26 C
Sidoarjo
Friday, November 22, 2024
spot_img

Penguatan Kebijakan Transisi Energi Wujudkan Swasembada Energi

Teknologi baru yang diinjeksikan pada Lapangan Banyu Urip, Blok Cepu yang terbukti mampu menambah produksi minyak.

Butuh Daya Dukung Infrastruktur, Teknologi dan Regulasi

Mimpi besar menjadi negara berstatus swasembada energi beberapa kali pernah disampaikan pemimpin-pemimpin bangsa ini. Hari ini, mimpi besar tersebut kembali digaungkan oleh Presiden Prabowo Subianto saat mengawali tampuk kepemimpinannya. Apakah mimpi ini akan bisa diwujudkan, atau kembali akan sekadar menjadi mimpi yang berulang? dan bagaimana pula daya dukung Pertamina dengan transisi energinya dalam mewujudkan mimpi besar itu?

Wahyu Kuncoro, Wartawan Harian Bhirawa

Tidak ada yang salah dengan keinginan menjadi negara swasembada energi. Kondisi dan potensi yang ada mengkonfirmasi kalau Indonesia layak punya mimpi besar untuk menjadi negara swasembada energi. Hanya sayangnya, alih-alih bisa mendekati kondisi swasembada energi, yang justru terjadi adalah terus meningkatnya angka impor minyak dan gas (migas) dari tahun ke tahun.

Kepala Pusat Penelitian Energi Berkelanjutan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS), Tri Widjaja menilai target Presiden Prabowo terkait swasembada energi menjadi dorongan besar bagi Pertamina untuk memperkuat ketahanan energi nasional.

“Kita melihat pidato Pak Presiden Prabowo sebagai sebuah semangat. Semangat untuk mencapai swasembada pangan, energi, dan air. Dalam bidang energi, kita sangat mungkin untuk mengejar cita-cita mulia tersebut,” ujar Tri Widjaya saat ditemui Bhirawa di kampus ITS, Jumat (25/10),

Tri Widjaya menilai swasembada energi dapat dicapai dengan meningkatkan utilisasi semua sumber energi yang dimiliki Pertamina, mulai dari meningkatkan produksi migas hingga menggali potensi energi baru dan terbarukan (EBT) seperti geothermal dan bioenergi.

Di sektor hulu migas, Tri Widjaya menyebut Indonesia masih memiliki potensi yang dapat dioptimalkan melalui beberapa inisiatif pengembangan teknologi, seperti Enhanced Oil Recovery (EOR), pemanfaatan stranded gas, dan pengembangan migas non-konvensional.

“Saat ini Indonesia masih memiliki produksi migas, baik minyak maupun gas bumi, dan pertamina harus berusaha untuk meningkatkannya. Pertamina perlu terus mengembangkan teknologi untuk meningkatkan produksi di sektor hulu,” jelasnya.

Selain fokus pada sektor hulu migas, Tri Widjaya juga menekankan pentingnya investasi Pertamina di sektor energi terbarukan. Untuk listrik berbasis energi bersih, Pertamina harus terus didorong untuk menggandakan kapasitas pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP).

“Pertamina mengejar doubling capacity di geothermal. Potensi kita sangat besar, mencapai 24 Giga Watt, namun saat ini hanya kurang dari 10% yang telah dimanfaatkan. Pertamina harus mengejar potensi ini di geothermal,” katanya.

Selain itu, Pertamina juga harus lebih serius mengembangkan bioenergi sebagai bagian dari strategi diversifikasi energi.

“Bioenergi ini sedang kita kejar saat ini. Dari pidato Pak Presiden Prabowo, semangatnya adalah bagaimana kita memanfaatkan keanekaragaman hayati untuk memperkuat ketahanan energi kita,” ujarnya.

Pertamina Menjawab Tantangan
Indonesia masih menjadi negara yang impor minyak dan gas (migas). Setiap tahunnya, anggaran sekitar Rp 450 triliun dihabiskan untuk membeli migas dari luar negeri.

Berita Terkait :  Bupati Mojokerto Sahkan Poedji Widodo Jadi Komisaris BPR Majatama

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), menunjukkan impor migas Indonesia per September 2024 naik dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Per September 2024, impor migas mencapai US$26,74 miliar atau setara Rp 416,89 triliun (asumsi kurs Rp 15.589 per dolar AS).

Nilai impor per September tahun ini lebih tinggi jika dibandingkan nilai impor migas pada periode yang sama tahun lalu sebesar US$22,43 miliar atau setara Rp 349,78 triliun sepanjang Januari hingga September 2023.

Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso saat dikonfirmasi terkait impor migas, mengungkapkan salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menekan impor migas di antaranya meningkatkan produksi migas dalam negeri, tren produksi migas Pertamina selama 10 tahun terakhir naik sekitar 8%.

“Kilang juga kita upgrade kapasitasnya melalui RDMP yang nanti ketika selesai semua diharapkan bisa mengurangi impor,” kata Fadjar.

Dalam mendukung target swasembada energi, Pertamina jelas Fadjar terus berkomitmen menjaga ketahanan energi dengan mempertahankan dan meningkatkan bisnis eksisting, serta meningkatkan bisnis rendah karbon yang lebih ramah lingkungan.

Saat ini, Pertamina tengah mengembangkan empat terobosan dalam bisnis rendah karbon, meliputi pengembangan biofuel, petrochemical, geothermal, dan carbon capture utilization and storage (CCS/CCUS). Terobosan tersebut merupakan komitmen Perusahaan dalam menjalankan perannya untuk mendukung tercapainya target Net Zero Emission (NZE) Pemerintah Indonesia tahun 2060 atau lebih cepat.

“Terobosan ini akan memperkuat swasembada energi, sekaligus memberikan dampak dalam penurunan emisi karbon, diversifikasi portofolio bisnis yang akan membuka peluang bisnis baru di masa depan,” ujar Fadjar.

Pertamina berhasil mengembangkan energi biofuel sebagai bahan bakar yang lebih ramah lingkungan dengan campuran bahan nabati. Pertamina telah berhasil memproduksi dan memanfaatkan biodiesel B35. Selain B35, Pertamina juga mengembangan Pertamax Green dan Sustainable Aviation Fuel (SAF) bahan bakar pesawat terbang dengan campuran bahan nabati.

“Biofuel yang telah dijalankan Pertamina berdampak pada pengurangan emisi, sehingga memiliki nilai tambah positif bagi masyarakat. Pada tahun 2023, penerapan B35 mampu menurunkan emisi CO2 hingga 32,7 juta ton,” jelasnya.
Dalam pengembangan Geothermal, imbuh Fadjar, saat ini Pertamina mengelola 15 wilayah kerja panas bumi (WKP) dengan kapasitas terpasang 672 MW yang akan dinaikkan menjadi 1 GW dalam dua sampai tiga tahun ke depan. Pertamina memiliki potensi cadangan panas bumi yang siap dikembangkan.

Sementara dalam pengembangan Petrochemical jelas Fadjar, Pertamina menargetkan produksi sebesar 3,2 juta ton di tahun 2025, dari saat ini sebesar 1,9 juta ton per tahun. Untuk pengembangan bisnis ini, Pertamina terbuka untuk menjalin kemitraan dengan berbagai institusi dari dalam dan luar negeri.

Dari bisnis hulu migas, Pertamina juga akan berkontribusi pada pengurangan emisi melalui pengembangan CCS/CCUS. Pengembangan CCS/CCUS secara akumulatif berpotensi mengurangi emisi hingga 1,5 juta tahun 2029. Proyek pengembangan yang sudah dilakukan antara lain di Field Sukowati, Field Jatibarang, dan Field Ramba. Selain mengembangkan proyek, Pertamina juga melibatkan masyarakat dalam memanfaatkan energi hijau yang berdampak pada swasembada energi melalui Program “Desa Energi Berdikari”.

Berita Terkait :  Ayo Datang di ‘The Grand Leader Summit 2024’, Bakal Ada Wali Kota Surabaya, Rektor ITS, Direktur Bank BNI dan Dirut PT SIER

Hingga saat ini, jumlahnya telah mencapai 85 desa binaan di seluruh Indonesia. Berbagai terobosan Pertamina dalam mencapai target swasembada energi dan dekarbonisasi berhasil menurunkan emisi di atas target.

Dalam kesempatan berbeda, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan neraca minyak bumi Indonesia sepanjang tahun 2023 terjadi perbedaan yang signifikan antara produksi minyak dengan impor minyak nasional.

“Jadi produksi minyak Indonesia itu 221 juta barel dalam setahun. Impor kita 297 juta barel, terdiri dari 129 juta barel dalam bentuk minyak mentah dan 168 juta barel dalam bentuk Bahan Bakar Minyak (BBM),” kata Bahlil.

Bahlil menyebut dengan angka impor yang melejit tersebut, konsumsi BBM nasional tahun lalu mencapai sekitar 505 juta barel, yang terbagi dalam beberapa sektor, di antaranya adalah sektor transportasi yang mengonsumsi sebesar 248 juta barel atau 49%, disusul oleh sektor industri sebesar 171 juta barel atau 34%, sektor ketenagalistrikan yang menyedot 38,5 juta barel atau 8%, serta sektor aviasi yang mengonsumsi BBM sebanyak 28,5 juta barel atau 6%.

Besarnya impor minyak untuk konsumsi berbagai sektor tersebut, menguras devisa negara pada tahun lalu mencapai di angka Rp 396 triliun.

Bahlil menerangkan, pemerintah tengah meracik strategi agar impor minyak tersebut bisa dikurangi, karena tidak mungkin dengan menurunkan konsumsi minyak, sehingga konsumsi akan terus naik.

“Strategi kita dengan melihat keunggulan dan kelemahan kita, yang pertama adalah optimalisasi produksi (minyak bumi) dengan teknologi. Saya kasih contoh di Banyu Urip, itu dikerjakan oleh ExxonMobil. Itu yang didapatkan pertama itu cuma kurang lebih sekitar 90-100 ribu Barrel Oil per Day (BOPD). Tapi kemudian diinjeksi dengan teknologi yang mereka miliki, dan sekarang itu bisa mencapai 140-160 ribu BOPD,” jelasnya.

Strategi kedua, lanjutnya, dengan melakukan reaktivasi sumur-sumur yang idle, dari total 44.985 sumur yang ada di Indonesia, terdapat 16.990 sumur yang masuk pada kriteria idle well.

Sementara itu strategi ketiga adalah dengan melakukan eksplorasi migas khususnya di wilayah Indonesia Timur, karena di sana memiliki potensi penemuan-penemuan cadangan baru, sehingga pemerintah akan mendorong percepatan melalui skema kerja sama dan insentif yang lebih menarik.

Daya Dukung Infrastruktur, Teknologi dan Regulasi

Keinginan Presiden Prabowo Subianto untuk wujudkan swasembada energi, menurut guru besar energi baru terbarukan (EBT) Universitas Brawijaya Malang Prof Hadi Suyono merupakan ide bagus namun tidak mudah untuk diwujudkan.

“Saat ini Indonesia masih sangat bergantung pada impor BBM dan LPG untuk mencukupi kebutuhan energi masyarakat. Dan untuk mengurangi impor lewat swasembada energi maka Pemerintah harus membangun infrastruktur dan teknologi produksi migas yang memadai.” ujar Hadi Suyono, Sabtu ( 26/10)

Berita Terkait :  PDAM Surabaya Optimalkan Aplikasi CIS PDAM untuk Layanan Terbaik

Menurut Hadi Suyono, target swasembada energi itu cukup berat khususnya terkait dengan sumber energi BBM dan gas LPG, yang faktanya sekarang ini kita masih impor dan semakin lama jumlah impor BBM dan gas LPG tersebut semakin meningkat.

“Jadi kalau tiba-tiba Pemerintah ingin wujudkan swasembada energi maka banyak aspek yang perlu dibenahi. Bukan hanya infrastruktur yang perlu disiapkan tapi tata kelolanya juga harus dirombak total,” ujar Hadi Suyono.

Hadi Suyono menyebut untuk mewujudkan kemandirian energi maka Pemerintah harus membenahi dua sektor sekaligus. Di sisi hilir (demand) perlu digalakkan langkah penghematan, pembatasan dan pengawasan.

Termasuk juga mengejar target bauran EBET di masyarakat.

“Ya terutama pengurangan demand migas untuk transportasi melalui substitusi mobil listrik, yang selama ini masih berjalan lambat. Jadi program kendaraan listrik ini bisa bersinergi dgn program kemandirian migas,” ujarnya.

Begitu pula terkait penggunaan gas LPG, perlu langkah yang lebih massif untuk substitusi penggunaan gas LPG ke gas alam yang relatif berlimpah. Penggunaan kompor gas LPG secara bertahap harus diganti dengan kompor gas alam (jargas).

Dengan kata lain program Jargas rumah tangga mesti menjadi gerakan yg massif. Target 4 juta sambungan rumah tangga (SR) harus diwujdkan. Sedangkan di sisi hulu (supply), Hadi Suyono menambahkan, peran Pertamina yang menguasai lebih dari 60% lifting minyak, harus lebih agresif membuka ladang eksplorasi baru menggunakan teknologi terkini.

Dikonfirmasi terpisah, analis kebijakan energi International Institute for Sustainable Development (IISD), Anissa Suharsono mengingatkan bahwa sektor energi Indonesia berkaitan erat dengan politik dan kepentingan energi fosil. Karenanya, transisi ke sistem energi yang lebih bersih membutuhkan perubahan fundamental pada kebijakan energi Indonesia, yang hanya dapat dicapai dengan kemauan politik yang kuat. Presiden Prabowo memiliki pondasi kuat di awal kepemimpinannya untuk menjalankan aksi yang dibutuhkan, salah satunya reformasi subsidi energi.

“Transisi energi tidak akan dapat direalisasikan tanpa pemerintah mengatasi berbagai hambatan terhadap perkembangan energi terbarukan, seperti ketentuan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN), tarif energi terbarukan, dan subsidi energi fosil yang merugikan energi terbarukan. Iklim investasi yang stabil hanya dapat terbentuk jika pemerintah memiliki peta jalan yang jelas dan mengikat secara hukum,” kata Anissa.

Menurut Annisa, Indonesia tidak akan bisa swasembada energi selama masih sangat bergantung pada energi fosil. Pasalnya, saat ini pun, Indonesia sudah mengimpor seluruh jenis bahan bakar fosil, termasuk batu bara.

“Oleh sebab itu, transisi energi sangat mendesak untuk dipercepat, dan pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto perlu terbitkan kebijakan dan regulasi pendukungnya. Perlu diingat, hingga kini Indonesia belum memiliki regulasi terkait transisi energi pada level undang-undang. Padahal, payung hukum ini penting agar regulasi di bawahnya bisa selaras, yang pada akhirnya dapat menjadi daya tarik investasi energi terbarukan di Indonesia,” kata Annisa. (why.hel)

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru

spot_imgspot_imgspot_img