33 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Pemblokiran Rekening Tidak Aktif, Butuh Kebijaksanaan

Oleh:
Rokhmat Subagiyo
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam serta Pascasarjana UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung

Beberapa pekan terakhir, publik dikejutkan oleh kebijakan pemblokiran massal rekening bank yang dianggap tidak aktif oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Jumlahnya tidak main-main: sekitar 31 juta rekening dibekukan dengan total dana mencapai triliunan rupiah. Tujuannya mulia, yakni untuk mencegah tindak kejahatan digital seperti pencucian uang, penipuan daring, hingga jual-beli rekening yang marak belakangan ini.

Namun, seperti halnya banyak kebijakan yang dirancang dari balik meja dengan pendekatan teknokratis, pelaksanaannya memunculkan gejolak. Bukan karena substansinya yang keliru, melainkan karena dampaknya yang menyentuh warga biasa-mereka yang mungkin menyimpan sedikit tabungan di rekening yang lama tidak digunakan. Di sinilah kebijakan yang diniatkan baik justru berisiko menyakiti yang tak bersalah.

Di banyak daerah perdesaan, masyarakat membuka rekening bank semata-mata untuk menerima bantuan sosial dari pemerintah. Setelah bantuan diterima, rekening dibiarkan begitu saja karena keterbatasan literasi digital atau kebiasaan menyimpan uang secara tunai dirasa lebih aman. Tak sedikit petani, buruh harian, atau pekerja musiman yang hanya aktif menabung saat ada panen atau proyek. Bagi mereka, rekening itu bukan untuk transaksi rutin, tapi semacam celengan modern.

Bayangkan betapa terkejutnya mereka saat suatu hari menemukan rekeningnya diblokir. Tidak ada notifikasi. Tidak ada peringatan. Sekadar karena selama tiga bulan tidak terjadi aktivitas transaksi. Padahal, bisa saja uang di dalamnya dipersiapkan untuk biaya sekolah anak, pengobatan mendesak, atau bekal lebaran.

Berita Terkait :  Pilkada Gresik Kali Ini Paling Parah Lawan Kotak Kosong

Pemerintah tentu berkepentingan menjaga sistem keuangan dari kejahatan. Tapi keadilan sosial menuntut kebijakan dilakukan dengan empati dan kehati-hatian. Tidak semua rekening pasif adalah tempat menyembunyikan uang haram. Tidak semua yang diam patut dicurigai.

PPATK berdalih bahwa pemblokiran dilakukan demi melindungi nasabah dan memperbarui data kepemilikan rekening. Sejumlah bank besar bahkan menyatakan dukungannya. Namun yang luput dari perhatian adalah komunikasi. Banyak masyarakat yang tidak akrab dengan teknologi digital, tidak mendapat kabar apa pun. Mereka baru sadar rekeningnya bermasalah saat hendak menarik uang. Dalam kondisi seperti itu, rasa terkejut berubah jadi kekecewaan.

Di lapangan, akses terhadap internet dan layanan digital banking masih belum merata, apalagi di perdesaan. Edukasi keuangan juga masih minim. Maka wajar jika kebijakan ini justru menimbulkan ketimpangan baru antara yang melek digital dan yang tidak.

Bagi sebagian orang, uang di rekening bukan sekadar nominal. Itu adalah simbol harapan. Tabungan untuk masa depan anak. Dana darurat. Jaminan hari tua. Ketika akses terhadap itu terputus mendadak, rasa aman ikut terkikis. Terlebih, prosedur klaim dana yang dibekukan kerap tak ramah. Mengisi formulir online, mendatangi kantor cabang, dan menyiapkan dokumen identitas bukan perkara mudah bagi lansia, difabel, atau mereka yang bekerja di luar kota.

Menutup celah kejahatan keuangan adalah langkah penting. Tapi menyamaratakan semua rekening tidak aktif sebagai ancaman adalah pendekatan yang terlalu kasar. Harus ada pemilahan berbasis risiko. Gunakan analitik dan teknologi untuk mengidentifikasi pola mencurigakan-bukan sekadar menghitung berapa bulan rekening tidak digunakan. Apakah tiga bulan tanpa transaksi sudah cukup untuk menyebut rekening itu “mati”? Mengapa tidak diberi masa tenggang enam bulan, atau setahun?

Berita Terkait :  Saksi Mandat Temukan Dugaan Pelanggaran di Pilkada Sampang

Kita semua tentu menginginkan sistem keuangan yang bersih. Tapi dalam negara hukum, perlindungan terhadap hak warga tidak boleh dikorbankan atas nama efisiensi. Ada sejumlah langkah yang bisa dilakukan untuk menyeimbangkan antara niat baik dan keadilan: berikan notifikasi bertahap sebelum pemblokiran; perpanjang masa tenggang bagi nasabah di wilayah dengan literasi keuangan rendah; berikan pengecualian untuk rekening bansos, pelajar, atau rekening kecil dengan saldo minimal; serta permudah prosedur klaim dana agar masyarakat bisa kembali mengakses tabungannya tanpa beban berlebih.

Rekening bank mungkin hanya kumpulan angka di layar bagi sebagian orang. Tapi bagi banyak warga, itu adalah tempat menyimpan harapan dan perlindungan terakhir dalam hidup mereka. Maka, jangan biarkan kebijakan yang seharusnya melindungi justru menciptakan rasa takut dan kecewa.

Perbankan tidak akan menjadi inklusif jika masyarakat enggan mempercayakannya. Negara juga tidak akan dipercaya bila prosedur administratifnya dianggap memberatkan rakyat kecil. Dalam dunia yang makin kompleks, kebijakan yang adil bukan sekadar soal logika, tapi juga soal rasa. Dan kepercayaan publik dibangun bukan hanya dengan sistem yang kuat, tapi dengan empati.

Infrastruktur digital dan layanan perbankan yang belum merata masih menjadi tantangan di banyak wilayah. Literasi keuangan yang rendah dan kesenjangan akses teknologi harus menjadi pertimbangan utama dalam menyusun kebijakan publik. Jangan sampai pendekatan yang dipukul rata justru semakin memperlebar jurang ketimpangan sosial.

Berita Terkait :  Muskomwil IV APEKSI 2025 Dorong Sinergi Antar Kota, Wujudkan Pembangunan Berkelanjutan

Tak ada sistem yang sempurna. Tapi sistem yang baik adalah sistem yang terus bersedia mendengar, dievaluasi, dan diperbaiki. Jika niat negara adalah untuk melindungi rakyat, maka cara perlindungannya juga harus ramah terhadap kondisi rakyat. Karena keadilan tidak lahir dari keseragaman, melainkan dari kemampuan memahami keberagaman.

Semoga kritik dan masukan dari masyarakat, akademisi, media, serta kelompok konsumen bisa menjadi bahan refleksi untuk perbaikan kebijakan di masa depan. Jangan sampai langkah preventif yang salah sasaran justru menimbulkan luka baru dan menggerus kepercayaan terhadap sistem perbankan yang selama ini dibangun dengan susah payah.

Wallahu a’lam bis showab.

————– *** —————–

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru