Oleh :
Sylvi Rachma Aulia
Mahasiswa Program Studi (Prodi) Administrasi Publik Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Dalam konteks global yang semakin kompleks dan penuh tantangan, Sustainable Development Goals (SDGs) telah menjadi panduan penting bagi negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. SDGs mencakup 17 tujuan yang saling terkait, meliputi pertumbuhan ekonomi, pengurangan kemiskinan, kesetaraan gender, pendidikan berkualitas, hingga perlindungan lingkungan. Meski Indonesia telah mencatat sejumlah kemajuan, kesenjangan pembiayaan yang signifikan masih menjadi hambatan utama dalam mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Menurut Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), diperlukan dana sekitar USD 2,5 triliun per tahun untuk mencapai SDGs secara global, yang meningkat menjadi USD 4,2 triliun pasca-pandemi. Di Indonesia, kebutuhan pembiayaan SDGs sebelum pandemi diperkirakan mencapai Rp 67.000 triliun hingga tahun 2030. Namun, angka ini melonjak hingga Rp 122.000 triliun setelah pandemi, menciptakan gap pembiayaan sebesar Rp 24.000 triliun. Kondisi tersebut menuntut tindakan nyata dan terkoordinasi, bukan sekadar perencanaan.
Langkah-langkah yang telah diambil pemerintah, seperti penerbitan Obligasi SDGs dan pengembangan skema blended finance, patut diapresiasi. Blended finance, yang menggabungkan dana publik dan swasta, terbukti menjadi solusi efektif untuk menarik investasi pada proyek-proyek berbasis SDGs. Salah satu inovasi penting adalah penerbitan SDG Bonds oleh pemerintah Indonesia, yang dirancang untuk menarik investor melalui jaminan bahwa dana tersebut akan dialokasikan pada proyek-proyek pembangunan berkelanjutan.
Namun, tantangan besar masih membayangi. Pemerintah perlu memastikan bahwa insentif yang diberikan cukup menarik untuk mendorong sektor swasta berinvestasi, terutama dalam proyek yang berisiko tinggi. Menurut seorang ahli keuangan, koordinasi strategis antara pemerintah, otoritas moneter, dan sektor bisnis adalah kunci untuk memperkuat pembiayaan SDGs. Selain itu, transparansi dalam pengelolaan dana dan pelaporan hasil proyek sangat penting untuk membangun kepercayaan di kalangan investor.
Kolaborasi antara sektor publik dan swasta menjadi elemen utama dalam mencapai tujuan SDGs. Namun, keraguan sektor swasta terhadap risiko investasi masih menjadi penghambat. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah harus bergerak cepat mengembangkan kebijakan yang inovatif sekaligus inklusif, termasuk pada pemberian insentif pajak, dukungan teknis, dan jaminan investasi. Langkah-langkah tersebut disinyalir dapat menciptakan ekosistem pembiayaan yang mendukung keberlanjutan dan memastikan tidak ada pihak yang tertinggal dalam upaya pembangunan berkelanjutan.
Dengan total aset global yang dikelola oleh perbankan, investor institusional, dan manajer aset mencapai USD 379 triliun, potensi keuangan global sebenarnya lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan SDGs. Alokasi hanya 1,1% dari aset tersebut sudah dapat mencukupi kebutuhan tahunan sebesar USD 4,2 triliun. Oleh karena itu, paradigma keuangan perlu bergeser dari sekadar mengejar keuntungan menuju pendekatan yang mengintegrasikan dampak sosial dan lingkungan. Dengan demikian, kita tidak hanya memenuhi kebutuhan pembangunan saat ini, tetapi juga menjamin keberlanjutan bagi generasi mendatang.
–————– *** —————–