25 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Pendekatan Multi-Polar dan Evolusi Non-Blok

Oleh :
Ahmad Fizal Fakhri
Founder The Indonesian Foresight Research Institute, Assistant Professor at Uinsa, LP Ma’arif Jatim Book Writing Team)

Sejak awal kemerdekaan, politik luar negeri Indonesia dibangun atas prinsip bebas dan aktif. Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung menjadi panggung lahirnya solidaritas negara-negara baru, yang kemudian melahirkan Gerakan Non-Blok (GNB). Warisan diplomasi itu hingga kini tetap relevan, terutama ketika dunia kembali memasuki fase multipolar, di mana tidak ada satu kekuatan dominan tunggal.

Presiden Prabowo Subianto mewarisi tradisi ini, tetapi mengartikulasikannya dalam konteks baru. Non-blok tidak lagi sebatas menjaga jarak dari blok besar, melainkan menjadi strategi aktif untuk memperkuat posisi Indonesia di tengah pertarungan geopolitik abad ke-21.

Awal September 2025, Prabowo hadir di parade militer Tiongkok memperingati 80 tahun kemenangan atas Jepang. Ia berdiri sejajar dengan Xi Jinping, Vladimir Putin, dan Kim Jong-un. Foto ini menjadi simbol kuat: Indonesia hadir di antara tokoh-tokoh yang merepresentasikan poros alternatif terhadap dominasi Barat.

Namun, berbeda dengan Kim yang lebih sekadar simbol, Prabowo menunjukkan kapasitas sebagai pemimpin yang diperhitungkan. Pertemuannya dengan Xi dan Putin tidak hanya seremonial, melainkan juga memperkuat landasan kerjasama strategis.

Secara akademik, posisi Indonesia sering dikategorikan sebagai middle power (Jordaan, 2020). Negara yang tidak sekuat kekuatan besar, tetapi punya pengaruh melalui kapasitas ekonomi, populasi, dan peran regional. Prabowo memahami posisi ini. Dengan mendekat ke Rusia dan China, ia berusaha memperkuat daya tawar Indonesia, sekaligus menjaga jarak aman agar tidak kehilangan hubungan baik dengan Amerika Serikat maupun mitra Barat lainnya.

Berita Terkait :  Pancasila di Persimpangan: Darurat Navigasi di Badai Polarisasi

Pertemuan bilateral dengan Presiden Putin menghasilkan kesepakatan penting. Melalui kemitraan antara Danantara (dana kekayaan Indonesia) dan Russian Direct Investment Fund (RDIF), dibentuklah skema investasi senilai lebih dari USD 2 miliar. Kesepakatan ini meluas ke sektor energi, teknologi nuklir, hingga kerjasama militer (Reuters, 2025).

Rusia melihat Indonesia sebagai pintu masuk ke Asia Tenggara, sementara Indonesia memanfaatkan Rusia untuk diversifikasi sumber investasi dan teknologi. Ini langkah nyata agar pembangunan nasional tidak hanya bertumpu pada Barat atau Tiongkok.

Hubungan dengan Tiongkok sudah lama berakar pada kerjasama ekonomi. China adalah mitra dagang terbesar Indonesia, dengan investasi di sektor nikel, smelter, dan proyek infrastruktur seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung.

Namun, kehadiran Prabowo di parade militer Beijing membawa makna tambahan. Bukan sekadar ekonomi, melainkan pengakuan simbolik bahwa Indonesia punya posisi penting dalam narasi politik global Tiongkok. Di sisi lain, Indonesia tetap berhitung, agar kedekatan ini tidak ditafsirkan sebagai keberpihakan mutlak.

Kedekatan Indonesia dengan Rusia dan China tentu menimbulkan reaksi. Australia, misalnya, sempat menyuarakan kekhawatiran soal isu kemungkinan akses militer Rusia di Indonesia, meski kabar ini masih simpang siur (News.com.au, 2025). Amerika Serikat pun mengawasi dengan ketat, karena langkah ini bisa dibaca sebagai pergeseran geopolitik di Asia Tenggara.

Inilah konsekuensi pendekatan multipolar. Semakin banyak mitra yang dirangkul, semakin besar pula risiko dicurigai. Diplomasi Indonesia harus piawai memastikan bahwa kerjasama dengan Rusia dan China bukanlah bentuk anti-Barat, melainkan strategi hedging.

Berita Terkait :  Putus Rantai Penyebaran DBD, Dinkes Kota Madiun Kembali Gelar Fogging dan Ingatkan PSN 3M

Sebagai mantan Menteri Pertahanan, Prabowo paham bahwa strategi terbaik dalam politik luar negeri adalah menjaga ruang manuver. Konsep ini dikenal sebagai strategic ambiguity-sengaja tidak memperlihatkan komitmen penuh kepada satu blok, sehingga semua pihak tetap membuka pintu kerjasama (The Australian, 2025).

Dengan cara ini, Indonesia tetap bisa berdialog dengan Washington, menerima investasi dari Tokyo, sekaligus memperkuat kerjasama dengan Beijing dan Moskow. Ini politik luar negeri yang fleksibel, tapi tidak kehilangan arah.

Diplomasi multi-polar tidak hanya tentang simbol global, tetapi juga manfaat praktis bagi rakyat. Investasi dari Rusia dan China berpotensi mendorong pembangunan infrastruktur, energi, dan teknologi. Di saat ekonomi global tertekan, langkah ini bisa menjadi bantalan penting bagi pertumbuhan nasional.

Strategi ini sesuai dengan konsep hedging strategy yang dikemukakan Kuik (2021): negara mengelola ketidakpastian global dengan menjaga hubungan baik dengan semua kekuatan besar, sambil meminimalisir risiko ketergantungan.

Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, Indonesia punya tanggung jawab menjaga keseimbangan kawasan. Dengan memperlihatkan kedekatan dengan Rusia dan China, Indonesia bisa mendorong ASEAN agar tidak hanya menjadi perpanjangan tangan Washington atau Beijing.

Namun, tantangannya besar: menjaga agar ASEAN tidak pecah akibat perbedaan sikap antar anggotanya. Prabowo harus memastikan bahwa kepemimpinan Indonesia tetap inklusif, bukan eksklusif.

Sejarah menunjukkan, politik non-blok Indonesia selalu berubah bentuk sesuai zamannya. Era Sukarno, non-blok cenderung konfrontatif terhadap Barat. Era Orde Baru, non-blok menjadi pragmatis demi pembangunan. Kini, era Prabowo, non-blok hadir dalam wajah baru: aktif, tegas, dan adaptif terhadap dunia multipolar.

Berita Terkait :  Bupati Bondowoso Luncurkan SPPG Mitra Mandiri untuk Dukung Makan Bergizi Gratis

Jika konsisten, strategi multi-polar ini akan mengangkat Indonesia sebagai jembatan antara blok Barat dan Timur. Lebih jauh, Indonesia bisa menjadi pemimpin de facto di Global South, memperjuangkan kepentingan negara-negara berkembang dalam tatanan dunia baru.

Namun, kunci keberhasilannya terletak pada dua hal: stabilitas domestik dan kecerdikan diplomasi. Tanpa itu, strategi multipolar bisa berbalik menjadi beban politik luar negeri.

Pendekatan multi-polar dan non-blok yang lebih tegas di era Prabowo adalah bentuk diplomasi yang realistis. Dengan membangun hubungan mendalam dengan Rusia dan China, Indonesia memperkuat posisi tawar global. Namun, keseimbangan tetap dijaga agar ruang manuver tidak hilang.

Prabowo berusaha menempatkan Indonesia bukan sekadar sebagai negara non-blok, tetapi juga sebagai sahabat segala pihak. Jika berhasil, Indonesia akan menjadi salah satu poros penting dalam tata dunia multipolar abad ke-21.

———— *** ————–

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru