atau tanggung jawab.
Di sinilah pentingnya, Pendidikan Emosional. Mendidik individu tentang pentingnya mengakui kesalahan, meminta maaf, dan memperbaiki kesalahan adalah kunci untuk membangun masyarakat yang lebih empati dan beradab. Pendidikan emosional sejak dini dapat membantu mengubah sikap dan perilaku yang tidak sehat.
Dalam konteks sosial, sikap orang yang enggan untuk meminta maaf di jalan menggambarkan betapa kompleks dan rumitnya interaksi sosial seseorang. Pola perilaku dan norma budaya diyakini akan mempengaruhi cara individu berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya.
Untuk itulah penting bagi individu untuk belajar mengakui kesalahan mereka, meminta maaf, dan bertanggung jawab atas tindakan mereka agar hubungan sosial dengan orang lain (di luar diri) tidak terganggu. Setidaknya, tidak menghasilkan masalah dan pertengkaran yang tak perlu terjadi. Tentu saja, persoalan yang muncul tak jarang justru merugikan berbagai pihak, yaitu kedua pihak yang bermasalah dan orang-orang di sekitarnya.
????Perubahan sikap ini tentu saja memerlukan kesadaran individu tentang pentingnya empati, keterbukaan, dan kerjasama (silaturrahim) dalam membangun hubungan sosial secara horizontal yang sehat dan harmonis. Karena itu dapat diperjelas, bahwa meminta maaf lebih mudah daripada memberi maaf. Sedangkan hubungan vertikal, agar masing-masing bisa terjaga akhlaq-nya hanyalah lewat shalat dan shalawat senantiasa menjalin hubungan dengan Allah dan Rasul-Nya (QS. 23/1-5, dan QS. 29/45).
Pada awalnya kita akan sulit memberi maaf. Namun, seiring dengan perjalanan waktu dan doa-doa yang selalu kita panjatkan, Insya Allah keinginan untuk memaafkan akan muncul. Nah, perasaan akan lega saat keputusan untuk memaafkan itu datang.
Di dada atau dalam Kalbu akan terasa ada bisikan sejuk dan perasaan menjadi lebih tenang. Beban pikiran akan berkurang. Senyum pun akan terkembang saat berjumpa dengan mereka yang pernah “menyakiti” atau “membuat sengsara” diri kita.
Apakah Anda sudah siap untuk memberikan maaf kepada orang yang dianggap menyakiti hati Anda? Bukankah memberi lebih baik daripada tidak memberi, walaupun pemberian itu berupa kata MAAF, bukan berupa uang-dolar, emas-permata atau barang berharga lainnya?
Mumpung bulan Syawal belum tiba dan kita sedang menyempurnakan puasa Ramadan kita di hari-hari akhir ini. Bersegeralah memberikan maaf kepada orang atau sekelompok orang yang pernah pernah membuat sakit hati atau amarah yang besar. Kita tidak perlu menemui atau bertemu dengan orang yang akan kita beri maaf. Kita dapat mengucapkan dalam hati bahwa kita sudah memaafkan mereka atau kita sebut namanya dalam doa yang kita panjatkan.
Setelah itu, sapa atau tegur mereka melalui pesan WA atau menelepon secara langsung. Tanyakan apa kabar mereka saat ini? Sampaikan ucapan dengan kalimat yang lemah lembut. Insya Allah, hubungan pertemanan, persahabatan, persaudaraan, kekerabatan, atau apa pun namanya akan terjalin dengan lebih baik.
Hati atau perasaan akan menjadi lega, lebih lebih jika Anda yang merasa menyenggol atau tersakiti utk mulai mendatangi yg disenggol mungkin karena ada rasa malu jika anda akan memulainya oleh karena itu sungguh mulia orang yg suka meminta maaf lebih dahulu dari pada menunggu didatangi untuk menerima maaf. Demikianlah yang dapat penulis sampaikan.
Semoga bermanfaat untuk kita semua. Kepada semuanya yang tidak bisa disebutkan, disampaikan mohon maaf zhahir dan bathin serta kehadapan Allah dan Rasul-Nya, kita mohon ampun dan tobat, juga dengan senantiasa mengharapkan bimbingan, dan petunjuk-Nya.
————— *** ——————–