27 C
Sidoarjo
Wednesday, December 17, 2025
spot_img

Perempuan di Media Indonesia: Mengapa Suara Mereka Masih Sulit Didengar?

Oleh :
Kornelius Erwin Banggo
Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Di tengah derasnya informasi dan hiburan digital, perempuan sering cuma diperlihatkan daripada benar-benar memiliki suara dalam media. Dari sinetron televisi sampai iklan di media sosial, perempuan biasanya digambarkan emosional, lemah, atau cuma sebagai pelengkap tokoh laki-laki. Gambaran seperti ini nggak cuma nunjukin ketidakadilan gender di masyarakat, tapi juga terus memperkuat budaya patriarki yang sudah lama ada. Singkatnya, perempuan masih sering dilihat saja, jarang benar-benar jadi tokoh utama yang bisa menentukan jalan cerita di media.

Bagaimana Media Patriarki Masih Membatasi Perempuan
Di media Indonesia, budaya patriarki sering muncul dengan cara yang halus tapi tetap terasa pengaruhnya. Contohnya, di banyak sinetron, perempuan yang sukses sering digambarkan kesepian dan baru “bahagia” setelah menikah, seolah kebahagiaan perempuan hanya bisa didapat lewat pasangan laki-laki. Sementara itu, tokoh laki-laki biasanya tampil sebagai penyelamat, pemimpin, dan pihak yang menentukan arah cerita. Kondisi ini menunjukkan bahwa media masih mempertahankan stereotip lama yang membatasi peran perempuan. Bahkan di iklan, baik produk kecantikan maupun kebutuhan rumah tangga pesan yang disampaikan sering menekankan bahwa nilai perempuan hanya terletak pada penampilan dan peran domestik mereka.

Muted Group Theory: Suara yang Sering Tak Didengar .
Ketimpangan representasi perempuan di media bisa dijelaskan lewat Muted Group Theory dari Cheris Kramarae (1981). Teori ini bilang kalau di masyarakat patriarki, perempuan jadi kelompok yang “terbungkam” karena bahasa, simbol, dan cerita publik kebanyakan dibuat dari sudut pandang laki-laki. Akibatnya, pengalaman dan pemikiran perempuan nggak selalu terdengar secara utuh di ruang publik, termasuk di media. Di Indonesia, perempuan jarang diberi ruang untuk menceritakan dirinya sendiri. Cerita tentang perempuan sebagian besar masih ditulis, disutradarai, dan diproduksi oleh laki-laki. Jadi nggak heran kalau representasi perempuan di media sering sesuai dengan imajinasi patriarki, bukan kenyataan hidup mereka sendiri.

Berita Terkait :  "Tegak" Hadapi 2025

Ketika Perempuan Mulai Cerita Dari Sudut Pandang Mereka
Perempuan sekarang mulai punya kesempatan untuk nulis dan cerita pengalaman mereka sendiri. Perubahan ini terlihat jelas lewat banyaknya kreator perempuan di platform digital kayak YouTube, TikTok, atau podcast. Di sana, mereka bisa ngomongin hal-hal yang selama ini mungkin jarang terdengar, mulai dari tubuh, karier, kekerasan seksual, sampai hubungan sosial, dengan gaya bahasa mereka sendiri. Fenomena ini bisa dibilang contoh nyata kalau teori Muted Group bisa ditantang lewat teknologi digital. Lewat media sosial, perempuan nggak cuma jadi objek pandangan laki-laki, tapi juga bisa jadi pencipta makna dan narasi mereka sendiri.

Representasi gender di media nggak cuma soal tampilan atau penampilan, tapi juga soal siapa yang punya suara dan siapa yang sering dibungkam. Media seharusnya kasih ruang yang lebih adil supaya perempuan bisa cerita pengalaman mereka tanpa harus terjebak stereotip lama. Sebagai penonton sekaligus calon praktisi komunikasi, kita juga punya tanggung jawab buat lebih kritis saat mengonsumsi media. Perubahan besar biasanya dimulai dari kesadaran-kesadaran kecil kayak gini.

——————— *** ———————–

Berita Terkait

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru