Oleh :
Akhmad Faishal
Pengelola Perpustakaan SMAN 15 Surabaya dan Pengajar Freelance Sosio-Sejarah di PT. Kreasi Edulab Indonesia
Perhatian Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka, tertuju pada Artificial Intelligence atau AI. Dan perhatian Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), prof. Abdul Mu’ti, terfokus pada perubahan kurikulum dan perubahan sistem ujian kelulusan atau masuk ke perguruan tinggi. Sedangkan, kebijakan kepala perpustakaan nasional, prof. E. Aminudin Aziz, belum terlihat karena masih baru saja memegang amanah. Nah, akan menjadi hal yang sangat ditunggu, apa saja kebijakan yang dikeluarkan oleh kepala perpustakaan nasional itu dalam rangka menaikkan ranking literasi remaja Indonesia di ranah PISA?
Dua pihak itu sudah barang tentu akan mengesampingkan-kalau tidak berkenan dikatakan mengabaikan-peran perpustakaan. Dan satu pihak yang terhitung masih baru menjabat tentu belum dapat dinilai atau dikomentari. Namun, disisi yang lain ada harapan kepada pejabat baru itu, yang pasti akan bersinggungan erat dengan bidang literasi, dapat menaikkan posisi Indonesia di Progamme for International Students Assesment.
Sejauh ini, keterlibatan Indonesia dalam PISA memperlihatkan hasil yang memang belum memuaskan. Selalu saja Indonesia berada di ranking 10 besar terbawah atau masih di bawah Singapura, Vietnam, Thailand dan Brunei. Pada tahun 2022 ada 8 negara di kawasan Asia Tenggara yang terlibat di dalamnya. Dan Indonesia hanya unggul dari Filiphina dan Kamboja. Kalau melihat data yang tersebar di Internet, poin Indonesia dalam hal sains memilih selisih 26 poin dari Thailand yang terletak setingkat di atas Indonesia. Tentu, selisih 26 poin itu cukup jauh untuk tes yang diselenggarakan 3 tahun sekali.
Belum dalam bidang Matematika dan Membaca, terlihat selisih poin negara-negara itu yang jauh unggul di atas Indonesia. Tentu, kita heran bagaimana negara sebesar Indonesia bisa kalah telak dengan Singapura atau Thailand, bahkan Vietnam? Justru Indonesia unggul dari Filiphina dan Kambojat, mungkin, didukung oleh situasi sosial dan politik dalam negeri. Namun, begitu parahkan situasi sosial dan politik di Indonesia-yang boleh dikatakan kondusif-sehingga mempengaruhi situasi pendidikan hingga kalah negara Singapura? Lebih-lebih Thailand?
Apakah pemerintah abai terhadap penilai PISA atau memang tidak menjadikan PISA sebagai acuan dalam mengambil kebijakan? Tentu, itu pertanyaan serius untuk diajukan. Dan menjadi pertanyaan, jika penilaian PISA terhadap kondisi pendidikan remaja Indonesia begitu lemah, mengapa tidak ada langkah konkret untuk membenahinya dan malah menggeser perhatian ke hal lain yang tidak ada pengaruh apa-apanya dalam pendidikan? Apakah sudah tinggi literasi kita sehingga kebijakan melompat ke area AI yang justru memerlukan tingkat pemahaman tinggi dalam hal matematika, sains dan membaca?
Tentu, kita masih ingat, bagaimana komentar ketua DPR RI tentang keprihatiannya terhadap siswa-siswi di Buleleng yang sebagian belum lancar membaca, tetapi justru sanggup mengoperasikan media sosial. Atau komentar Mendikdasmen sendiri tentang 75 persen remaja usia 15 tahun ada yang belum lancar membaca dan memang sudah lancar membaca, tetapi belum memahami apa yang dibacanya. Bukankah ini memerlukan penanganan serius, tetapi gebrakan dalam upaya menemukan jalan keluarnya belum nampak sama sekali.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Perpustakaan Nasional, Tingkat Gemar Membaca atau dalam Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat tergolong tinggi pada tahun 2024 mencapai 73,52 persen. Namun, kita perlu kritisi pencapaian dalam data tersebut, yakni seberapa besar literasi remaja Indonesia di usia yang sama dengan yang diteliti dalam PISA? Apakah ada perbedaan selisih poin atau persentase? Mana yang sekiranya benar?
Hal tersebut sangat penting guna memperoleh gambaran permasalahan tentang apa yang kurang dalam area pendidikan kita. Kalaupun membaca merupakan masalah terbesarnya, langkah konkret apa yang seharusnya dilakukan? Sayangnya, perhatian dalam area literasi masih belum begitu maksimal. Berbagai pejabat baik di tingkat lokal maupun nasional belum memperlihatkan aktivitas atau kegiatan yang berkaitan erat dengan literasi. Dalam konten yang ada di media sosial sekalipun.
Apakah ada dalam konten pejabat itu mendatangi perpustakaan, terutama perpustakaan sekolah? Apakah ia terlihat sekadar menghabiskan waktu membaca buku selama 15 menit? Yang ada justru fokus perhatian pemerintah ke ranah bisnis atau area yang mampu memunculkan pendapatan. Padahal, baik bisnis atau hal-hal semacam itu alangkah lebih baiknya memperdalam tentang informasi yang dimiliki. Literasi bukanlah sekadar membaca, meski membaca itu juga merupakan dasar dari sebuah literasi.
Pada dasarnya yang dimaksud dengan “membaca”, yakni proses seseorang dalam mensintesis, menganalisis, dan mencerna informasi secara menyeluruh dan komprehensif (Journal of Education, Febi Resci Carmila dan Zaka Hadikusuma Ramadan, Vol 5, No. 4, Mei-Agustus 2023).
Dengan konsep seperti itu, membaca merupakan kegiatan yang dimulai dengan membuka halaman awal hingga akhir. Dan setelahnya, barulah ia mendapat informasi tentang apa yang ia baca. Lebih-lebih ia dapat mempertimbangkan, apakah informasi yang ia dapatkan setelah membaca buku itu dapat diterapkan ke sebuah masalah atau tidak. Itulah sebabnya diperlukan tempat membaca layaknya perpustakaan. Perpustakaan sekolah.
Sayangnya, perpustakaan sekolah sebagai sebuah elemen yang ada belum menemukan perannya dengan sebenar-benarnya. Memang, dalam prosesnya perpustakaan sekolah telah menyesuaikan diri dengan menerapkan teknologi dan proses modernisasinya, tetapi untuk urusan gerakan menunjang literasi masih belum ada. Itu dipengaruhi juga oleh kebijakan pendidikan yang memang belum memberikan perhatian khusus ke wilayah literasi. Akibatnya, perpustakaan hanya sekedar elemen pelengkap saja.
Padahal, dalam upaya memajukan literasi sesungguhnya sederhana. Perpustakaan menyediakan bacaan dalam jumlah besar, terutama dalam hal sastra-roman atau novel-baik bersifat pop atau klasik untuk bacaan wajib siswa-siswi selama 30 menit atau 1 jam sebelum mata pelajaran pertama dimulai. Contohlah, siswa-siswi jenjang kelas X wajib membaca karya Marah Rusli “Sitti Nurbaya”. Sedangkan, jenjang selanjutnya wajib membaca karya N.H Dini “Pada Sebuah Kapal”. Dan, kelas XII wajib membaca karya Paulo Coelho berjudul “Sang Alkemis”.
Nah, dengan demikian, peran akan keterlibatan perpustakaan begitu terlihat nyata. Gebrakan semacam ini yang diperlukan. Tentu, agenda positif ini tidak akan terwujud, kalau tidak adanya kerja sama antara Mendikdasmen dengan Kepala Perpustakaan Nasional serta penerbit sebagai pihak ketiga yang menyediakan bacaan semacam itu. Perpustakaan telah kita anggap sebagai ‘Gudang Ilmu’. Jangan sampai karena pengabaian atau menggeser perhatian membuat perpustakaan menjadi “Gudang Buku”. Ironis.
————- *** —————-


